Dalam surat resmi tertanggal 10 Juli 2020, Menhan Prabowo bermaksud mengakuisisi 15 jet tempur Austria. Surat tersebut secara khusus ditujukan kepada Claudia Tanner, Menhan Austria.
15 Jet tempur yang dimaksud adalah jenis Eurofighter Typhoon Tranche – 1. Artinya Eurofighter Typhoon Austria tersebut adalah generasi pertama. Sementara Austria sendiri telah memoratoriumkan Typhoon Tranche – 1 miliknya tersebut sejak dibelinya pada tahun 2003. Memang sempat beberapa kali mengikuti misi tempur sebagai jet penjaga.
Eurofighter Typhoon Tranche – 1 termasuk jet tempur generasi keempat seperti Rafale, Sukhoi 27 dan 30. Hanya saja Eurofighter Typhoon Tranche – 1 ini masih di bawah Sukhoi 27 dan 30 yang sudah dimiliki oleh Indonesia. Hal ini terjadi mengingat Eurofighter Typhoon Tranche-1 ini sudah final pengembangannya. Artinya tidak ada lagi produksi Eurofighter Typhoon Tranche-1. Sedangkan Eurofighter Typhoon Tranche – 2 dan Tranche – 3 telah diproduksi. Di samping itu, Eurofighter Typhoon Tranche – 1 ini tidak dilengkapi dengan radar penjejak IRST yang biasanya ada pada jet tempur generasi keempat. Padahal dengan adanya penjejak IRST yang disebut PIRATE pada jenis Eurofighter, memungkinkan bisa mendeteksi lawan dari jarak jauh tanpa dideteksi lawan. Tatkala sudah mendekati lawan, radar dihidupkan dan lawan baru sadar disaat sudah terkena misil lock.
Itu dari sisi teknologi pesawatnya. Sedangkan dari aspek konversi dan pelatihan TNI untuk mengawaki Typhoon Tranche – 1 lebih mengkhawatirkan. Generasi Typhoon Tranche – 1 ini bukanlah double seater. Akan tetapi termasuk varian kursi tunggal (single seater). Artinya proses konversi dan pelatihan akan dilakukan oleh AU Jerman mengingat model Eurofighter Austria mengikuti model Jerman. Di sinilah letak kelemahan utamanya. Kecakapan pilot Indonesia akan terbaca oleh negara lain. Hampir sebagian besar pilot Indonesia akan mengikuti proses konversi tersebut.
Berbeda bila dual seater. Pada konversi pertama cukup beberapa pilot saja. Selebihnya proses konversi tersebut bisa dilakukan di dalam negeri.
Di samping itu juga, biaya operasional Eurofighter Typhoon Tranche 1 ini sangat mahal. Biayanya sekitar Rp 100 trilyun untuk 30 tahun. Artinya biaya operasional Rp 3 trilyun per tahun. Belum lagi untuk biaya sekali landing sekitar 15 ribu dollar US setara dengan Rp 225 juta (konversi 1 dollar US senilai Rp 15 ribu).
Tentunya hal demikian sangatlah boros bagi Indonesia. Di tengah pandemi, justru Menhan akan memborong 15 jet tempur Austria yang harganya mencapai 2,2 milyar Euro. Sudah boros, bekas lagi. Lantas darimana disebut memodernisasi alutsista?
Sebenarnya Indonesia sudah melirik untuk membeli 11 jet Sukhoi 35. Varian Su-35 ini pengembangan dari Su – 27 dan SU – 30. Varian SU -35 ini termasuk generasi kelima guna menandingi jet tempur F-35 Lightning II AS yang termasuk pesawat siluman. Hanya saja dibatalkan. Pemerintah AS menekan Indonesia untuk tidak membeli produk Rusia SU-35 (www.sindonews.com, 14 Maret 2020).
Adanya tekanan AS pada Indonesia terungkap pertemuan antara Prabowo dengan Menkeu, Sri Mulyani dan Menlu, Retno Marsudi. Intinya bahwa akan membahayakan hubungan perdagangan jika Indonesia tidak membatalkan kesepakatan dengan Rusia. Tidak hanya dengan Rusia, AS pun menekan Indonesia untuk tidak membeli alutsista dari China.
Dari sinilah kita bisa memahami bahwa membuat kesepakatan dengan Austria masih lebih kondusif. Walaupun di sisi yang lain berpotensi melabrak UU No 16 Tahun 2012 tentang Indonesia tidak lagi menjadi negara buangan alutsista bekas. Pertanyaannya, bagaimana Indonesia bisa mewujudkan UU No 16 Tahun 2012 tersebut, sementara tidak berdaya terhadap tekanan negara besar seperti AS? Bahkan Indonesia harus rela menjadi korban dari perang dagang antara AS dan China.
Membangun Alutsista dengan Islam
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil langkah – langkah strategis dalam membangun kemandirian alutsistanya. Indonesia melakukan modernisasi alutsistanya tanpa intervensi dan tekanan dari negara manapun.
Pertama, Indonesia harus membangun alutsistanya di atas landasan basis ideologi yang jelas. Dengan begitu arah pembangunan alutsista jelas dan terarah. Kita bisa ambil pelajaran dari mangkraknya industri pesawat N-235 Gatutkaca buatan Prof.Habibie. Karena tidak ada visi ideologi, kecuali hanya visi ingin menunjukkan Indonesia bisa membuat pesawat sendiri. Di samping itu, visinya hanya sebatas pesawat penumpang. Sementara ongkos pengembangan produksi sendiri lebih mahal, akibatnya terhentilah produksinya. Indonesia kembali menjadi konsumen pesawat orang lain.
Di sinilah pentingnya visi ideologi tersebut. Sebagai negeri muslim terbesar, visi ideologi Islam dalam membangun alutsista menjadi hal yang strategis. Visi ideologis Islam dalam membangun alutsista adalah firman Alloh SWT yang artinya:
“Dan persiapkanlah oleh kalian apa saja dari kekuatan yang bisa kalian persiapkan yang dengannya kalian mampu menggentarkan musuh – musuh Alloh dan musuh kalian, yang kalian tidak mengetahuinya sedangkan Alloh mengetahuinya…(TQS at Taubah ayat 60).
Visi ideologis Islam adalah visi jihad dan menyebarkan Rahmat Islam. Maka untuk menunjangnya basis industri negara adalah industri perang (alutsista) dan peralatan. Dengan demikian, Indonesia akan berproses dengan pasti menjadi negara industri. Indonesia akan memodernisasi industri alutsistanya karena didorong kesadaran visi ideologis Islam.
Kedua, Ketersediaan dana yang memadai tentu untuk mendukung pengembangan alutsista. Oleh karena itu, penerapan sistem ekonomi Islam menjadi sebuah keniscayaan.
Ketiga, Upaya untuk mendapatkan mata uang asing sebanyak – banyaknya demi kepentingan melakukan revolusi industri. Misalnya mendapatkan dari negara maju seperti AS dengan mata uang dollarnya dan atau dari Eropa dengan mata uangnya Euro.
Dengan mendapatkan mata uang tersebut, dapat digunakan untuk membeli peralatan industri dan termasuk juga alutsista tercanggih di dunia. Hal ini dilakukan dengan mengekspor komoditas yang dibutuhkan mereka seperti rempah – rempah dan lain – lain. Ekspor dilakukan tatkala kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi.
Ketiga, Melakukan upgrading alutsista yang dibeli dari luar negeri berapapun biaya yang dikeluarkannya. Jadi kalaupun membeli alutsista dari luar dalam kerangka berpikir untuk melakukan pengembangan lebih lanjut.
Keempat, Mengoptimalkan semua potensi ilmuan dan ahli teknik dalam memproduksi, mengupgrading dan menemukan teknologi alutsista yang mutakhir. Bahkan jika diperlukan, negara akan mengkontrak seorang ilmuan teknologi dari luar.
Hal demikian pernah dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fatih dengan mengkontrak Orban. Adalah Orban seorang ilmuwan pembuat meriam canggih. Akhirnya dihasilkanlah meriam super gun untuk menjebol benteng Konstantinopel.
Akibat berikutnya, Khilafah Utsmaniy menjadi negara terdepan dalam teknologi perang. Keadaan ini terlihat pada saat terjadi Perang Mohacs. Walaupun Utsmaniy menghadapi koalisi negara Eropa yang dipimpin Austria, Utsmaniy dapat memenangkan peperangan. Dengan ratusan meriamnya, Utsmaniy menjadi negara dengan alutsista tercanggih pada jamannya.
Kelima, Terhadap negara – negara maju yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin, negara bisa melakukan manuver politik mengisolasi negara maju tersebut dari pergaulan internasional.
Dalam kurun waktu perjanjian maksimal 10 tahun, bisa digunakan oleh negara Islam melakukan transaksi dengan industri alutsista internasional. Jadi dengan demikian betul – betul murni kepentingan transaksi, bukan kepentingan politik.
Demikianlah beberapa hal yang bisa dilakukan tahapannya dalam membangun kemandirian alutsista. Visi ideologis Islam dalam alutsista akan menempatkan Indonesia dan negeri Islam yang lain menjadi negara merdeka dan berdaulat. Merdeka dari intervensi asing. Berdaulat dengan visi ideologis Islamnya yakni dakwah dan jihad atau perang.
Malang, 30 Juli 2020
AINUL MIZAN (Peneliti di LANSKAP)