Antara New Normal dan Ledakan Kasus Covid-19

YENI ROSMAENI

Sejak Indonesia memasuki era kehidupan baru atau new normal, kasus konfirmasi positif Covid-19 pun terus mengalami peningkatan yang signifikan. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto dalam konferensi pers di Graha BNPB, minggu, (19/07/2020), melansir total ada 86.521 orang terkonfirmasi positif Covid-19, terhitung sejak pencatatan pasien pertama pada 2 Maret 2020.

“Konfirmasi positif yang kita temukan sebanyak 1.639, sehingga totalnya menjadi 86.521, Viva.com (19/07/2020). Jumlah tersebut kini melampaui China sebagai negara yang diklaim sebagai sumber asal covid-19. Mengutip data worldometers Kasus positif di Negeri Tirai Bambu tersebut saat ini berjumlah 83.644 pasien. Menukik tajamnya kasus Covid-19 diindonesia tentu tidak boleh dipandang sebelah mata, harus ada upaya yang sangat serius dari para pengambil kebijakan untuk mencegah terjadinya ledakan kasus yang lebih besar lagi. Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya, Laura Navika Yamani mengatakan data tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah. Terutama terkait evaluasi strategi pengendalian covid-19. iNews.id (19/07/2020).

Iklan Pemkot Baubau

Tidak hanya persoalan jumlah kasus, metode penyebaran Covid-19 yang senantiasa berubah-berubah juga menjadi kekhwatiran masyarakat. Jika sebelumnya World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penyebaran Covid-19 melalui droplet, maka Organisasi Kesehatan Dunia tersebut kembali memperbarui, ringkasan ilmiah Transmisi SARS-CoV-2 yang diterbitkan sejak 29 Maret 2020 yang mengatakan, bahwa COVID-19 bisa menular melalui udara atau Air bone Transmission.

Tidak hanya itu, mengutip daily Star, professor Wendy Barclay dari Imperial College London menyampaikan bahwa microdroplet virus corona dapat bertahan di udara lebih dari satu jam. detik.com (15/7). Ini berarti potensi penyebaran covid-19 semakin massif dan mudah apalagi di era new normal saat ini, yang memungkinkan masyarakat kembali berjumpa dan melakukan aktivitas keseharian selayaknya kehidupan normal dengan tidak adanya jaminan kepatuhan masyarakat terhadap protocol covid-19, sebagaimana yang selama ini didengung-dengungkan pemerintah.

Kondisi seperti ini jika dibiarkan tanpa ada kebijakan yang tepat dari pemerintah, bukan tidak mungkin jika Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih akan menjadi negara yang paling banyak kasus konfirmasi positif covid-19, bukan hanya di Asia, bahkan Dunia.

Alasan dibalik pemberlakuan New Normal

Kebijakan Penerapan New Normal disaat kurva Pandemi covid-19 meningkat tajam menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memaparkan sejumlah alasan Indonesia perlu menerapkan tatanan normal baru atau era new normal. Salah satu yang menjadi pertimbangan ialah terkait dampak pandemi ini terhadap ekonomi yang dianggap sudah begitu mengkhawatirkan.

Sehingga bila tak segera diterapkan akan ada lebih banyak pekerja yang menjadi korban. Perlu diketahui pekerja di Indonesia itu 55-70 juta dari 133 juta itu adalah pekerja informal sehingga mereka ini yang paling terdampak di dalam COVID-19,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian (Sesmenko) Susiwijono Moegiarso dalam diskusi online Pactoc Connect. detik.finance (3/6/2020).

Tidak hanya itu Angka kemiskinanpun Diprediksi bertambah hingga menjadi 4,86 juta Dan negara tidak akan sanggup terus menerus memberikan bantuan social kepada masyarakat, mengingat kemampuan uang negara terbatas.

Pemberlakuan New Normal Bukanlah SolusiTepatAtasi
Covid-19*

Klaim pemerintah yang memberlakukan kebijakan new normal dengan melonggarkan Pembatasan social Berskala Besar (PSBB) untuk menyelamatkan ekonomi bangsa justru mendapatkan kritik tajam oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Media Wahyudi Aska.

Menurut dia, kebijakan tersebut justru berpotensi membuat ekonomi Indonesia jatuh lebih dalam. “Memang, ketika relaksasi ada perbaikan ekonomi. Tapi ketika ada peningkatan kasus, ekonomi akan ambruk lagi. Indonesia masih berada pada tahapan pembatasan masyarakat, masih banyak angka kasus dan kematian cukup tinggi,” ujarnya, dalam webminar, Selasa (2/6). Ia menekankan pemerintah sebaiknya focus membatasi pergerakan masyarakat sampai kurva kasus positif covid-19 menurun dan masyarakat bias dengan aman berkegiatan dengan protocol kesehatan yang disarankan WHO.CNN Indonesia (2/6/2020).

Hal senada juga di ungkapkan oleh politikus sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Dia menyebut langkah pemerintah memberlakukan new normal disaat Indonesia berada di zona merah pandemic Covid-19 sangat mencemaskan.Tempo.Co (4/6/2020), masih menurut FadliZon, setidaknya ada tiga persoalan mengapa kebijakan New Normal ini dianggap buruk yakni pertama; adanya kekacauan otoritas dan pengambilan keputusan dalam kebijakan terkait Covid19,

Kedua; data pemerintah yang dianggap menyesatkan. Fadli mengkritik pemerintah yang mengklaim angka reproduksi Covid-19 di Indonesia sudah berada di angka 1,09. Dalam standar WHO, angka ini bias dianggap terkendali.

Namun masalahnya, kata Fadli, angka yang digunakan pemerintah ini adalah angka yang ada di DKI Jakarta. “Menggunakan tren perbaikan Ro dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan New Normal di level nasional jelas misleading,” ucap dia. Ketiga; Basis data tak proporsional Fadli mengatakan basis data pemerintah juga tak proporsional.

Mengutip data Worldometer, Indonesia memiliki tingkat pengujian terburuk di antara negara-negara yang paling terpengaruh oleh Covid-19. Pemerintah sejauh ini hanya bias melakukan 967 tes untuk setiap 1 juta penduduk. Carut marutnya penanganan Covid-19 di Indonesia tersebut tentu akan berdampak besar bagi masyarakat.

Jika pemerintah hanya melihat penanganan covid-19 dari sudut pandang kapitalis berdasarkan untung rugi semata, maka selamanya kebijakan yang diambil pemerintah terkait masalah ini tidak akan mampu mengantarkan pada penyelesaian yang tuntas. Seharusnya pemerintah lebih mengutamakan nyawa masyarakat dan memenuhi kebutuhannya yang didasari pada panggilan keimanan bukan dorongan keuntungan materialism semata.

Hal yang harus dilakukan dalam mengatasi wabah ini adalah dengan memutus terlebih dahulu mata rantai penularannya. Bukan dengan memberlakukan kebijakan new normal yang terkesan dipaksakan kepada masyarakat yang belum siap bahkan belum paham seperti apa era kehidupan baru tersebut. Baginda Rasulullah Muhammad SAW telah mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan ketika wabah melanda suatu negeri.

Beliau bersabda“ Jika kamu mendengar wabah disuatu wilayah, maka janganlah kamu memasukinya. Tapi jika terjadi wabah ditempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu (HR.Bukhori).

Upaya yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW tersebut, sebagai salah satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran wabah.
Upaya pemutusan mata rantai penyebaran covid-19 juga dapat dilakukan dengan metode pemisahan orang yang terinfeksi virus dengan orang yang bersih dari virus. Metode pemisahan ini dilakukan dengan cara melakukan polymerase chain reaction (PCR) yakni pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi dan mendiagnosis penyakit Covid-19 dengan tingkat akurasi diatas 95%.

Pemeriksaan ini tentu saja harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan tanpa memungut biaya sepeserpun. Setelah dilakukan pemisahan, baru kemudian orang yang positif covid-19 di karantina dan dilakukan perawatan lebih lanjut. Tidak hanya berhenti sampai di situ, pemerintah haruslah memberikan bantuan ekonomi secara penuh kepada masyarakat yang terdampak covid-19 baik secara langsung maupun tidak. Tanpa memperhitungkan untung rugi sekalipun. Akan tetapi pada akhirnya hanya negara yang berlandaskan kepada keimanan kepada Allah sajalah yang mampu memberikan pemeliharaan yang baik dan ikhlas pada masyarakat dalam menghadapi virus covid-19 ini. Wallahu A’lam.

YENI ROSMAENI
(Pemerhati Sosial)