Ala Politik Dinasti Bukan Sekedar Anomali Demokrasi!

Disampaikan akademisi Universitas Gajah Mada, Kuskrido Ambardi dalam diskusi akhir tahun FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertema “Partai Politik Dan Kecenderungan Politik Oligarki” di Auditorium Bahtiar Effendy, FISIP UIN, Tangerang Selatan,”Politik dinasti itu tidak tiba-tiba muncul,”dan”Munculnya politik dinasti itu bisa memudahkan kartel politik bergerak. Setidaknya dengan dinasti, langkah kartelisasi partai lebih mudah tercapai,” demikian ungkapan Kuskrido Ambardi.( rmolbanten/18 /12/ 2019 )
Politik oligarki yg dibangun parpol berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa adalah keniscayaan dalam demokrasi.

Selanjutnya pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020. “Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota,” kata Ujang.

Iklan Pemkot Baubau

Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020. Ujang juga menilai pencalonan keluarga Presiden di pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan Gibran mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain.

“Kemungkinan itu (penyalahgunaan wewenang) bisa terjadi. Penyalahgunaan wewenang itu akan ada. Cuma memang biasanya, akan disiasati,” kata Direktur Eksekutif Terkait Tudingan soal Dinasti Politik, Ini Respons Bobby Nasution Ujang menambahkan, Indonesia saat ini memang sedang diwarnai fenomena oligarki dan dinasti politik yang menguat. Tak hanya di level nasional, dinasti politik ini juga terjadi pada politik di tingkat daerah. “Dan ini akan berbahaya bagi proses demokratisasi. Demokrasi bisa dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik,” kata dia.( kompas/18/7/2020).

Demokrasi meniscayakan pemenang mendapat suara terbanyak. Bisa diraih dengan dana besar selalu bersanding dengan Sistem predator kapitalisme yang sukses melahirkan berupa kesenjangan ekonomi, politik dan kebijakan yang menguntungkan kapitalis lokal maupun global serta sistem hukum yang lemah dan tumpul sehingga memunculkan berbagai cabang masalah baru seperti korupsi, kriminalitas dan sebagainya.

Pada akhirnya menstimulus sikap apatis atau kritis publik. Ketenaran dijadikan alat untuk mmpengaruhi jabatan, karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari system demokrasi.Ini bukan sekedar anomali dari praktik demokrasi. Karenanya menolak politik dinasti hanya terjadi bila demokrasi disingkirkan.

Memilih dengan sudut pandang Islam
Islam dan demokrasi adalah dua kutub  berbeda, demikian pula dalam memandang perilaku politik. Jika dalam Demokrasi kecerdasan pemilih diukur  atas  pertimbangan program kerja dan kinerja, maka berbeda dengan Islam, aqidah menjadi hal mendasar dalam  menentukan kelayakan seseorang dipilih menjadi pemimpin baik pemimpin negara (Khalifah), pemimpin setingkat Provinsi (Wali) maupun pemimpin setingkat Kabupaten/Kota (Amil).

Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapat dukungan nyata umat karena dikenal ketakwaan dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah syara.
Konsep Islam tentang kepemimpinan sebenarnya sudah ideal. Contoh paling ideal pemimpin Islam tentu saja Nabi Muhamad Saw. Ia merupakan seorang yang memimpin dengan hati.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21).

Ketaqwaan pada Allah melahirkan pemimpin yang memiliki rasa takut melanggar perintah-Nya. Pemimpin bertakwa akan menyadari posisinya sebagai pengurus rakyat, dalam hadis riwayat Muslim dan Ahmad disebutkan “Iman Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya”. Pemimpin akan bekerja keras dan amanah sebab ia sadar apa yang akan dilakukan pasti akan dipetanggungjawabkan diperadilan akhirat. Inilah yang di maksud adanya hubungan dengan Al Khaliq adalah sebuah keyakinan yang tidak ada dalam konsep Demokrasi. Wallahu ‘alam bishowaf.

ANI HAYATI (Ummu Rozan)