Setelah kemerdekaan Bosnia-Herzegovina diakui awal Mei 1992 oleh AS dan Eropa rasa nasionalisme rakyatnya mulai bangkit. Setelah perang dunia kedua -sama halnya dengan negara-negara terjajah di dunia yang berusaha memerdekakan diri- dibentuklah “Majelis Nasional Serbia” sebagaimana BPUPKI dan PPKI di Indonesia. Serbia Bosnia yang memimpikan terbentuknya “Serbia Raya” menentang keras hasil referendum “Majelis Nasional Serbia” berupa kemerdekaan Bosnia.
Kemudian pasukan Serbia Bosnia melancarkan serangan dengan pengeboman terhadap Bosnia-Sarajevo, mengusir secara paksa penduduk sipil Bosnia dari wilayah tersebut yang didominasi etnis muslim (Bosniak) yang dulunya merupakan bagian dari wilayah Kekhilafahan Turki Utsmani.
Di Srebrenica, pengepungan dan bentrokan antara pasukan Serbia Bosnia dan pasukan Bosnia masih berlanjut hingga April 1993. Sebrenica dinyatakan sebagai “daerah aman” tanpa ada serangan bersenjata dan tindakan permusuhan lainnya oleh Dewan Keamanan PBB. Namun pada kenyataannya, pengepungan masih berlanjut hingga penduduk Srebrenica kekurangan persediaan makanan.
Pada tanggal 11 Juli 1995, Srebrenica kembali diserang oleh pasukan Serbia Bosnia dengan pasukan yang lebih besar menandingi satu batalyon pasukan penjaga perdamaian Belanda dari PBB yang ditempatkan di sana. Pasukan PBB menyerah dan mundur ke kota serta bantuan serangan udara NATO tidak berbuat banyak untuk meredakan serangan.
Pasukan Serbia Bosnia memisahkan laki-laki pada usia militer maupun anak laki-laki untuk dibunuh atau digiring ke situs pembunuhan massal. Kemudian banyak perempuan dan gadis diperkosa atau dilecehkan secara seksual.
Para pengungsi Srebrenica yang menaiki bus untuk menyelamatkan diri pun tak luput dari eksekusi, ada yang dikubur hidup-hidup, ditembak, serta dipaksa menonton keluarganya dibunuh. Dalam waktu kurang dari dua minggu, lebih dari 8000 penduduk Srebrenica telah terbunuh.
Ini merupakan pembunuhan massal terbesar di tanah Eropa sejak akhir Perang Dunia kedua.
Pembantaian etnis muslim sebagai motif utama genosida tersebut sangat kontras sekali dengan perlakuan Islam yang ditunjukkan pada masa Rasul dan Khulalafur Rasyidin.
Pasukan Islam saat itu bahkan tidak berani merusak pohon ketika berperang. Jika genosida ini membantai masyarakat sipil yang lemah, pasukan Islam justru diperintahkan menghindari pemukinan.
Maka, jika ajaran Islam saat berperang begitu agung, bagaimana mungkin teroris yang mengatasnamakan muslim adalah orang yang memahami Islam dengan benar?
Pada saat terjadinya agresi Serbia, tentara Belanda yang diutus tidak melakukan apa-apa. Bahkan lebih dari 5000 muslim Bosnia yang berlindung di pangkalan mereka naasnya diserahkan ke pasukan militer Serbia Bosnia.
Pengadilan PBB di Den Haag yang menyelidiki peristiwa itu mengungkapkan rencana besar yang berujung pembantaian. Setelah terjadi pembantaian itu, negara-negara Internasional hanya bisa mengecam tanpa melakukan upaya pencegahan secara fisik apa pun.
Bukankah ini tipu muslihat yang sangat apik sebagaimana yang diutarakan di Pengadilan PBB di Den Haag, “Sebuah upaya terpadu dilakukan untuk menangkap semua pria muslim yang mencapai usia militer.”
Adapun perlindungan dalam negara Islam tidak mengutamakan etnis dan ras tapi siapa saja yang merupakan warga negara khilafah dan tunduk pada aturannya akan dijamin keamanannya. Sehingga baik muslim, non-muslim, kulit hitam, kulit putih, ras arab, ras eropa, semuanya berada dalam perlindungan selama tunduk pada negara khilafah.
Ini semua disandarkan pada perintah dan larangan Allah SWT.
Pasca runtuhnya khilafah -akibat pemerintah dan masyarakatnya tidak lagi memegang aturan Islam secara menyeluruh dan silau terhadap Peradaban Barat, serta akibat ditutupnya pintu ijtihad- membuat pemahaman Islam kaum muslimin merosot tajam.
Cara pandang kaum muslimin pun berubah mengekor pada agen-agen penjajah Barat, seolah-olah tidak ada solusi lagi selain merujuk pada orang asing/penjajah.
Tidak adalagi yang bisa menolong Srebrenica. Genosida tebesar yang pernah ada pasca Perang Dunia kedua, pasca wilayah Srebrenica kehilangan pelindungnya seperti di masa khilafah. Muslim dijadikan sasaran utama perlakuan ini diseluruh dunia sebagai wilayah jajahan demi menghalangi bangkitnya Islam di titik manapun.
Setelah penjajah dijatahi wilayah Islam yang sudah runtuh dan terpecah-belah, dibuatlah perasaan muslim yang mendambakan kebebasan dari penjajah menjadi kebanggan terhadap sepetak tanah dan bangsa (patriotisme dan nasionalisme).
Bagi Barat, membantu etnis muslim dengan sungguh-sungguh justru hanya akan menghancurkan keberhasilan mereka setelah mengincar keruntuhan khilafah sejak berabad-abad. Jika kita menunggu andil PBB seperti harapan satu-satunya dalam mengemis keadilan dunia, maka sama saja kita seperti mendekati fatamorgana di tengah gurun penyiksaan saudara muslim kita sendiri.
Genosida Srebrenica bukanlah satu-satunya penyiksaan yang dialami muslim pasca runtuhnya khilafah. Banyak etnis-etnis muslim lainnya seperti di Rohingya, Palestina, Uyghur, Kashmir, dan lainnya tidak memiliki pelindung menyelesaikan masalah mereka secara tuntas. Yang menjadi patokan penyerangan Barat adalah apabila umat Islam berpegang teguh terhadap Islam hanya sebatas hubungan individu terhadap Tuhannya saja di masjid-masjid atau di rumah-rumah mereka, maka Barat tidak akan memerangi secara fisik.
Berbeda apabila umat Islam menginginkan aturan Allah ditegakkan secara menyeluruh, maka memerangi mereka tanpa tameng khilafah ibarat memangsa daging segar bagi Barat. Walaupun ada faktor kepentingan lain seperti tanah kaum muslimin yang strategis dan kaya sumber daya alam (bermanfaat secara material) yang membuat segala cara pun akan dilakukan mereka untuk menyingkirkan kaum muslimin.
Setelah umat Islam disekat-sekat oleh nation-state, sesama muslim tidak akan bisa lagi saling membantu saudaranya di negara yang lain. Tidak ada lagi pelindung umat Islam tanpa persatuan kaum muslimin. Mustahil tanpa persatuan kaum muslimin atas dasar ikatan akidah bisa mengatasi ketidakadilan yang diharapkan semua orang.
Mustahil seorang muslim yang tidak terikat sepenuhnya dengan aturan Allah akan memihak pada saudara muslimnya hanya atas dasar keimanan yang sama. Sekat-sekat itu digunakan hanya untuk memperlemah persatuan kaum muslimin agar tidak menjadi kuat dan membangun peradaban Islam yang akan mengalahkan peradaban Barat yang terbelakang seperti dulu.
Pada akhirnya tidak ada solusi lain selain mengakui bahwa Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Tidak ada lagi yang bisa menolong umat Islam karena sejatinya Islam adalah musuh terbesar bagi mereka.
Maka solusi satu-satunya hanyalah persatuan kaum muslimin tanpa sekat-sekat imajiner yang sengaja dibuat itu. Tetapi persatuan seperti itu tidak mungkin ada tanpa sebuah institusi sekelas negara yang mengadopsi ideologi Islam dan menerapkan aturan Islam, yaitu khilafah islamiyyah.
KIKI ANDINI (Komunitas Annisaa Ganesha)