RUU Omnibus Law Cipta kerja: Legalisasi Kezaliman Terhadap Pekerja

ELLI MARLINA

Omnibus law RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah terus mendapatkan penolakan dari publik. Serikat buruh hingga mahasiswa ramai-ramai menyatakan penolakannya. mereka menilai RUU Cipta Kerja terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11 klaster dianggap bermasalah. Setelah surat presiden dan draf RUU Cipta Kerja diterima DPR pada Rabu (12/2/2020), pembahasan bersama pemerintah belum juga dimulai. DPR terkesan menunda-nunda pembahasan di tengah hujan kritik RUU Cipta Kerja
Omnibus Law RUU cipta kerja ini hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi.Tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut.Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan.Kemudahan dalam aspek ekonomi masyarakat justru terpinggirkan.Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak. Jadi bukan kita mudah mencari kerja.

Menciptakan Perbudakan Modern

Iklan ARS

Pasal-pasal terkait ketenagakerjaan di RUU OMNIBUS Law akan menciptakan perbudakan modern.Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam draf RUU tersebut.

Keberadaan RUU justru akan menarik Indonesia kembali ke zaman kolonial Hindia Belanda.RUU tersebut sama dengan aturan Koeli Ordonantie yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. ketika berlaku Koeli Ordonantie memberikan jaminan kepada majikan terhadap pekerjanya jika terjadi masalah.Saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin ekspor komoditas-komoditas perkebunan.

Untuk menarik banyak investor kemudian mereka membuat undang-undang yang namanya Koeli Ordonantie yang intinya memberikan jaminan kepada pemilik perkebunan akan tenaga kerja yang murah dan dengan perlindungan yang minim.
Di sisi lain, Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif menyatakan ada 31 pasal inkonstitusional dalam draf RUU omnibus law. Sifat inkonstitusional itu disebabkan pemerintah tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan pasal-pasal tersebut.Kode Inisiatif membagi ketidakacuhan pemerintah terhadap putusan MK itu dalam tiga kategori.

Pertama, putusan MK tidak ditindaklanjuti.

Kedua, tindak lanjut terhadap putusan MK bersifat parsial atau hanya sebagian yang diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja.

Ketiga, pasal yang telah dibatalkan MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dihidupkan kembali.

Solusi

Konflik abadi antara buruh dan pengusaha tidak akan terjadi dalam sistem khilafah Islam. Upah (ijaroh) adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan tenaga kerja. Persoalan upah dikembalikan pada standar Islam yakni syariah.

Rasulullah Saw. memberikan panduan terkait upah pada hadis yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi,

“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”

Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya. Pekerja dan majikan harus menepati akad di antara keduanya mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan.

Rasulullah Saw. menyampaikan tentang pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR Muslim).

Islam bahkan mengatur tata cara pembayaran upah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda, “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Imam Thabrani).

Besarnya upah tergantung kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau berdasar upah standar profesi tersebut. Dikisahkan, ketika Umar ra. ingin mempekerjakan seorang pemuda yang miskin, maka beliau menawarkan kerjanya dengan mengatakan, “Siapakah yang akan mempekerjakan atas namaku pemuda ini untuk bekerja di ladangnya?” Maka seseorang dari kaum Anshar berkata, “Saya, wahai Amirul Mukminin!” Beliau berkata, “Berapa kamu memberinya upah dalam sebulan?” Ia menjawab, “Dengan demikian dan demikian!” Maka beliau berkata, “Ambillah dia!”.
Riwayat ini memberikan pengertian bahwa Umar menawarkan tenaga kerja, lalu datang permintaan dari pihak orang Anshar tersebut, dan terjadi kesepakatan tentang upah.Jika terjadi konflik antara seorang pekerja dengan majikannya, kasus tersebut bisa diajukan pada qadhi (hakim) sebagai representasi dari negara. Hakim akan menyelesaikan konflik tersebut berdasarkan akad yang terjadi di antara kedua pihak. Pihak yang bersalah akan diberi sanksi.

Pada masa Umar bin Khaththab ra. terjadi peristiwa pencurian unta. Beberapa pembantu Hatib bin Abi Balta’ah ketahuan mencuri seekor unta milik orang dari Muzainah. Khalifah Umar melepaskan beberapa pembantu Hatib tersebut dari tuduhan pencurian setelah mengetahui kalau mereka melakukan itu untuk sekadar mencari hidup.

Amirul Mukminin bahkan meminta Abdurrahman, anak Hatib, untuk membayar dua kali lipat harga unta orang Muzainah yang dicuri beberapa pembantu Hatib tersebut. “Pergilah Abdurrahman dan berikan kepadanya (orang Muzainah pemilik unta) delapan ratus, dan bebaskan anak-anak muda itu pencuri itu dari tuduhan pencurian, sebab Hatib yang telah memaksa mereka mencuri: mereka dalam kelaparan dan dan sekadar mencari hidup,” kata Khalifah Umar.

Inilah sanksi yang diberikan Sang Khalifah bagi majikan yang tidak memberi upah yang layak pada pekerjanya.

Dengan sistem pengupahan yang adil, pekerja hidup sejahtera dalam khilafah. Pekerja diupah berdasarkan manfaat yang diberikannya. Jika upah tersebut tak mencukupi kebutuhan dasarnya, negara akan memberi santunan dari dana zakat dan lainnya di baitumal. Pengusaha juga senang hidup dalam Khilafah karena dia mendapat manfaat dari pekerja dan tidak dibebani untuk menanggung biaya hidup sang pekerja seperti pendidikan dan kesehatan. Kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab negara.

Demikianlah sistem khilafah hadir memberi solusi bagi buruh dan pengusaha sehingga keduanya bisa hidup sejahtera. Wallahu A’lam Bishawab.

ELLI MARLINA,S.Pd.I (Pemerhati Sosial)

PUBLISHER: MAS’UD