Good Looking di Mata ALLAH

Tutty Amalia (Founder Kajian Islam Online MQ Lovers)

TEGAS.CO,. “Riuh dalam gaduh”, kalimat ini jika kita lontarkan ke kelompok anak-anak TK maka bisa dianggap wajar karena akalnya yang belum sempurna. Mereka belum faham mana yang baik dan mana yang salah. Sejatinya, mereka tetaplah anak-anak suci yang penuh dengan kreatifitas. Tapi lain halnya jika yang membuat gaduh adalah para pejabat publik yang kotor pikirannya dan kreatif dalam mengaduk-aduk hati rakyatnya. Sungguh tidak layak disamakan dengan anak-anak TK yang jauh lebih mulia dihadapan Allah SWT.

Di tengah badai covid-19 yang belum kelihatan dimana ujungnya, ada saja kabar yang berhembus yang membuat jiwa-jiwa kaum muslimin meronta. Mirisnya, isu yang terserak selama ini berasal dari para pejabat yang notabene panutan bagi rakyat yang seharusnya mampu memberikan ketentraman di negeri ini.

Seperti baru-baru ini, istilah “Good Looking” heboh diperbincangkan. Pasalnya, pada pertemuan Webinar bertajuk Strategi Menangkal Radikalisme pada ASN, Menag tegaskan bahwa paham radikalisme masuk masjid lewat anak yanggoodlooking“, pintar bahasa Arab dan hafal Al-Qur’an (www.cnnindonesia.com, 2 September 2020).

Padahal kita tahu, para pengemban dakwah sibuk menyeru untuk memakmurkan masjid dan kembali pada Islam kaffah. Pun dengan orangtua yang selalu berusaha agar anak-anaknya senantiasa dekat dengan Al-Qur’an dan mampu mengamalkan isi-isi yang terkandung di dalamnya agar memiliki karakter mulia, cerdas dan berakhlaqul Karimah.

Cita-cita dan harapan para pengemban dakwah juga orang tua seolah dipatahkan dengan pernyataan Menag yang menyayat hati. Dengan penampilan good looking, mereka mampu menarik simpati dari para jamaah serta pengurus masjid, sehingga dipercaya sebagai imam serta menjadi bagian dari pengurus masjid. Para penghafal qur’an tersebut akan merekrut rekan-rekannya yang juga berfaham radikal untuk masuk menjadi pengurus masjid. “Lalu masuk teman-temannya. Masuk ide-idenya yang kita takutkan”, ujar Fachrul.

Entah dari mana pemikiran ini muncul. Benarkah seseorang yang dekat dengan agama dan berpenampilan good looking dapat dipastikan akan menebarkan ide-ide radikal ?. Padahal bisa kita lihat bagaimana rusaknya akhlak generasi di seluruh penjuru dunia dari barat hingga ke timur, seks bebas, narkoba, khamr, LGBTQ, mengumbar aurat, belum lagi kurangnya rasa saling mengasihi dan menyayangi antara orang tua dan anak, semua menjadi kebiasaan yang lumrah dan justru harus dilakoni agar dianggap keren di kalangannya. Semua tidak lain cerminan jauhnya para pemuda dari agama yang membawa mereka semakin tersesat pada kemaksiatan.

Jangan sampai Menag lebih bangga melihat masyarakat kita gandrung dengan aplikasi tik-tok yang melahirkan generasi ambyar. Atau bangga dengan para influencer yang setiap hari mengumbar kata-kata kasar dan kotor yang tidak kenal siapa Tuhannya, siapa Nabinya, apa kitab sucinya dan apa tujuan hidupnya dibanding dengan generasi yang jatuh cinta dengan agamanya serta sibuk menghafal Al-Quran yang kelak memberi syafa’at di Yaumul qiyamah.

Seharusnya, negara wajib menjaga akidah anak bangsa dan memberikan fasilitas agar anak-anak mudah mendalami ilmu agama. Dalam kitab Muqaddimat al-Dustûr digambarkan, “Wajib hukumnya bagi negara mengalokasikan porsi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu bahasa arab menjadi pelajaran rutin mingguan. Dengan kadar yang sama seperti ilmu-ilmu lainnya, baik dari segi jumlah maupun waktunya.”

Negara juga harus memiliki program yang sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam dan ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi) juga mampu menciptakan manusia yang kreatif dan inovatif.

Sejak Khilafah ditumbangkan oleh Mustafa Kemal Atarturk, seorang antek Inggris keturunan Yahudi pada 3 Maret 1924 silam, dengan konspirasi Barat, Yahudi dan kaum munafikun, kaum Muslimin bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Semakin lemah dan terhina. Al Quran dan As Sunah bukan lagi menjadi pedoman. Masyarakat diarahkan untuk lebih cinta dan takjub dengan peradaban Barat yang dianggap maju. Menancapkan azas sekulerisme yang memisahkan aturan Islam dari kehidupan. Itulah awal dari kehancuran kaum Muslimin.

Produk sekularisme yang sudah baku adalah imperialisme (penjajahan). Yang tidak luput dari 3G (glory, gold, dan gospel). Selain merampas tanah dan kekayaan alam negeri-negeri kaum Muslim, Barat juga merampas tsaqofah Islam. Menggantinya dengan racun sekulerisme, nasionalisme, dan liberalisme yang dikemas cantik melalui demokrasi.

Demokrasi kapitalis melahirkan manusia-manusia egois yang tidak peka dengan keadaan dan menganggap semua baik-baik saja. Menciptakan generasi got (baca:comberan) looking Bukan good looking, pintar bahasa Arab apalagi hafizh Qur’an yang dianggap radikal oleh sang menteri.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam keseluruhan…,” Demikian Allah memerintahkan kita dalam Q.S. Al-Baqarah: 208. Dalam tafsir Ibnu Katsir ayat ini diterjemahkan bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya agar berpegang kepada tali Islam dan semua syariatnya serta menjalankan Islam secara kaffah (keseluruhan) adalah pemaknaan dan perwujudan Islam yang menyeluruh dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupan.

Bagaimana bisa orang yang dekat dengan Islam dikatakan radikal. Sedang dekat dengan kemaksiatan seolah dilindungi. Dalam Islam pemuda merupakan tonggak peradaban yang kelak akan membawa kebangkitan dan mengembalikan penghidupan Islam.

Dikisahkan dalam surat Al-Buruj sebuah kaum yang disebut Ashabul Ukhdud yakni sekelompok pemuda yang memberontak melawan kekuasaan kuffar yang dzalim di tengah ketidakberdayaan masyarakat. Sang raja dzalim memerintahkan membuat parit untuk melakukan pembakaran massal terhadap seluruh masyarakat yang telah beriman. Saat parit telah jadi api membakar habis tubuh mereka, justru pemandangan inilah yang membakar kembali semangat keberanian dan perlawanan masyarakat yang sudah putus asa. Mereka ridho atas apa yang terjadi dan meninggalkan sang raja dengan kekuasaannya yang tidak berarti.

Begitupun dengan kisah para nabi semasa mudanya, kepintaran dan kepribadian kuat pemuda bernama Yusuf yang mampu mengatasi krisis ekonomi di kota Mesir, keberanian pemuda bernama Musa yang mampu menumbangkan raja congkak Firaun, kejeniusan pemuda bernama Ibrahim yang mampu membuat Namrud diam malu akan kebodohannya menyembah berhala hingga lahirlah pemuda bernama Muhammad yang hidup pada masa kedzaliman dan membawa cahaya Islam di tengah kegelapan. Di mana cahaya itu yang akan terus menuntun kita sampai pada tujuan akhir yakni syurganya Allah SWT.

Ini membuktikan, good looking, pintar bahasa Arab, dan hafidz Qur’an adalah karakter yang harus dimiliki seorang muslim. Bukan hanya tampak menarik di luar tapi juga terikat dengan hukum syara’ yang akan menuntunnya untuk tunduk dan patuh hanya kepada Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (Nya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59)

Penulis : Tutty Amalia

Editor : YA