Menyoal RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Devi SW

Menggemuknya jumlah pengangguran adalah salah satu masalah yang membelenggu Indonesia. Investasi dipilih pemerintah sebagai salah satu jalan untuk menciptakan lapangan kerja baru. Namun, pemerintah beranggapan jika selama ini investor banyak tersandung regulasi yang tumpang tindih. Oleh karena itu pemerintah menyusun draf RUU setebal 1.028 lembar dengan nama RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
RUU Omnibus Law Cipta kerja ini memuat sebelas klaster. Klaster tersebut antara lain ; penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, kemudahan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.
Dengan adanya aturan setebal 1.028 halaman tersebut, pemerintah berharap investasi tumbuh subur, lapangan kerja terbuka sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi. Draft RUU telah diserahkan pemerintah pada Februari 2020 lalu ke DPR RI dan ditargetkan pada Agustus 2020 telah matang.

Gelombang Penolakan
Meski digadang-gadang mampu membuka lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) dihujani kritik. Hal ini dikarenakan pasal-pasalnya yang berasa manis bagi pengusaha namun pahit bagi pekerja.
Dalam Pasal 88C ayat (1) dan (2) mengatur Upah Minimum Kerja yang didasarkan pada upah minimum provinsi (UMP). Padahal UMP umumnya lebih kecil daripada upah minimum kota/kabupaten dan upah minimum sektoral. Pasal 156 ayat (1) sampai ayat (5) mengatur mengenai perhitungan uang pesangon yang didasarkan pada masa kerja. Masa kerja kurang dari satu tahun hanya dibayar satu bulan upah. Pesangon ini dinilai sangat sedikit dan tidak mencerminkan keadilan bagi pekerja.
Selain itu, dalam Pasal 77 ayat (2) mengatur waku kerja paling lama 8 jam sehari dan 40 jam dalam seminggu. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menanggapi pasal ini. Menurutnya pengamalan pasal tersebut tak ubahnya seperti kerja rodi dan bersifat eksploratif. Karena bisa saja pengusaha memerintahkan buruh bekerja 12 jam sehari selama 4 hari kerja tanpa dibayar upah lembur. (vivanews.com, 17/02/2020).
Selain itu, Omnibus Law Ciptaker dianggap akan membuat karyawan kontrak susah dianggap menjadi pegawai tetap, penggunaan TKA termasuk buruh kasar yang bebas, PHK yang dipermudah dan hilangnya jaminan sosial bagi para buruh.
Wajah RUU ini semakin tercoreng ketika pasal 170 RUU ini disebut salah ketik, setelah menuai hujatan publik. Di sana disebutkan bahwa pemerintah berwenang mengganti Undang-undang melalui peraturan pemerintah.
Lahirnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak lepas dari penerapan sistem kehidupan yang berorientasi pada keuntungan. Bertambahnya pundi-pundi rupiah para pemilik modal lebih diutamakan meski harus mengorbankan hak para pekerja. Aroma kapitalisme yang sangat menyengat.

Iklan ARS

Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, para pekerja sangat diperhatikan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa riwayat mengenai hak-hak pekerja. Pertama, mendapatkan upah yang layak. Rasulullaah sholallahu ‘alayhi wa salam bersabda : “ Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442)
Bahkan menunda gaji pekerja akan mendapatkan ancaman serius dalam jinayah hukum Islam. Menurut Al Munawiy, majikan tersebut layak mendapatkan hukuman dari pihak yang berwenang.
Kedua, mendapatkan perlakuan yang baik. Abu Dzar pernah ditegur oleh Rasulullaah sholallaahu ‘alayhi wa salam ketika memperlakukan budaknya dengan sikap yang kurang baik. Baginda Nabi bersabda : “….“Saudara kalian adalah pekerja kalian. Allah jadikan mereka dibawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30).
Termasuk di sini adalah meringankan beban pekerjaannya. Baginda Nabi sholallaahu ‘alayhi wa salam pernah bersabda, “ “Apa yang kamu ringankan dari pekerjaan pembantumu, bagimu pahala di neraca timbanganmu”. (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
Demikianlah Islam mengatur ketenagakerjaan. Orientasi akhirat begitu kental. Aturan tersebut tentunya akan berjalan dengan baik ketika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan. Wallaahu a’lam.

Oleh : Devi SW