Politik dinasti itu nidhomul waratsah (sistem pewarisan) dalam suksesi kepemimpinan politik pemerintahan. Jadi adanya putera mahkota sebagai ciri khas politik dinasti. Artinya penguasa di masa kepemimpinannya sudah menunjuk salah satu orang yang akan menggantikannya berkuasa sesudahnya. Biasanya yang ditunjuk itu adalah anaknya. Anak yang ditunjuk ini berposisi sebagai putera mahkota. Nanti ketika ayahnya sudah tidak menjabat karena meninggal dan atau berhenti, sang anak dengan serta merta menjadi penguasa menggantikannya. Nidhomul waratsah ini menjadi sistem suksesi baku dalam bentuk pemerintahan kekaisaran dan atau kerajaan. Karena keturunan Kaisar atau Raja dipandang berdarah biru, titisan dewa.
Adapun polemik politik dinasti di masa Islam berawal dari kasus penobatan Yazid oleh Muawiyyah, ketika Muawiyyah masih berkuasa. Sontak saja hal demikian melahirkan kecaman dari ulama saat itu. Adalah Abdurrahman ibn Abu Bakar ra menyatakan di depan khalayak bahwa apa yang dilakukan oleh Muawiyyah dengan menobatkan anaknya yakni Yazid sebagai Kholifah penggantinya merupakan ajaran Heraklius. Heraklius, seorang Kaisar Romawi yang terkenal. Dari sini bisa dipahami bahwa nidhomul waratsah atau politik dinasti hukumnya haram di dalam Islam. Jelas pernyataan Abdurrahman bin Abu Bakar ra tersebut kecaman keras dan menunjukkan keharamannya.
Hanya saja yang perlu dipahami bahwa seseorang tidak akan bisa menjadi Kholifah selain dengan adanya baiat. Waktu itu Muawiyah berusaha mengambil baiat dengan cara paksa pada anaknya. Hingga kaum muslimin akhirnya berikhlash diri untuk membaiat Yazid. Seorang mujtahid boleh mengikuti hasil ijtihad yang lain dengan pertimbangan persatuan umat. Agar tidak terjadi perpecahan di tengah umat Islam, Yazid pun dibaiat dengan sukarela. Maka tidak heran jika Yazid bin Muawiyyah masih dipandang sebagai Khalifah oleh para Ulama. Adalah al Imam As Suyuthi menyebutkan Yazid dalam jajaran Khalifah kaum muslimin di dalam Kitab Tarikhul Khulafa.
Mengenai tragedi karbala yang menyebabkan Imam Husein bin Ali ra wafat. Sesungguhnya al Husein bin Ali ra sendiri tergerak memenuhi undangan rakyat Kufah untuk membaiat beliau. Karena memang pembaiatan Yazid dengan paksaan tentu menimbulkan cacat akad baiatnya. Ibnu Abbas dan Ibn Zubair sudah memperingatkan Husein agar tidak berangkat. Mengingat gubernur Kufah adalah orang yang diangkat Yazid. Benar saja berita pembelotan Kufah yang awalnya akan membaiat Husein berbelok ke Yazid. Dan terjadilah tragedi Karbala. Akhirnya demi persatuan, umat Islam pun bersedia hidup di bawah kepemimpinan Yazid. Hanya saja tetap disebut terjadi kesalahan penerapan (isa’atut tatbiq) baiat pada diri Yazid yang dilakukan Muawiyyah.
Di samping itu di abad ke-2 hijriyyah terjadi perdebatan kalam di kalangan umat Islam. Bahkan perdebatan kalam ini merambah ke ranah politik pemerintahan. Dalam hal ini, Rasul Saw bersabda:
الائمة من قريش
Para pemimpin negara itu dari Quraisy.
Tatkala pendekatan kalam digunakan dalam memahami hadits tersebut, maka timbullah perdebatan tentang siapa yang afdhol menjadi kholifah dari quraisy. Apakah Ahlul Bait atau selainnya? Kalau dari ahlul bait, siapakah yang paling afdhol menjadi Kholifah? Akhirnya muncul sentimen keafdholan berbasis bani dan kabilah ini di sektor politik pemerintahan.
Keturunan Al Abbas bin Abdul Muthalib merasa lebih berhak memegang tampuk pemerintahan. Alasannya, al Abbas ra adalah pamanda Nabi Saw. Artinya keturunan al Abbas ra masih dalam keturunan ahlul bait Nabi Saw. Bani Umayyah dianggap telah merampas kekhilafahan dari yang berhak. Oleh karena itu terjadilah tragedi pembantaian oleh keturunan al Abbas ra yang dimotori Abbas al Saffah terhadap semua keturunan Bani Umayyah. Peristiwa ini menandai berakhirnya masa Khilafah Umawi. Abbas al Saffah sendiri menjadi kholifah pertama di masa kekhilafahan Abbasyiyah.
Mestinya ketika pendekatan tasyri’i yang dipakai dalam memahami hadits al aimmah min qiraisy tentunya akan benar pemahamannya. Jadi hadits tersebut hanyalah syarat keutamaan saja bukan syarat mutlak pengangkatan seorang Kholifah. Seharusnya yang menjadi syarat mutlak kholifah yang menjadi ukuran. Laki laki, muslim, akil, baligh, merdeka, adil dan mampu mengemban amanah. Dengan demikian kelurusan jalannya pemerintahan akan berjalan dengan baik.
Jadi karena dua faktor inilah yakni penobatan Yazid oleh Muawiyah saat Muawiyah masih berkuasa dan juga faktor pendekatan kalam, yang menyebabkan timbulnya syubhat bahwa politik dinasti pernah terjadi di masa Khilafah Umawiy, Abbasyi dan Utsmaniy. Padahal akad baiat itulah yang menjadi asas dalam penentuan seseorang sah dan tidaknya akad keKhilafahannya, bukan karena dinobatkan oleh khalifah sebelumnya. Dengan kata lain, di masa kekhilafahan Islam tidak pernah terjadi politik dinasti. Yang pernah terjadi adalah isa’atut tatbiq dalam penerapan akad baiat. Jika disebut masa Islam pernah menerapkan politik dinasty, artinya sistem putera mahkota atau nidhomul waratsah telah menggantikan akad baiat. Dan yang sedemikian tidak pernah terjadi di masa kekhilafahan Islam.
Tinggal satu persoalan lagi, mengenai syubhat penunjukkan Umar ra oleh Abu Bakar ra di saat kritisnya sebagai Kholifah penggantinya. Sesungguhnya wasiat Abu Bakar ra tersebut bukanlah bermakna pewarisan. Akan tetapi hal tersebut adalah pandangan Abu Bakar ra terkait sosok yang pantas menjadi kholifah kaum muslimin sepeninggalnya. Abu Bakar ra melihat banyaknya keutamaan pada diri Umar ra, di samping itu dalam peristiwa Saqifah, Abu Bakar ra sendiri sebenarnya mencalonkan Umar ra. Kembali bahwa akad baiat dari kaum muslimin yang menentukan sah dan tidaknya akad kekhilafahan pada seseorang.
Bahkan Nabi Saw sendiri tidak pernah menunjuk penggantinya guna menjadi pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi bukan berarti Nabi saw tidak mengajarkan sistem pemerintahan Khilafah. Jadi pengangkatan Abu Bakr ra sebagai Kholifah pertama dalam Islam terjadi karena adanya baiat umat.
Oleh karena itu, perjuangan penegakkan Syariat Islam dalam sistem Khilafah itu merefernya kepada Khilafah ala minhajin nubuwwah. Khilafah sebagaimana yang dijalankan oleh para sahabat Nabi saw yang lurus dalam pelaksanaan dan keistiqomahan memegang prinsip Syariat Islam. Wallahu a’lam.
MIZAN AINUL
PUBLISHER: MAS’UD