Ngotot Pilkada untuk Apa ?

Ulfah Sari Sakti,S.Pi (Jurnalis Muslimah Kendari)

TEGAS.CO,. KENDARI – Belum berkurangnya jumlah penderita Covid-19, tampaknya tidak mampu membuat pemerintah untuk menunda Pilkada. Padahal jika Pilkada tetap dilaksanakan saat Pandemi Covid-19, maka diprediksi akan menjadi bom waktu Covid-19, sebagaimana dilansir dalam BeritaSatu.com (14/9/2020). Pilkada yang direncanakan digelar 9 Desember 2020 perlu ditunda ke tahun depan guna mencegah bom waktu lonjakan Covid-19. Kewajiban memakai masker, mejaga jarak, menghindari kerumunan belum bisa dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat, Sabang hingga Merauke. Jika dipaksakan, Pilkada bakal menjadi bom waktu yang melipatgandakan angka positif Covid-19.

Dalam diskusi Daring yang diselenggrakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI), MenkoPolhukam, Mahfud MD mengatakan penundaan Pilkada hanya bisa dilakukan lewat UU atau Perppu. Untuk UU, waktu sudah tidak memungkinkan, sedangkan untuk pembuatan Perppu, belum tentu mendapatkan dukungan DPR.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengajukan
Perppu kepada pemerintah dan selanjutnya pemerintah meminta dukungan DPR. Jika DPR tidak setuju, penerbitan Perppu tidak bermanfaat, karena akan dibatalkan pada masa persidangan berikut.

Wacana penundaan Pilkada pernah dibahas oleh pemerintah, KPU, dan DPR. Namun, waktu itu, kata Mahfud diputuskan Pilkada tetap digelar 9 Desember 2020. Ada dua alasan. Pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indoensia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas. “Kita tidak mau, Jumlah 270 itu yang besar,” kata Mahfud.

Kedua, jika ditunda karena Covid-19 sampai kapan? Sampai kapan Covid-19 berhenti dan tidak lagi berbahaya? Toh, sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus menanjak. “Ini bukan alasan saya, tetapi alasan pemerintah dan DPR saat mereka memutuskan. Saya hanya menyampaikan kembali,” ungkap Mahfud.

KPU telah memutuskan untuk tetap menggelar Pilkada serentak di 270 daerah, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Pendaftaran Pilkada dibuka 4-6 September 2020, Kemudian, 23 September 2020 penetapan Paslon dan 26 September-5 Desember 2020 ditetapkan sebagai masa kampanye.

Atas hal ini, Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodari meminta pemerintah dan merespon serius Pilkada sebagai klaster Covid-19. Jika tetap dilaksanakan, UU Pilkada perlu direvisi. Kegiatan kampanye dengan pengumpulan orang. Seperti rapat umum, pentas seni, dan kegiatan olahraga harus ditiadakan. “Cukup dengan door to door campaign, alat peraga atau kampanye Daring,” kata Qodari.

Lebih jauh, Qodari menyatakan Pilkada 9 Desember 2020 bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, Pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam Pilkada serentak.

“Karena itu, kami minta Pilkada langsung 9 Desember 2020 ditunda karena waktu yang tersedia tidak cukup untuk melaksanakan sejumlah syarat untuk mencegah penyebaran Covid-19,” ujarnya.

Sistem Islam Utamakan Nyawa Manusia

Alasan apapun yang dikemukakan pemerintah misalnya tidak optimalnya pemerintahan jika masih dipimpin oleh pelaksana tugas dibanding kepala daerah, sehingga tidak menunda pelaksanaan Pilkada saat Pandemi Covid-19, merupakan keputusan yang tidak memihak pada kemaslahatan umat.

Andaikan saat ini sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan Islam, pastinya penanganan Covid-19 yang diutamakan dibanding ekonomi dan Pilkada. Karena nyawa manusia sangat berharga dibanding seisi dunia.
Dari al-Barra bin Azibra, Nabi saw bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak” (HR Nasai, Turmudzi dan dishahihkan al-Albani).

Disisi lain, saat ini umat semakin sadar jika Pilkada yang dilaksanakan selama ini hanya menguntungkan para elit politik dan segelintir orang saja, bukannya masyarakat pemilih. Visi Misi alias Janji-janji saat kampanye, faktanya kebanyakan hanya sekedar janji tanpa bukti. Bagaimana mereka akan menunaikan janji, sedangkan biaya kampanyaenya dibiayai para pemilik modal alias cukong.
“Dimana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan,” kata MenkoPolhukam, Mahfud MD, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema “Memastikan Pilkada Sehat : Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi” yang disiarkan melalui Youtube resmi Pusako FH Unand, Jumat (11/9). (cnn.com/11/9/2020).

Hal ini diperparah dengan terjadinya politik dinasti, misalnya tahun 2020 ini, terdapat 52 bakal calon terindikasi dinasti politik. Republika.co.id (27/8/2020) merilis The Indonesian Institue mencatat, setidaknya ada 52 bakal calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada 2020 terindikasi dinasti politik. Dari jumlah tersebut, 71,5 persen bakal calon akan maju di tingkat Kabupaten, dengan rincian 27 bakal calon bupati dan 10 bakal calon wakil bupati.

Sementara itu, 25 persen bakal calon yang terindikasi dinasti politik maju di tingkat kota, terdiri dari 10 bakal calon wali kota dan 3 bakal calon wakil wali kota. Kemudian 3,85 persen bakal calon dari dinasti politik mencoba peruntungannya di tingkat provinsi, 1 bakal calon wakil gubernur.

Tidak hanya itu, pada Pilkada sering terjadi pelanggaran dan kecurangan, apalagi saat Pandemi (kondisi tidak normal) sekarang. Dikhawatirkan pelanggaran dan kecurangan akan lebih besar terjadi, misalnya pencoblosan yang lebih dari satu kali.

Semoga saja pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakannya untuk tetap melaksanakan Pilkada saat Pandemi Covid-19 ini, setidaknya pemerintah dapat menundanya hingga obat dan vaksin telah benar-benar siap, begitu pula sarana prasarana isolasi pasien Covid-19 semakin memadai. Intinya pemerintah harus mengutamakan keselamatan rakyatnya, dibanding yang lain.

Wallahu’alam bishowab[].

Penulis : Ulfah Sari Sakti, S.Pi

Editor :YA