Demokrasi, Dinasti Politik dan Kepemimpinan Islam

Pemilihan Kepala Daerah secara serentak bakal dilaksanakan pada Desember 2020 mendatang. Aroma dinasti politik kian terasa. Pergolakan politik pun kian memanas. Dalam sejarahnya, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana semua warga memiliki hak dan kewajiban untuk berperan aktif dalam tiap pengambilan keputusan. Adapun dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Dengan Dinasti politik pergantian Kepemimpinan mirip Kerajaan, Sebab kekuasaan di wariskan turun temurun dari pemilik dinasti kepada ahli warisanya agar kekuasaan tetap berada di lingkungan keluarga.(Wikipedia,org).

Iklan ARS

Politik Dinasti di Indonesia merupakan satu hal yang memang “direncanakan” untuk terjadi. Hal itu disampaikan akademisi Universitas Gajah Mada, Kuskrido Ambardi dalam diskusi akhir tahun Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Politik Dinasti tidak tiba-tiba muncul. Ada kaitannya dengan kartelisasi (oligarki) politik. Jika oligarki politik dilakukan partai politik, sementara politik dinasti dilakukan pribadi-pribadi. Munculnya politik dinasti dapat memudahkan kartel politik bergerak serta langkah kartelisasi partai lebih mudah tercapai. (rmolbanten.18/12/2019).

Jelang Pilkada 2020, keluarga istana pun turut dalam pertarungannya. Apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sederet nama dari keluarga istana mulai ramai diperbincangkan karena maju dalam Pilkada 2020.

Dilansir pada laman JawaPos.com, Partai Golkar secara resmi memutuskan mendukung putra dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution di Pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang. Pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo dan menantu, menuai sejumlah kritik dari berbagai para pengamat politik. Diantaranya adalah Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar mengatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Masih menurut Ujang, pencalonan keluarga Presiden di pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang (www.kompas.com, 18 Juli 2020).

Selain putra dan menantu Jokowi juga ada putri Ma’aruf Amin, Siti Nur Azizah maju pada Pilkada Tangsel diusung PKS, ponakan Prabowo Subianto Rahayu Saraswati Djojohadikusumo pun maju sebagai calon wali kota Tangsel diusung PDI-P dan Gerindra, Anak Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah tak mau ketinggalan, Pilar Saga Ichsan resmi mendapat rekomendasi Partai Golkar dan PPP untuk maju sebagai calon wali kota Tangsel 2020. (akurat.co,19/7/2020)

Berdasarkan pengamatan LIPI, Politik dinasti muncul di banyak wilayah negeri misalnya di Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroeddin di Lampung, ataupun Dinasti Fuad di Bangkalan (Madura). Tetapi menurut pengamat LIPI, politik dinasti yang paling massif terjadi di Banten dengan Dinasti Chasan Sochib (Kelompok Rau). Dalam satu periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini memegang jabatan penting dalam politik di provinsi tersebut.

Politik oligarki yg dibangun parpol berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa adalah keniscayaan dalam demokrasi. Demokrasi meniscayakan pemenang mendapat suara terbanyak. Bisa diraih dengan dana besar, ketenaran atau pun pengaruh jabatan yg sedang dimiliki. Karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi. Ini bukan sekedar anomali dari praktik demokrasi. Karenanya menolak politik dinasti hanya terjadi bila demokrasi disingkirkan.

Hal ini tentu berbeda dengan Islam. Dalam Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapat dukungan nyata umat karena dikenal ketakwaan dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah syara’. Dalam sistem pemerintahan Islam menetapkan kedaulatan ada di tangan syara’, sebab Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun

Adapun kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.

Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’’tentang bai’at. Dalam ketentuan syara’ seorang peminpin hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’’dalam pengangkatan Pemimpin . Pemimpin ditunjuk untuk menerapkan syariat islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Metode pemilihan pemimpin yang ditetapkan oleh syariat adalah baiat yang dilkaukan oleh ummat melalui baiat. Siapakah Pemimpin yang terbaik menurut islam?

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam telah bersabda :

ارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah Pemimpin yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalianpun mendoakan mereka. (HR. Shohih Muslim).”

Rasul juga telah mengingatkan kita;

“Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga. (HR Al-Bukhari dan Muslim).” Hanya Islam yang bisa mendorong para pemimpin/penguasa untuk selalu bersikap adil serta amanah dalam menjalankan tanggung jawabnya. Wallahu Alam bis shawab.

NAHMAWATI, S.IP (Member Komunitas Aktif Menulis)