Ironi Gagasan Pilkada Disaat Pandemi

ILUSTRASI

Sungguh ironis jika kita menyaksikan fakta yang terjadi saat ini. Bagaimana tidak, disaat masyarakat sedang terhimpit dengan kesulitan-kesulitan hidup akibat pandemi Covid-19 yang terus saja mengganas, namun pemerintah seolah tidak peduli bahkan cenderung egois. Hal ini nampak ketika penguasa justru sibuk mempersiapkan anggaran untuk Pilkada mendatang.

Hal ini sebagaimana dilansir oleh Jabar news Bandung (09/07/2020) bahwa pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 di Kabupaten Bandung mengaharuskan untuk menerapkan protokol kesehatan COVID-19.

Iklan ARS

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bandung mengajukan anggaran sebesar Rp14,4 miliar untuk pengadaan alat pelindung diri serta kelengkapan peralatan yang sesuai dengan protokol kesehatan COVID-19.

“Kelengkapan bakal digunakan oleh panitia pemungutan suara dan perlengkapan protokol kesehatan di TPS,” ujar Ketua KPU Kabupaten Bandung, Agus Baroya.

Ia menambahkan dari total anggaran Pilkada sebesar Rp99 miliar, sekitar Rp14,45 miliar ditujukan untuk pembelian APD yang anggaran pengadaannya ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Yang terpenting anggaran untuk pelaksanaan Pilkada bisa segera dicairkan,” ujar Agus. Karena menurutnnya saat ini KPU Kabupaten Bandung baru menerima pencairan dana Pilkada sebesar 40 persen dari total pengajuan.

Menurutnya Pemerintah Kabupaten Bandung akan membuat surat terkait hal tersebut agar anggaran Pilkada bisa segera tercairkan.

Saat ini KPU Kabupaten Bandung masih menyusun Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Dia mengatakan PPDP akan ditetapkan pada 14 Juli 2020, sehingga setelah itu Daftar Pemilih Tetap (DPT) akan segera diperbarui.

Padahal pandemi belum berakhir hingga saat ini, dan tidak ada seorangpun yang mampu memastikan kapan akan berakhir, jumlah korban semakin meningkat setiap harinya.

Dalam situasi sulit ini rakyat akan dihadapkan pada sejumlah persoalan hidup jika Pilkada ini tetap dilakukan. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana pengalaman pahit penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 yang menelan ribuan korban jiwa, apalagi ini dilaksanakan pada saat pandemi belum usai.

Demikianlah realitas Pilkada pada sistem demokrasi sekuler, telah menjadi rahasia umum bahwa tiap Pilkada akan dilaksanakan pasti selalu membutuhkan dana yang sangat besar. Seorang calon kepala daerah harus mempersiapkan ratusan juta bahkan milyaran untuk pilkada ini. Dana itu digunakan untuk membiayai biaya oprasional kampanye, alat peraga kampanye, timses dan lain sebagainya.

Jika bakal calon (balon) tidak mempunyai dana sendiri maka ia akan menempuh dua kemungkinan yaitu; pertama, ia akan menggandeng pengusaha yang akan memberikan modal untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan.

Namuun kita ketahui bersama dalam sebuah sistem kapitalis tidak ada iistilah makan siang gratis, sang pemilik modal akan meminta imbalannya ketika yang bersangkutan telah terpilih menjadi kepala daerah dengan mengeluarkan kebijakan yang pro dengan kepentingan-kepentingan mereka, bukan kebijakan yang memihak kepada kepentingan rakyat.

Kedua, mereka akan menempuh segala jalan demi mendapatkan tampuk kekuasaan. Misalnya dengan menjual aset-aset yang mereka miliki ataipun melakukan pinjaman. Sehingga konsekuensinya jika ia terpilih nanti program utamanaya adalah mengembalikan modal untuk membayar hutang atau mengembalikan aset-aset mereka yang sudah mereka keluarkan.

Dari sini maka akan dijumpai praktek-praktek korupsi. Survey membuktikan bahwa mayoritas kepala daerah terlibat skandal korupsi.
Dari fakta diatas maka kita bisa melihat bahwa praktek pilkada dalam sistem demokrasi tidak ada yang berpihak kepada rakyat.

Dipastikan dana yang harus disiapakan oleh negara juga tidak kecil. Untuk APD saja satu daerah butuh dana 4 milyar. Maka bisa dibayangkan berapa trilyun yang dibutuhkan untuk seluruh Indonesia? Sementara kas negara sedang mengalami krisis.

Maka jalan satu-satunya adalah dengan mengajukan hutang baru dan akhirnya rakyatlah yang menanggung beban hutang itu. Begitulah fakta Pilkada dalam demokrasi, berbiaya tinggi namun tidak berpihak kepada rakyat .

Hal itu akan sangat berbeda dengan Pilkada dalam sistem Isalam, dimana kepala daerah ditunjuk langsung oleh seorang kholifah (kepala negara) . Kholifah akan menunjuk kepada orang yang memenuhi syarat yang di tetapkan dalam Islam yaitu, muslim, baligh, laki-laki, adil, merdeka, berakal,memiliki kemampuan/capable untuk menjadi kepala daerah.

Dengan penunjukan secara langsung ini maka akan terpilih kepala daerah yang capable dan tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar. Sebagaimana Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal sebagai gubernur di Yaman.

Dan rakyat yang dipimpin oleh gubernur semacam ini, diapastikan terurusi dengan baik karena sumber hukumnya merujuk kepada al-qur’an, as-Sunnah dan dalil-dalil yang ditunjuk oleh keduanya. Disinilah urgensi dari sistem Islam harus di tegakkan demi kemaslahatan rakyat dan meraih ridho dari allah swt. Wallahu a’lam bi showab.

UMMU ABROR