Dinasti Politik Ala Sekuler Vs Islam

RATNA MUFIDAH, SE

Pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020 menuai sejumlah kritik dari berbagai para pengamat politik. Diantaranya adalah Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar mengatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik.
Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020. Masih menurut Ujang, pencalonan keluarga Presiden di pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan (www.kompas.com, 18 Juli 2020).

Menurut Wikipedia.org, dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun-temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah tujuanya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Fakta mengenai dinasti politik ini banyak sekali terjadi termasuk di negara yang menjadi kampium demokrasi yaitu Amerika Serikat.

Iklan ARS

Masih menurut Wikipedia, keluarga Bush menjadi dinasti politik tersukses sepanjang sejarah Amerika Serikat, yaitu menghasilkan dua Presiden (George H.W. Bush dan George W. Bush), satu Gubernur Texas (George W. Bush), satu Gubernur Florida (Jeb Bush), satu Direktur CIA (George H.W. Bush), dan satu Senator A.S. dari Connecticut (Prescott Bush). Selain itu, ada pula pejabat penting seperti Perwakilan A.S., banker, dan industrialis yang berasal dari keluarga Bush.

Dalam sejarah kekuasaan Islam sendiri sepanjang penerapannya seringkali dinilai juga menerapkan dinasti politik. Bagaimana jabatan kepala negara yaitu kholifah diwariskan secara turun-temurun kepada putra dari Kholifah yang saat itu menjabat. Hal tersebut tepatnya terjadi setelah berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin. Diawali dengan Muawiyah, kholifah pertama dari Bani Umayah yang banyak tertulis dalam sejarah memaksakan baiat dari rakyat demi mengangkat putranya Yazid menjadi khalifah.

Fenomena dinasti politik yang terjadi saat ini banyak dipandang pengamat sebagai ancaman kehidupan demokrasi. Bagaimana yang bermodal kuat mengalahkan yang bermodal lemah tanpa menimbang sisi kualitas calon pemimpin tersebut. Pihak yang saat ini memegang kekuasaan, tentu memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk mendukung dan memenangkan pencalonan keluarga maupun kroni-kroninya.

Sistem bangunan politik Islam sama sekali tidak berlandaskan demokrasi, meski secara konsep, kekuasaan berada ditangan umat/rakyat. Umat inilah yang menyerahkan/mewakilkan pelaksanaan kepemimpinan tersebut kepada seorang khalifah lewat prosesi baiat. Baiat dari umat disampaikan lewat seorang yang mereka percaya, yang dimasa khulafaur rasyidin disebut ahlul halli wal aqdi atau bisa pula dibuat wadah lembaga majelis umat.

Secara historis, metode baiat tidak pernah ditinggalkan dalam mengangkat seorang kholifah. Aqad penyerahan dari umat kepada calon khalifah selalu terjadi. Adapun proses menuju baiat yang mungkin tidak ideal yaitu bersifah ridho wa ikhtiyar (keridhoan dan pilihan) misalnya pemaksaan atau bahkan dikenal orang dengan cara berdarah-darah (perebutan kekuasaan) adalah kesalahan dari pelaksanaan baiat oleh manusia.

Meski terdapat kesalahan pelaksanaan dalam proses menuju baiat khalifah, syariat Islam sebagai aturan hidup baku yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah tak pernah ditinggalkan untuk diterapkan oleh seluruh khalifah. Hal inilah yang tetap membuat kehidupan rakyat yang berada dalam naungan khilafah, sejahtera dan mulia penuh rahmat.

RATNA MUFIDAH, SE