Membubarkan Gugus Tugas Covid-19 di Tengah Pandemi, Solusikah?

Ainul Mizan

Pada tanggal 20 Juli 2020, Presiden Jokowi meneken Perpres No 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Artinya, dengan Perpres No. 82 Tahun 2020 menandai dibubarkannya Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

Selanjutnya secara teknis, Komite ini membawahi 2 (dua) Satuan Tugas (Satgas). Satgas Penanganan Covid – 19 diketuai oleh Doni Monardo, Ketua BNPB. Sedangkan Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diketuai oleh Wamen BUMN, Budi Gunawan Sadikin. Untuk Komite sendiri dijalankan secara teknis oleh Erick Thohir. Jadi Erick Thohir berwenang dalam menyelaraskan kedua satgas tersebut.

Iklan KPU Sultra

Salah satu yang menjadi alasan mendasar membubarkan Gugus Tugas Covid-19 adalah tanggung jawab ganda yang diurusinya. Selain menangani penanggulangan Covid-19, Gugus Tugas Covid-19 juga harus berusaha menangani dampak ekonomi dari pandemi. Oleh karena itu, kedua tugas tersebut disharing di antara kedua satgas yang berada di bawah komite.

Kalau melihat data Covid-19 di Indonesia per 21 Juli 2020 adalah yang positif sebanyak 89.869 orang, yang sembuh 48.466 orang, dan yang meninggal 4320 orang, artinya pandemi di Indonesia belum berakhir. Bahkan jumlah kasus Covid-19 semakin meningkat melebihi China.

Sekilas mungkin dimaklumi bahwa dengan tugas ganda Gugas Covid-19, penanganan pandemi tidak fokus. Lantas timbul pertanyaan, di antara tugas ganda tersebut, manakah yang lebih diprioritaskan oleh Gugas Covid-19? Apakah penanggulangan pandemi Covid-19 ataukah pemulihan ekonomi?

Kita harus menyadari bahwa pandemi Covid-19 ini adalah krisis kesehatan. Tentunya kebijakan penanganannya mendasarkan pada pendekatan kesehatan. Apalagi kalau merujuk pada UU Karantina Kesehatan tahun 2018, kewajiban pemerintah adalah memenuhi kebutuhan hidup rakyat dalam masa karantina. Jadi memang betul – betul penanganan Covid-19 menitikberatkan pada masalah kesehatan.

Sedangkan pelaksanaannya belum ada keseriusan dalam menangani pandemi. Awalnya meremehkan ujung – ujungnya kelabakan. Di bulan Januari, para pejabat negeri ini mengatakan kalau Covid-19 tidak akan masuk Indonesia. Isu kebal karena makan nasi kucing dan candaan lainnya dilontarkan. Saat terjadi pandemi di Indonesia, masalah bermunculan. Dari minimnya APD bagi tenaga medis, PSBB dan munculnya wacana herd immunity hingga penerapan New Normal. Hal demikian hanya menunjukkan bahwa masalah ekonomi lebih berat daripada urusan kesehatan dan nyawa rakyat.

Indikasi berikutnya bahwa ekonomi lebih memberatkan adalah dari dana Covid-19 yang sekitar Rp 677 trilyun, digunakan untuk membayar utang BUMN sebesar Rp 128,13 trilyun. Sisanya sebesar Rp 22,27 trilyun dalam bentuk penyertaan modal. Inilah yang dimaksud PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Korporasi memang menjadi barometer ekonomi dalam Kapitalisme. Di sisi yang lain, banyak rakyat yang belum tersentuh bantuan pemerintah. Yang ada rakyat berjuang sendiri, baik untuk menjaga kesehatannya maupun kebutuhan hidupnya. Jadi tidak mengherankan bila kasus terpapar Covid-19 di Indonesia semakin meningkat. Padahal tatkala masalah kesehatan rakyat tertangani dengan baik, tentunya kegiatan perekonomian bisa kembali normal.

Oleh karena itu, persoalan mendasarnya terletak pada mainset. Bila komite yang dibentuk dengan kedua satgasnya tersebut masih lebih fokus pada ekonomi, tentu saja pandemi akan belum bisa tertangani. Rakyat harus tetap saja bekerja. Karena jika rakyat tidak bisa bekerja, akan menjadi beban negara. Sementara di satu sisi, negara tidak punya dana yang cukup. Yang ada justru di masa pandemi ini, negara malah menambah utang. Akan tetapi dengan pembentukan komite yang membawahi 2 satgas sesuai Perpres No 82 Tahun 2020, yang ada malah menambah beban keuangan negara.

Demikianlah pola pikir penanganan krisis ala Kapitalisme. Untung dan rugi masih menjadi barometer.

Maka untuk bisa menangani dengan tuntas pandemi ini harus kembali kepada mainset yang benar. Pandemi Covid-19 ini murni krisis kesehatan. Dalam menangani pandemi ini, negara segera menerapkan karantina wilayah bagi yang terkategori zona merah. Kebutuhan hidup rakyat dipenuhi negara. Negara juga menyiapkan rumah sakit dengan fasilitas kesehatan yang memadai dalam merawat pasien Covid-19. Pastinya negara membutuhkan dana yang besar. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, akan tersedia dana yang mencukupi. SDA betul – betul dikelola negara, tidak diswastanisasi apalagi diserahkan pada orang asing. Penerapan ekonomi Islam ini harus diback up oleh kebijakan politik Islam. Dengan politik Islam, Indonesia akan menjadi negara yang mandiri, terbebas dari penjajahan negara – negara imperialis.

Pendek kata, penerapan Islam secara paripurna akan melahirkan kebijakan – kebijakan yang memihak rakyat. Suatu kebijakan yang lahir dari ketaqwaan para penyelenggara negara. Dan keadaan demikian akan bisa terwujud dalam institusi Islam yakni Al – Khilafah.

Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)