Example floating
Example floating
Berita UtamaJakartaOpiniTegas.co Nusantara

Ironi Demokrasi, Kotak Kosong pun Jadi Lawan

1109
×

Ironi Demokrasi, Kotak Kosong pun Jadi Lawan

Sebarkan artikel ini
Ironi Demokrasi, Kotak Kosong pun Jadi Lawan

TEGAS.CO., NUSANTARA – Pilkada serentak tahun 2020 kembali di gelar ditengah wabah pandemik, pro kontra pun mengiringi pengumuman daftar calon kepala daerah. Ada sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota yang melaksanakan Pilkada. Yang menarik adalah ada 28 kabupaten/kota di 15 provinsi yang berpotensi melawan kotak kosong di Pilkada 2020, dan ini mengalami kenaikan yang cukup tinggi di banding tahun sebelumnya (CNNIndonesia,8/9/2020). Dan Balikpapan adalah salah satu dari sekian daerah yang nantinya hanya ada satu nama dan akan melawan kotak kosong. Setelah melalui perpanjangan waktu pendaftaran calon kepala daerah, akhirnya pada Minggu malam(13/9/2020) pukul 00.00 wita ditutup. Menurut Ketua KPU Balikpapan Noor Thoha, penutupan pendaftaran bakal calon kepala daerah sudah sesuai dengan peraturan KPU dan telah melalui serangkaikan proses tahapan (Tribunkaltim,co,14/9/2020).

Praktisi hukum pun angkat bicara, bagaimana jika kotak kosong yang menang dalam Pilkada nanti, termasuk kemungkinan di Balikpapan. Kolom kosong atau kotak kosong akan menjadi lawan bagi pasangan yang sudah mendaftar. Di sampaikan oleh Ni Nyoman Suratminingsih, SH praktisi hukum dan pemerhati kepemiluan di Balikpapan, jika nanti hanya ada satu calon tunggal maka sesuai PKPU No 13/2018, saat pencoblosan nanti hanya ada surat suara dengan gambar calon tunggal melawan kolom kosong yang tidak bergambar. Dalam Pasal 54D ayat 1 UU No 10 Tahun 2016, nantinya yang disebut pemenang dalam pemilihan adalah yang mampu memperolah suara lebih dari 50% dari jumlah suara yang sah. Jika kolom kosong yang menang lebih dari 50% suara sah, maka KPU akan mengumumkan pemenangnya adalah kolom kosong. Dan pada Pasal 54D ayat 2 UU No 10 tahun 2016, akan dilakukan pemilihan lagi pada peride berikutnya, bisa tahun depan atau sesuai jadwal yang telah ditentukan.(Tribunkaltim,co,11/9/2020).

Adapun pembiayaan Pilkada serentak ini, Direktur Jendral Bina Keuangan Kemedagri Mochamad Ardian menyatakan dari data Kementerian Dalam Negeri 7 Agustus 2020 yang terealisasi dari Pemda ke KPU mencapai Rp 9,735 triliun atau 95.22% dari total alokasi. Sedangkan untuk Bawaslu senilai Rp 3,290 triliun atau 94,88% dan untuk PAM(pasukan keamanan) RP 702,733 miliar atau 46,01%, hingga saat ini terdapat 229 dari 270 pemda yang telah mencairkan 100% dana NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) untuk KPU.(kompas.com 9/8/2020), dan total pembiayaan Pilkada ini, dalam catatan Kemendagri sesuai yang sudah di anggarkan tahun lalu adalah Rp 14,98 triliun, jelas Tito Karnavian (rumahpemilu.org/skema).

Jika dilihat dari besarnya pembiayaan Pilkada ini, di lansir dari berita di CNN.ekonomi pada 22/9/2020, anggaran Pilkada naik Rp 5,23 triliun untuk protokol cegah Covid, maka total keseluruhan mencapai -+ Rp 20 triliun, ini belum dana kampanye tiap Paslon. Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negri, Bahtiar mengungkapkan Paslon bisa mengeluarkan biaya ratusan miliar hingga triliunan untuk biaya kampanye Pilkada. Untuk pemilihan Bupati minimal Rp 30 miliar, pemilihan Gubernur bisa sampai triliunan. Meski demikian, uang tersebut tidak seluruhnya berasal dari kantong pribadi, ada pihak sponsor atau pemodal yang punya bisnis di daerah itu, dan jika terpilih maka ada kompensasi, bisa soal izin bisnis dan sebagainya. (Kompas.com, 3/12/2020).

Maka tidak salah jika dalam setiap pemilihan, baik legislatif, kepala daerah ataupun presiden dikatakan sebagai Pesta Demokrasi. Yang namanya pesta pasti bersenang-senang, dengan hidangan atau suguhan. Dan memang inilah fakta yang terjadi. Pembagian sembako, uang serangan fajar, perbaikan jalan, musholla, pemberian alat-alat, konser music mewarnai pesta ini ditambah isu mencuri start, black campaign, belum lagi poster dan stiker yang bertebaran dimana, sebagaimana janji manisnya atas visi dan misi yang juga bertebaran. Belum lagi adanya tim sukses, yang jelas mereka bekerja bukan tanpa pamrih, ada jasa dan tenaga yang dikeluarkan. Dan inilah fakta yang ada, maka tidak salah jika dana yang dibutuhkan sangat besar sekali, dan mustahil dapat dibiayai sendiri. Maka mereka perlu teman koalisi, entah dari partai lain atau para pengusaha.

Maka menjadi sebuah hal yang lumrah ketika para kapitalis atau pemilik modal berada dibalik penguasa yang terpilih. Keterlibatan para kapitalis ini akan menjadi langkah mulus dalam menggolkan rancangan bisnis mereka, bahkan ada undang-undang yang mengaturnya tentang batasan sumbangan dari perseorangan dan juga lembaga. Begitu besarnya biaya untuk Pilkada ini, jelas tidak semua orang bisa maju, selain dukungan dana, juga dilihat apakah calon cukup populer di masyarakat. Jika dirasa kurang apalagi dukungan partai juga kecil atau tidak ada, ditambah pengkaderan yang juga berjalan ditempat, maka wajar pada akhirnya hanya ada satu calon tunggal. Dan ini semakin membuktikan bahwa sistem demokrasi gagal dalam memberikan pendidikan berpolitik, dimana politik dikaitkan dengan uang dan kekuasaan, dan adanya satu calon juga menunjukkan kalau sistem demokrasi bukan kekuasaan dari, untuk dan oleh rakyat tetapi kekuasaan segelintir pihak/oligarki, karena terpusatnya pada satu orang tertentu hanya dengan popularitas dan modal yang besar.

Adanya calon tunggal, ternyata tetap tak menyurutkan langkah KPU untuk melaksanakan Pilkada apalagi ditengah situasi pandemi ini, dengan dana yang dipakai sangat besar sekali ditambah biaya kampanye Paslon, ternyata ada daerah yang lawan bertarungnya adalah kotak kosong. Bahkan suara kotak kosong pun dihitung, jika menang maka di ulang dan itu butuh biaya lagi. Dan inilah ironinya sebuah sistem buatan manusia, demokrasi. Tidak masuk di akal, manusia melawan kotak kosong.

Bandingkan bagaimana Islam mempunyai cara dalam pemilihan pemimpin atau Khalifah. Proses pemilihan dalam Islam tidak berlangsung lama dan mahal, tidak juga ada kepentingan terselubung dari para pengusaha atau partai politik yang ada. Tetapi hanya ada satu kepentingan yaitu bagaimana Islam bisa diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Dalam sistem Khilafah, kekuasaan di tangan umat dan kedaulatan ditangan syara’ (Allah SWT). Kekuasaan ada di tangan umat, artinya umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi Khalifah. Maka pengangkatan Khalifah dengan baiat in’iqad menandakan kekuasaan yang dimiliki umat diserahkan kepada Khalifah, yang akan mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasul. Prosedur pengangkatan dan pembaiatan khalifah dapat dilaksanakan dalam bentuk yang berbeda-beda sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa’ al-rasyidin, dimana semua sahabat yang ada mendiamkan dan menyetujui cara tersebut. Untuk pejabat negara/kepala daerah semisal Wali(penguasa tingkat 1) atau Amil(penguasa tingkat 2) semuanya akan di angkat oleh Khalifah. Syekh Taqiyyudin An Nabhani, senada dengan Imam Ibnu Taimiyah pejabat negara harus memilik 3 kriteria, Al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketaqwaan) dan al-rifki bi arra’iyyah (lembut terhadap rakyat).

Jelas loyalitas para pejabat negara atau kepala daerah bukanlah kepada partai atau golongan tertentu, tetapi hanya kepada Islam, bagaimana menjadi pelaksana sekaligus pengawas bagi diterapkannya aturan Islam ini. Khalifah dan para pejabat negara akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya kepada Allah SWT. Semua warga negara baik muslim ataupun non muslim akan dijaga darah dan kehormatannya. Wallahu’alaamu bi ashshowab.

Penulis : Irma Ismail (Aktifis Muslimah Balikpapan)
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos