Pilih Negara yang Islami atau Negara Islam?

Ummi Lia (Ibu Rumah Tangga dan Member Akademi Menulis Kreatif Bandung)

TEGAS.CO., NUSANTARA – “Sungguh jawaban kaum mukmin itu, bila dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur: 51).

Wacana tentang negara Islam atau negara sekuler terus menjadi perbincangan dari sejak Indonesia belum merdeka sampai sekarang. Perbincangan ini belum final. Karena yang namanya negara pada faktanya tidak permanen, selalu berubah. Di dunia ini tidak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri.

Iklan ARS

Seperti apa yang disampaikan Menko Polhukam, Mahfud MD, ketika memberikan sambutan pada acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemuda Muhammadiyah yang digelar secara daring, Ahad (27/9/2020), beliau mengajak Pemuda Muhammadiyah untuk membangun Indonesia sebagai negara yang Islami. Islami yang dimaksud adalah akhlak seperti jujur, demokratis, toleran dan egaliter. “Mari membangun Indonesia sebagai negara Islami, bukan negara Islam, agar semua umat Islam di Indonesia dapat berkontribusi masuk dari berbagai pintu. Jangan eksklusif,” kata Mahfud dalam keterangan tertulisnya. (Sindonews.com, 27/9/2020).

Islam dan Islami adalah dua kata yang sama sekali berbeda. Kita bisa mengatakan bahwa seseorang beragama Islam, tapi belum tentu Islami. Kita juga tidak jarang menemukan seseorang yang tidak beragama Islam tapi berkepribadian Islami. Islami adalah kata umum yang merujuk kepada nilai keislaman yang melekat pada sesuatu. Sesuatu yang dimaksud bisa saja dalam bentuk karya, seni, tradisi, pendidikan, budaya, sikap hidup, cara pandang, teknologi, ajaran, produk hukum, lembaga, negara dan lain-lain. Sesuatu disebut Islami apabila nilai-nilai yang terkandung/sistem yang bekerja di dalamnya mengadopsi ajaran Islam. (Wikipedia.org).

Irlandia dan Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami di dunia. Karena dinilai dapat menerapkan ajaran Islam secara negara sesuai pedoman al-quran dan hadis. Predikat tersebut diraih Selandia Baru pada tahun 2010. Sementara pada tahun 2014 predikat serupa diraih oleh negara non muslim lainnya seperti Kanada, Inggris, Australia bahkan Amerika Serikat. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ada di peringkat ke 140.

Daftar peringkat tersebut merupakan hasil riset Hossein Askari, guru besar politik dan bisnis internasional dari Universitas Washington, yang meneliti 208 negara di dunia. Menurut Askari, status negara Islam belum tentu dapat mencerminkan nilai yang terkandung dalam al-quran dan hadis. Bahkan sebagai negara Islam justru menggunakan kekuatan agama sebagai instrumen untuk mengendalikan pemerintahan dan masyarakat. (Ayobandung.com, 14/11/2017).

Hasil riset prof Askari, ini tidak ada kepentingannya kecuali untuk mendiskreditkan Islam atau negara Islam. Riset yang dilakukan tahun dua ribuan, pada saat tidak ada negara yang menerapkan ajaran Islam. Adapun yang diriset itu adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Sementara negaranya sendiri menerapkan sistem sekuler kapitalis demokrasi. Negara Islam yang menerapkan ajaran Islam sudah runtuh sejak tahun 1924. Apakah prof Askari lupa akan fakta ini?.

Setelah keruntuhan negara Islam tahun 1924, umat Islam mempunyai kewajiban untuk menegakkannya kembali. Ini adalah kewajiban syar’i yang didasarkan dalil-dalil syariah. Bahkan kewajiban menegakkan negara Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah adalah perkara yang mujma’ ‘alaihi (disepakati oleh para ulama yang mu’tabar). Karena itu jika ada yang menyelisihi kewajiban ini maka tidak perlu dianggap, karena jelas menyimpang.

Sebagaimana sudah dimaklumi, Allah SWT telah memerintahkan sejumlah perkara fardu/wajib kepada kita. Sebagiannya fardhu ‘ain (kewajiban individual) seperti shalat lima waktu, shaum Ramadhan, zakat, haji, menuntut ilmu dan sebagainya. Sebagian lainnya terkategori fardhu kifayah (kewajiban kolektif) seperti mengurusi jenazah. Namun, ada salah satu perkara yang juga wajib—terkategori fardhu kifayah—yang telah dilupakan oleh kebanyakan umat Islam. Perkara tersebut adalah menegakkan kembali negara Islam (khilafah) dengan mengangkat seorang khalifah yang bertugas untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah di tengah-tengah umat sekaligus mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Hal ini berdasarkan banyak dalil dari alquran, hadis, ijmak (kesepakatan) sahabat, para ulama ahlus sunnah wal jamaah juga bersepakat bahwa menegakkan khilafah di tengah-tengah umat adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariah. Salah seorang ulama ahlus sunnah wal jamaah, Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan: “Mereka (para ulama) telah berijmak (bersepakat) bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” (Ibnu Hajar al-asqalani, Fath al-Bari, XII/205).

Kembalinya Khilafah merupakan janji Allah SWT (lihat QS An-Nur ayat 55) dan juga sudah dikabarkan dalam hadis Rasul saw. Janji Allah pasti benar, umat Islam sekarang hanya berupaya mewujudkan janji Allah tersebut. Untuk itu ada beberapa tahapan penting yang harus dilalui. Pertama, konsep Khilafah itu harus disiapkan. Ibarat kita akan membangun bangunan baru, mengganti bangunan lama yang sudah bobrok, maka desain bangunan baru itu harus dirancang dan digambarkan. Begitu pula mewujudkan Khilafah, maka sistem Islam yang termaktub dalam alquran dan hadis ini harus digambarkan desainnya.

Kedua, kemudian dikomunikasikan secara masif kebobrokan bangunan sistem ideologi sekuler kapitalisme dengan sistem politik demokrasinya dan sistem ekonomi kapitalisnya. Sehingga umat paham bahwa tidak ada gunanya lagi sistem bobrok ini dipertahankan dan terus diterapkan.

Ketiga, sistem sekuler kapitalis ini tentunya akan dipertahankan oleh pengembangnya. Maka strategi dan cara-cara mereka harus dibongkar kepada umat sehingga umat tidak akan terperdaya. Keempat, desain bangunan Khilafah harus terus dikomunikasikan dan dipahamkan kepada umat baik pada kalangan pejabat, militer, tokoh ataupun kepada rakyat jelata. Upaya ini dilakukan secara masif dan simultan sehingga umat paham akan kebaikan Khilafah. Umat juga harus paham bahwa penerapan sistem Islam dengan syariahnya di dalam bingkai Khilafah merupakan konsekuensi keimanan.

Lantas, mana yang kita pilih? Yang ideal adalah negara Islam yang Islami. Keduanya berpadu menjadi satu, terealisasi secara nyata. Menjadi orang Islam dan Islami, menjadi negara Islam dan Islami. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah mungkin menjadi Islam dan Islami secara bersamaan? Jawabannya tentu saja bisa, selain karena sudah janji Allah dan kabar gembira dari Rasul, negara Islam dan Islami ini pernah mewujud di dunia dan menjadi mercusuar dunia selama 13 abad lamanya.
Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ummi Lia (Ibu Rumah Tangga dan Member Akademi Menulis Kreatif Bandung)
Editor: H5P