KDRT Meningkat selama Pandemi Covid-19, Saatnya Kembali pada Solusi Islam

“Sudah jatuh tertimpa tangga”. Mungkin itu peribahasa yang pas untuk menggambarkan kondisi yang dialami sebagian besar perempuan dan anak di negeri ini. Seiring pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai, laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak makin meningkat.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan yang meningkat selama pandemi Covid-19.

Iklan Pemkot Baubau

Sebanyak 80 persen dari perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah Rp 5 juta rupiah per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi. (kompas.com 03/6/2020).

Senada dengan Komnas Perempuan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Jambi mencatat ada kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, yaitu 60 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2019 dan bertambah menjadi 72 laporan yang masuk pada Januari-Juli 2020.

Kasus yang terdata di DPMPPA Kota Jambi tersebut hanya kasus yang terlapor, sementara masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang belum dilaporkan.

DPMPPA Kota Jambi menambahkan bahwa faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut didominasi masalah ekonomi, mulai dari berkurangnya pendapatan keluarga karena pandemi COVID-19. (sumsel.antaranews.com 24/07/2020).

Keluarga harmonis adalah dambaan setiap orang, namun mewujudkannya dalam masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Islam seperti saat ini, tentu tidaklah mudah. Terbukti, dari tahun ke tahun angka KDRT terus meningkat.

Terlebih di tengah kondisi wabah saat ini, tentu tidak semua keluarga bisa melewatinya sebagaimana kondisi biasanya. Bahkan beberapa media menyatakan bahwa pandemi ini tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan, krisis sosial dan ekonomi, tetapi juga memicu naiknya kasus KDRT (okezone.com, 21/04/2020).

Sejatinya, akar permasalahan ini berpulang pada sistem kapitalisme-sekuler. Sekularisme dengan paham-paham turunannya yang batil seperti liberalisme dan materialisme memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit dan jauh dari berkah. Terlebih adanya pandemi ini, semakin membebani mayoritas keluarga muslim dengan kehidupan yang serba sulit, sedangkan penguasa seolah lepas tangan dengan kondisi rakyatnya.

Kondisi ekonomi sulit inilah yang kerap memunculkan masalah dalam keluarga, salah satu di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Para bapak kesulitan mendapatkan nafkah untuk keluarganya, yang justru akhirnya mendorong para ibu turut bertanggung jawab menanggung beban ekonomi keluarga yang menyita energi dan waktu mendidik anak-anak mereka. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan riak-riak dalam rumah tangga yang selanjutnya berdampak pada ketidakharmonisan keluarga. Semua kondisi ini menjadikan umat Islam kehilangan peluang untuk kembali tampil menjadi entitas terbaik dan terdepan (khoyru ummah) sebagaimana fitrahnya.

Tentu saja kondisi ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Keluarga muslim harus segera bangkit dari keterpurukan dengan jalan kembali kembali berfungsi sebagai benteng umat yang kokoh, yang siap melahirkan generasi terbaik dan individu-individu yang bertakwa, dengan visi hidup yang jelas sebagai hamba Allah yang mengemban misi kekhalifahan di muka bumi.

Di sinilah urgensi dakwah membangun kesadaran, bahwa Islam bukan cuma agama ritual, tapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan, baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat maupun negara. Islam adalah solusi terbaik untuk berbagai persoalan kehidupan dan sebagai undang-undang yang mutlak harus dijalankan karena Islam adalah aqidah yang memancarkan peraturan kehidupan secara paripurna yang biasa dikenal dengan syari’at Islam.

Islam akan menjadi rahmatan lil’alamin jika diterapkan secara sempurna dalam kehidupan. Mekanisme penerapan aturannya dibutuhkan tiga pilar utama, pertama dengan membentuk ketaqwaan individu, agar individu masyarakat mampu mengontrol dirinya agar selalu menjadi manusia yang baik dan taat menjalankan perintah Tuhannya serta menjauhi larangannya.

Kedua dengan membentuk masyarakat yang peduli, masyarakat yang senantiasa menjaga norma-norma yang ada, gemar melakukan amar ma’ruf nahy munkar kepada keluarga dan masyarakat disekitarnya. Ketiga adanya negara yang menerapkannya, karena legalitas hukum disebuah negara akan menentukan cara hidup rakyatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan penerapan tiga pilar tersebut, niscaya kebahagiaan hidup akan dirasakan tidak hanya oleh keluarga muslim, tetapi juga oleh umat secara keseluruhan, karena aturan Islam memang datang sebagai rahmat bagi seluruh alam.

OKTAVIA TRI SANGGALA DEWI, SS., M.Pd (Aktivis Dakwah Islam, Jambi)