“Uninstall” Pendidikan Negeri Bermental Buruh

RINDYANTI SEPTIANA S.H.I

Program ‘Pernikahan massal’ atau Link and Match merupakan gerakan yang akan dijalankan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program tersebut berupaya untuk menikahkah pendidikan vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja.

Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto, Ph.D, menjelaskan tujuan utama program itu tak lain agar kompetensi pendidikan dapat sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja. Maka ia mengungkapkan telah menargetkan sekitar 100 prodi vokasi di PTN dan perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk melakukan pernikahan massal pada tahun 2020 dengan puluhan bahkan ratusan industri. (kagama.com, 26/5/2020).

Iklan ARS

Program ini sejalan dengan arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim. Nadiem menganggap program tersebut dapat menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia usaha. Maka ‘pernikahan massal’ antara pihak kampus dan industri dilakukan hingga tahap kontrak rekrutmen mahasiswa di perusahaan, hal ini terkait dengan peluang usaha.

Sementara pemerintah sendiri menurut Nadiem memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian. (lensamedia.com,4/7/2020).

Bahkan, sebelum program tersebut akan dijalankan, Presiden Joko Widodo telah berpesan agar perguruan tinggi aktif menjalin kerjasama dengan industri, termasuk kawasan industri terdekat. Bagaimana caranya?.

Jokowi menyatakan bisa dengan cara membuka fakultas, departemen atau program studi terkait dengan jjenis industri di kawasan tersebut. Ia juga pernah berpesan dalam pidato sambutannya bahwa kerjasama dengan industri bukan hanya memberikan pengalaman kerja kepada mahasiswa, tetapi perguruan tinggi juga bisa bekerjasama untuk penelitian dan pengembangan teknologi, untuk R&D (research and development) di dunia industri sekaligus pengembangan ilmu murni (lensamedia.com, 4/7/2020).

Jika publik menilai sekilas program ini tampak baik bagi masyarakat Indonesia yang mengalami kesulitan ekonomi, apalagi jumlah pengangguran yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun, mengawinkan antara pendidikan dengan industi, bukankah hal tersebut justru menggeser tujuan dari pendidikan nasional?.

Padahal menurut UU No.20 Tahun 2003 pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Kini haluan itu telah berubah, demi menjawab tantangan revolusi industri 4.0. Pendidikan siap diubah menjadi tempat untuk menempah para pekerja. Bukan untuk mencetak para ilmuwan ataupun intelektual yang berkontribusi dengan berbagai pemikirannya untuk membangun bangsa lewat ilmu mereka. Tapi diganti dengan skill yang dibayar oleh berbagai perusahaan-perusahaan raksasa untuk kemajuan usaha mereka. Lahirlah para intelektual yang bermental buruh.

Lembaga Pendidikan Pencetak Tenaga Kerja Tak main-main, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud), Nadiem Makarim terus berupaya mewujudkan mimpinya untuk lima tahun ke depan Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK agar diminati masyarakat luas. Ia bahkan berharap agar ke depannya para siswa SMK mendapatkan keuntungan bukan hanya pelatihan keahlian, melainkan mendapatkan serifikat guna melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Mewujudkan SMK-SMK yang “siap pakai” bagi dunia industri merupakan impiannya ke depan dalam pendidikan negeri ini. Ia pun mengatakan bahwa industri mesti melihat SMK-SMK ataupun vokasi sebagai lembaga pelatihan para pekerjanya.

Apalagi ia menilai, keuntungan dari lulusan SMK maupun vokasi jika direkrut sebagai pekerja memiliki harga yang kompetitif sehingga industri tak dibebani dengan biaya yang besar untuk mempekerjakan mereka. (merdeka.com).

Dengan kata lain, lulusan SMK maupun vokasi merupakan buruh murah yang akan menguntungkan industri itu sendiri. Inilah arah pendidikan yang siap dijalankan oleh pemerintah. Pemerintah lewat kebijakan Mendikbud berupaya mengokohkan lembaga pendidikan sebagai tempat pencetak pekerja bagi industri.

Lagi-lagi, dalam sistem kapitalis yang diuntungkan ialah para pemilik modal. Pemilik modal yang diwakilkan oleh pemilik industri-industri besar ternyata kekurangan buruh murah untuk dipekerjakan. Maka lembaga pendidikan dianggap sebagai tempat yang paling baik untuk merekrut buruh murah tanpa harus mengeluarkan biaya besar jika mempekerjakannya.
Begitu tragis arah pendidikan negeri ini. Padahal salah satu fungsi dari lembaga pendidikan ialah menjadi sumber-sumber inovasi sosial di masyarakat. Kini berganti menjadi sumber tenaga kerja yang siap dibayar murah.

Kapitalis telah menjadikan putera-puteri terbaik negeri dilatih untuk menjadikan ilmu pengetahuan jauh dari penerapan praktis, ilmu sebagai modal dasar untuk menguntungkan para pemilik modal lewat industri mereka.

Jika tujuan akhir dari pendidikan semata-mata untuk mendapatkan bayaran atau uang, maka generasi bermental buruh akan terus lahir dari sistem ini. Ini justru membahayakan kemajuan bangsa dan negara yang tak lagi menghargai ilmu serta minimnya lahir para ilmuwan.

Penelitian pun bukan diarahkan untuk penemuan-penemuan yang bermanfaat untuk memudahkan kehidupan rakyat melainkan untuk memakmurkan industri dan memperkaya para pemilik modal. Akhirnya negara diambang kehancuran, karena generasi tak berilmu bahkan tak bermoral akan didapatkan, lebih mengutamakan materi di atas segalanya.

Sudah seharusnya segera “uninstall” pendidikan negeri yang bermental buruh ini, ganti dengan sistem pendidikan Islam yang bervisi membangun kepribadian utuh manusia dan cemerlang.

Visi Pendidikan dalam Islam
Barat berhasil meng “install” pendidikan di berbagai negeri muslim dengan metode dan materi yang menjauhkan muslim dari aqidahnya, dari warisan tsaqafah, serta menghalangi kebangkitan dan kemajuannya. Pada saat yang sama, mereka menjadikan muslim mengagungkan sekularisme, liberalisme, dan ide-ide yang bukan dari Islam.

Putra-putri negeri Muslim justru menjadi kelinci percobaan dalam laboratorium-laboratorium yang jauh berbeda dari habitat asal kaum Muslim. Merela dilatih dengan cara Barat, yakni menjadikan ilmu pengetahuan jauh dari penerapan praktis, dan menggantinya dengan pelajaran akademis yang menyalahi metodologi pengajaran Islam yang benar.

Padahal pendidikan dalam Islam ialah metode untuk menjaga akidah. Maka ketika pendidikan dipisahkan dari agama, tamatlah riwayat agama. Jika tsaqofah Islam dihapuskan dari pendidikan, maka terhapuslah identitas umat.

Ada tiga tujuan utama pendidikan Islam, yakni pertama, membangun syakhsiyah Islam (kepribadian Islam). Anak didik dibangun akidah Islamnya sebelum mempelajari ilmu-ilmu lainnya.

Kedua, mengajarkan keterampilan dan pengetahuan praktis untuk kehidupan. Para siswa diajarkan keterampilan dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka. Seperti matematika, sains umum, serta pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan berbagai alat dan penemuan.

Ketiga, mempersiapkan siswa untuk memasuki pendidikan tinggi atau universitas. Mempersiapkan siswa dengan mengajarkan ilmu-ilmu utama yang menjadi prasyarat, apakah ilmu budaya (tsaqafah) seperti fiqh, bahasa Arab, atau Tafsir al-Quran, ataupun ilmu empiris seperti matematika, kimia, biologi, atau fisika.

Tujuannya untuk menciptakan kepribadian-kepribadian yang terhormat, para ulama, ilmuwan, dan pakar dalam setiap bidang kehidupan untuk menegakkan Negara Islam (Khilafah) sebagai negara adidaya dunia yang terdepan dan berpengaruh.
Maka pendidikan Islam bukan sekedar sekolah Islam terpadu, tapi kebijakan politik di bidang pendidikan yang komprehensif yang diterapkan oleh Negara melalui institusi Khilafah.

Bahkan, sejarah emas di era Khilafah mencatat, pendidikan Islam menghasilkan para ahli di segala bidang. Melahirkan generasi terbaik yang tidak hanya ahli di bidang sains dan teknologi, juga memiliki kepribadian Islam dan mampu menghantarkan Islam sebagai peradaban nomor satu dunia. Itulah abad keemasan di masa Khilafah.
Negara Islam menjamin hak warga muslim maupun nonmuslim, laki-laki maupun perempuan dalam pendidikan secara maksimal.

Namun zaman kegemilangan itu redup berubah menjadi zaman kegelapan seiring runtuhnya Khilafah. Kini generasi Muslim harus bahu membahu membangun kepribadian Islam di sekolah-sekolah di tengah kepungan nilai-nilai dan hukum sekuler, bahkan ditambah lagi dengan pendidikan yang hanya mencetak pekerja bagi industri. Sungguh berat.

Tidak mudah mencetak generasi Islam di dalam habitat peradaban sekuler. Karena sejatinya, kepribadian Islam yang kuat tidak dapat dibangun secara massif pada generasi muda kita tanpa adanya Khilafah.

RINDYANTI SEPTIANA S.H.I
(Kontributor Muslimah News& Pemerhati SosPol)

PUBLISHER: MAS’UD, SH