Beberapa hari lalu Indonesia memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2020. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, acara ini diperingati dengan meriah walaupun sedikit berbeda karena pandemi covid-19.
Perayaannya sendiri diselenggarakan dengan sistem daring atau online dengan tema Anak Terlindungi, Indonesia Maju, dengan tagline #AnakIndonesiaGembiradiRumah. Penyelenggaraan peringatan yang dikemas dengan sistem daring diharapkan dapat menjangkau seluruh anak di penjuru Indonesia. Perayaan ini dimaknai sebagai kepedulian seluruh bangsa Indonesia terhadap perlindungan anak Indonesia agar tumbuh dan berkembang secara optimal, dengan mendorong keluarga Indonesia menjadi lembaga pertama dan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak. (tirto.id. 23/7/2020).
Tentunya inilah harapan yang diinginkan oleh semua pihak terhadap nasib anak-anak Indonesia.
Potret Buram Anak Indonesia
Sebagai generasi penerus bangsa, anak sejatinya diharapkan mampu untuk membawa perubahan bagi nasib bangsa dan peradaban. Namun, melihat potret buramnya dunia anak saat ini, tampaknya harapan itu sulit untuk bisa terpenuhi.
Berbagai data tentang kelamnya nasib anak-anak di pelosok negeri, seperti tingginya kasus kekerasan fisik pada anak yang menurut data KPAI dari total jumlah anak di Indonesia yakni sebesar 87 juta, sebanyak 6 % mengalami tindak kekerasan, tingginya kasus anak putus sekolah karena keterbatasan ekonomi yang memicu banyaknya kasus pekerja anak termasuk anak jalanan. Angka ini terus merangkak naik di masa pandemi Covid-19. Selain itu, tingginya kasus anak yang mengalami eksploitasi seksual.
Masih teringat kasus pelecehan seksual pada 12 siswi SD di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang kasus tersebut diungkap polisi pada Januari 2020 namun sudah terjadi sejak Agustus 2019 (tirto.id, 07/01/2020). Atau kasus yang terbaru yang dilakukan WNA asal Perancis yang melakukan praktek pedofili pada 305 anak di Jakarta (liputan6.com, 14/07/2020).
Belum lagi angka kasus anak yang terjebak pergaulan bebas dan narkoba. Bahkan beberapa waktu lalu di sebuah hotel di Jambi, aparat menangkap 37 pasang pelajar SMP tengah mengadakan pesta seks. Ditemukan juga alat kontrasepsi dan obat kuat dari tangan para pelajar tersebut (indozone.id, 15/07/2020).
Anak juga mengalami dekadensi moral. Bisa dilihat dari banyaknya kasus anak yang terlibat dalam narkoba, alkohol dan rokok. Berdasarkan data dari BNN penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar di 2018 mencapai angka 2,29 juta orang (okezone.com, 26/06/2020). Dan sekitar 810.277 remaja merupakan perokok (pecandu) dengan rentang usia 10 tahun – 18 tahun secara nasional (kompas.com, 17/01/2020).
Menurut data dari BNN, Sulawesi Tenggara merupakan provinsi dengan predikat pertama dari 34 provinsi sebagai pelajar yang terpapar narkotika, psikotropika dan obat terlarang. Tahun 2016 terdapat 106 kasus narkoba di kalangan pelajar baik SD, SMP, SMA. Lalu pada 2017 ada 84 kasus, 2018 dengan 62 kasus (beritakotakendari.com, 8/1/2019).
Selain itu, kemiskinan berdampak pada persoalan gizi buruk, sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS), data per September 2019 penduduk miskin di Indonesia mencapai 24,79 juta orang. Angka ini bertambah banyak di masa pandemi ini. Menurut UNICEF, pandemi covid-19 menyebabkan peningkatan jumlah anak-anak yang mengalami masalah gizi di Indonesia, sebelum pandemi ada sekitar 2 juta anak Indonesia mengalami gizi buruk, lebih dari 7 juta anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting, UNICEF memperkirakan angka ini naik 15 % saat pandemi berlangsung (health.grid.id, 1/07/2020).
Sungguh miris. Kekerasan, kemiskinan, pelecehan seksual, rokok, alkohol, narkoba, dan pergaulan bebas begitu dekat dengan dunia anak. Bisakah mempercayakan masa depan bangsa di pundak anak-anak bermasalah itu?
Butuh Solusi Yang Tepat
Bila dicermati dengan seksama, perhatian berbagai pihak terhadap nasib anak-anak sebetulnya tidaklah kurang. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa lembaga pemerhati yang peduli pada nasib anak-anak.
Terdapat Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), yang dibentuk sejak 2004. Juga Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang bekerja sama dengan UNICEF. Di sisi lain, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) No 23 Tahun 2002 yang telah diubah menjadi No 35 Tahun 2014 (bphn.go.id, 27/07/2020).
Lahirnya regulasi ini merupakan salah satu bentuk keseriusan Pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Namun sayangnya, UU yang berbau liberal ini tidak cukup mumpuni untuk menjamin hak-hak anak. Menurut UUPA, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa hanyalah sebatas umur saja.
Definisi ini berbenturan dengan regulasi lain, seperti usia minimal menikah, yang akhirnya tidak boleh di bawah usia 18 tahun. Akibatnya, banyak yang memilih berzina karena khawatir terjerat UU jika menikah pada usia di bawah 18 tahun menjadi hilang karena terbentur regulasi ini.
Sementara itu, hak dan kewajiban anak diatur dalam pasal 6 hingga pasal 15. Dalam UU tersebut, hak anak antara lain : beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya; mendapat pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya mendapat perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata dan kerusuhan sosial dan pelibatan dalam peperangan dan kejahatan seksual (bphn.go.id, 27/07/2020).
Kelihatannya cukup ideal, namun implementasinya jauh dari harapan. Terbukti kasus pelanggaran terhadap hak-hak anak semakin hari semakin memprihatinkan. Inilah potret kerusakan sistem kapitalisme sekuler yang berlaku saat ini yang memberi dampak buruk bagi anak. Butuh solusi yang tepat agar permasalahan ini bisa diselesaikan.
Pandangan Islam
Anak memiliki posisi yang istimewa dalam islam. Selain sebagai cahaya mata keluarga, anak juga merupakan pelestari pahala bagi kedua orang tuanya. Bagi sebuah keluarga, anak adalah penerus nazab (garis keturunan). Rasulullah saw. bersabda : “Bilamana manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: (1) sedekekah jariah; (2) ilmu yang bermanfaat; (3) anak shalih yang mendoakannya” (HR al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Dengan demikian, selayaknya orang tua Muslim memperhatikan pendidikan anak-anaknya agar menjadi shalih dan shalihah. Jangan sampai anak keturunannya tergelincir ke jurang neraka disebabkan ketidakpahaman terhadap islam dn hukum-hukumnya. Perhatian terhadap pendidikan yang menghasilkan iman dan takwa yang kuat akan menjadi perhatian bagi setiap keluarga muslim. Allah SWT berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian beserta keluarga kalian dari siksa api neraka “(QS. at-Tahrim : 6).
Bagi sebuah bangsa dan negara, anak adalah generasi penerus masa depan. Anak pada masa depan adalah asset sumber daya manusia yang sangat berharga serta menentukan jatuh bangunnya sebuah bangsa. Anak juga menjadi pewaris generasi masa depan, tergambar dalam al-Quran sifat-sifat Hamba Allah Yang Maha Pengasih, yakni orang-orang yang juga senantiasa memikirkan masa depan umat islam. Allah SWT berfirman: “Mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak yang menggembirakan hati kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin orang-orang yang bertakwa.”(QS. al-Furqan :74).
Perhatian islam terhadap anak menunjukkan pentingnya posisi anak dalam ketahanan masyarakat dan negara. Generasi yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi terhadap Allah SWT akan mengisi setiap ruang kehidupan umat islam, akan mampu mengokohkan ketahanan keluarga dari berbagai serangan kerusakan pemikiran yang berasal dari berbagai kerusakan pemikiran yang berasal dari selain islam. Penyelesaian berbagai persoalan anak meliputi penyelesaian problem ekonomi, pendidikan, sosial, hukum yang memerlukan penataan sistem politik yang menyeluruh. Negara wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, fasilitas kesehatan yang mudah diakses dan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak serta menjamin kepemimpinan yang bertanggung jawab sebagai konsekuensi dari keimanan kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
ZUHARMI HAMAKU, S.Si
(Pemerhati Masalah Sosial Kota Kendari)