Angka pernikahan dini di Indonesia melonjak selama masa pandemi Covid-19. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020.(Kompas.com, 8/07/20
Pengajuan dispensasi nikah pun disusul datang dari Jawa Tengah dengan 240 pemohon yang rata-rata berusia 14-18 tahun. Dilansir dari Jawapos.com, (26/07/20) Pengadilan Agama Jepara, Jawa Tengah, menjelaskan, sebanyak 240 permohonan dispensasi nikah tidak semuanya karena hamil terlebih dahulu. Melainkan, ada yang karena faktor usia belum genap 19 tahun sesuai aturan terbaru.
Dispensasi nikah merupakan kebijakan dari pengadilan agama kepada calon pengantin yang belum berusia genap 19 tahun. Namun, setelah pemerintah resmi mengesahkan Undang-Undang No 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana batas usia calon pengantin wanita harus berusia 16 tahun dan laki-laki berusia 19, kini diberlakukan dengan umur yang sama yakni 19 tahun. Hal yang kemudian berimbas ke tengah-tengah masyarakat yang hendak ingin menikahkan anaknya.
Masuknya data ratusan remaja yang mengajukan dispensasi nikah di berbagai daerah entah hal ini dimakzulkan untuk mencegah nikah dini ataukah melegalisasi adanya seks bebas. Namun hal ini justru menegaskan bahwa problematika yang lahir dari kebijakan tersebut adalah;
Pertama, dijalankan bersamaan dengan pendewasaan usia perkawinan dan harapan menurunkan angka pernikahan dini.
Kedua, menjadi ‘jalan keluar’ untuk memaklumi fenomena seks bebas di kalangan remaja.
Di era globalisasi saat ini permasalahan seks bebas di kalangan remaja tak bisa dipandang sebelah mata. Ketimpangan yang terjadi dikalangan remaja adalah diakibatkan buah hasil dari penerapan sistem liberalisme.
Hal ini pun meniscayakan maraknya seks bebas yang dipicu dari beberapa faktor diantaranya, kurangnya perhatian orang tua, lemahnya keimanan individu tersebut, tontonan yang tak mendidik serta hasil dari pendidikan sekuler saat ini.
Hal ini pula menjadikan maraknya pernikahan dini yang tak bisa dibendung oleh negara.
Adapun kebijakan yang telah diatur oleh negara hanyalah sebuah regulasi bahwasanya hal tersebut tak memberi solusi praktis untuk membendung terjadinya seks bebas dikalangan remaja.
Sehingga kritisi terhadap kebijakan ini haruslah bukan hanya sekedar pelarangan nikah dini dan dispensasi nikah semata. Tetapi, bangsa ini justru membutuhkan pemberlakuan sistem ijtimaiy Islam agar generasi siap memasuki gerbang keluarga dan mencegah seks bebas dikalangan remaja. Sebab, seks bebas tidak hanya berdampak pada individual semata tetapi berpotensi melahirkan keluarga tanpa ketahanan dan generasi lemah.
Dalam perspektif Islam hakikatnya hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah terpisah. Terkecuali di bidang pendidikan, kesehatan dan muamalah. Pasal 113 dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustîr menjelaskan:
الأَصْلُ أَنْ يَنْفَصِلَ الرِجَالُ عَنِ النِّسَاءِ وَلا يَجْتَمِعُوْنَ إِلا لِحَاجَةٍ يُقِرُّهَا الشَّرْعُ, وَيُقِرُّ الإِجْتِمَاع مِنْ أَجْلِهَا كَالحَجِّ وَالْبَيْعِ
Hukum asalnya, laki-laki terpisah dari wanita, dan mereka tidak berinteraksi kecuali untuk keperluan yang diakui oleh syariah dan menjadi konsekuensi logis dari interaksi itu sendiri, seperti haji dan jual beli.
Selain itu, hubungan interaksi secara intens di dalam Islam difokuskan hanya pada hubungan suami istri semata. Ini menjelaskan bahwa Islam sangat memperhatikan hubungan antara pria dan wanita. Di samping itu, Islam juga tak melarang adanya aktifitas dakwah maupun menghadiri taklim baik pria maupun wanita.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa dispensasi nikah bukanlah sebuah solusi praktis untuk menekan terjadinya pernikahan dini. Tetapi, untuk mengatasi problematika yang terjadi dikalangan remaja saat ini adalah diberlakukannya sistem sanksi yang benar-benar memberi efek jera. Dan hal ini hanya bisa diterapkan ketika negara memberlakukan aturan yang sesuai dengan syariat Islam.
Sebab dalam sistem Islam akan menutup semua gerbang seks bebas dan gaya hidup liberal yang menyesatkan, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku seks bebas dan penggiat budaya liberal. Hal ini tentu harus dibarengi dengan penerapan Islam dalam Negara secara menyeluruh. Negara sebagai institusi yang memiliki kekuatan paling besar, harus menerapkan Islam dalam seluruh aspeknya, termasuk sistem pergaulan dan sanksi. Wallahu A’lam Bishshowab.
HAMSINA HALISI ALFATIH