Buah Simalakama Perkawinan Pendidikan Vokasi dengan Industri

MURNI,S.Pd

Di tengah pandemi covid-19 pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan SDM salah satunya adalah dalam dunia pendidikan, dimana dalam dunia pendidikan pemerintah akan mengawinkan pendidikan vokasi dengan industri perusahaan.

Sehingga dengan adanya perkawinan ini Pendidikan vokasi telah menjelma menjadi primadona baru di dunia pendidikan, dimana semakin banyaknya anak-anak lulusan terbaru mendaftarkan diri pada pendidikan vokasi. Orientasinya adalah menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Iklan ARS

Tujuan pendidikan vokasi memang bertujuan membangun kualitas SDM yang mampu menghadapi era Industri 4.0. Tujuan itu nampak nyata dari pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Pemerintah melalui Kemendikbud bakal menggelontorkan Rp3,5 triliun untuk mengawinkan pendidikan vokasi dengan industri.

“Tahun ini bantuan pemerintah sekitar Rp3,5 triliun khusus mendorong pernikahan itu. Kami menjadi mak comblang, mendorong pernikahan vokasi dengan Industri,” kata Dirjen Pendidikan Vokasi (Diksi) Kemendikbud, Wikan Sakarinto dalam diskusi daring, Sebagai langkah awal, Kemendikbud bakal melakukan nota kesepahaman dengan industri, pekan depan.

Wikan mengaku telah menjelaskan betapa menguntungkannya dapat mencetak lulusan sesuai kebutuhan industri. Sejak Indonesia mengadopsi sistem pendidikan berbasis kapitalisme, paradigma pendidikan sudah bergeser dari hakikat pendidikan itu sendiri. Apalagi pascaimplementasi ekonomi berbasis pengetahuan menjadikan pendidikan berubah fungsi.

Bukan lagi pencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas dari aspek karakter dan kemanfaatannya bagi umat manusia. Tapi mencetak SDM mesin industri, pendidikan dijadian sebagai pasar kerja. Dua tahun lalu, melalui Kemenperin, program vokasi itu begitu gencar dilakukan. Terutama di kalangan pelajar yang berorientasi pada sekolah kejuruan.

SMK menjamur, jumlahnya bertambah secara signifikan. Saat itu, program yang digagas Kemenperin pada tahun 2018 adalah Link and Match. Peluncuran program pendidikan vokasi industi tersebut tentang revitalisasi SMK, yang diharapkan agar seluruh SMK di Indonesia ke depannya dapat menghasilkan lulusan yang kompeten dan siap kerja sesuai kebutuhan industri.

Dalam pendidikan vokasi, keikutsertaan industri mempermudah penyerapan tenaga kerja di kalangan pelajar dan lulusan kampus. Jika ingin langsung bekerja mereka cukup sekolah di bidang kejuruan, yaitu SMK. Bila ingin meneruskan ke pendidikan tinggi, program studi yang berpeluang besar menyerap tenaga kerja dibanjiri calon mahasiswa.

Dari tahun ke tahun, prodi yang paling banyak diminati calon mahasiswa baru di antaranya saintek seperti teknologi informasi, kedokteran, teknik industri, teknik sipil, teknik elektro; soshum seperti manajemen, akuntansi, hubungan internasional, komunikasi, hukum, dan psikologi.

Faktor peminatan pelajar pada keahlian teknis mengindikasikan bahwa program pendidikan vokasi telah berhasil memengaruhi prevelensi mereka dalam menuntut ilmu. Ilmu tak lagi bertujuan mencerdaskan anak bangsa. Menuntut ilmu hanya terdorong lantaran lulus langsung kerja.

Begitulah prinsip pencari lmu dalam pengaruh kapitalisme. Keterampilan dan kompetensi kerja menjadi poin utama seberapa besar serapan tenaga kerja di dunia industri. Dengan mengadopsi kebijakan Knowledge Based Economy, pendidikan diarahkan hanya untuk memenuhi pasar kerja. Andai kata tak terserap sebagai tenaga kerja, setidaknya mereka mampu berwirausaha. Itulah alasan mengapa perkawinan pendidikan vokasi dan industri adalah strategi yang harus dilakukan. Yaitu, melahirkan SDM bermental buruh.

Manakala tenaga kerja terserap, pertumbuhan ekonomi dianggap meningkat. Klaim penurunan pengangguran pun bisa diperkuat dengan kebijakan ini. Padahal faktanya tidaklah demikian. Di Negeri kita ini pekerja lokal harus bersaing keras dengan pekerja tenaga asing dan anehnya di tengah pandemi covid -19 banyaknya tenaga lokal yang diPHK dan dirumahkan yang tak tau kapan berakhirnya malah tenaga kerja asing terus mengalir berdatangan di negeri kita ini.

Seperti buah simalakama mau menciptakan generasi siap kerja lewat pernikahan pendidikan vokasi dengan industri tapi disisi lain tenaga asing terus berdatangan membanjiri untuk kerja pada industri di indonesia. Derasnya investasi tak berdampak pada serapan tenaga kerja. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana membeberkan kondisi penyerapan tenaga kerja di Tanah Air. Danang mengatakan, sejak tahun 2013 sampai 2018 nilai investasi di Indonesia terus bertambah, namun penyerapan tenaga kerjanya kian menurun.

“Sebelum Covid-19 serapan tenaga kerja sudah berbanding terbalik dengan investasi,” ungkap Danang dalam diskusi online Apindo, Menurut Danang, data tersebut membuktikan kenaikan nilai investasi tak menjamin tenaga kerja yang terserap akan bertambah.

Pendidikan dalam asuhan kapitalisme menegasikan hakikat pendidikan dalam kehidupan manusia. Pendidikan bukan sekadar mencetak tenaga kerja. Namun yang lebih utama adalah membentuk kepribadian mulia. Keilmuan yang dimilikinya tidak meluluskan untuk mengisi pasar kerja. Generasi semestinya didorong sebagai pembangun peradaban. Menciptakan teknologi dan inovasi untuk kepentingan umat manusia.

Perkawinan pendidikan vokasi dengan industri menampakkan political will pemerintah nihil. Jika pemerintah memiliki political will, harusnya berpikir bagaimana meningkatkan SDM menjadi tuan di rumahnya sendiri. Bukan pelayan yang melayani para kapital. Bila pemerintah memiliki komitmen mewujudkan kemandirian negara, mestinya jadikanlah lembaga pendidikan memiliki visi jangka panjang. Visi sebagai pelaku ekonomi makro, tidak sebatas mikro. Bukan hanya diberi skill, namun juga dibekali karakter sebagai pemimpin. Memimpin negeri ini dengan mengelola sumber daya alam secara mandiri.

Sayangnya, kapitalisme telah menggerus visi besar yang semestinya dimiliki sebuah negara. Pendidikan pun minus visi. Dampak buruk dari kebijakan pendidikan yang mengarahkan lulusannya “hanya tahu bagaimana menjadi mesin uang” adalah karakter sebagai pelopor peradaban menjadi hilang. Efeknya, negara tak mampu berdikari.

Bergantung pada belas kasih bantuan negara lain. Bos industri tetap kapitalis. Sementara anak negeri paling mentok hanya sebagai karyawan atau buruh para kapitalis.

Gerbong utama lahirnya generasi unggul adalah pendidikan. Orientasi pendidikan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam. Pendidikan dalam Islam merupakan upaya terstrukttur dan sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba Allah. Dalam Islam, pendidikan tidak sekadar berorientasi mengejar lulusan siap kerja. Namun, orientasi lulusannya haruslah berimbang antara dunia dan akhirat.

Pada aspek dunia, mereka dibekali saintek, keterampilan, dan semua hal yang dibutuhkan agar berdaya guna di tengah masyarakat. Ilmunya digunakan untuk sebesar-besar kemaslahatan umat. Dalam aspek akhirat, ia akan bertumbuh menjadi generasi yang memiliki kepribadian mulia. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya ilmuwan-ilmuwan muslim yang tak hanya pandai ilmu saintek. Mereka juga cakap dalam ilmu agama. Pendidikan Islam juga mendorong para lulusan bermental pemimpin peradaban.

Kapitalisme mungkin berhasil menciptakan generasi kerja. Namun, ideologi ini gagal membentuk generasi berkarakter mulia. Kapitalisme boleh saja menciptakan industri besar. Namun, ideologi ini juga gagal membangun industri berbasis kemandirian. Islam memadukan orientasi dunia dan akhirat menjadi satu kesatuan. Selain berhasil membentuk generasi mulia yang beradab, Islam juga sukses mencetak SDM unggul di segala bidang. Wallahu A’lam.

MURNI,S.Pd (Pendidik)