Pemuda, Generasi Penerus Kebangkitan Islam

Irma Faryanti (Member Akademi Menulis Kreatif)

TEGAS.CO., NUSANTARA – ”Siapa sih yang rela anaknya ikut demo?” Demikian kiranya lontaran penyesalan seorang ibu bernama Aminah ketika mendapati anaknya yang bernama Muhammad terlibat dalam unjuk rasa penolakan disahkannya UU cipta kerja. Pihak kepolisian yang tengah menjalankan tugasnya mengamankan jalannya aksi berusaha melakukan tindakan pengamanan terhadap siswa dan Mahasiswa yang melakukan demo. KPAI mencatat, per Sabtu (10/10) ada 3.665 anak diamankan oleh kepolisian di seluruh Indonesia selama beberapa hari demonstrasi menentang UU Cipta Kerja, 91 di antaranya diproses hukum. (BBCnews, 15 Oktober 2020).

Menyikapi hal tersebut, kepolisian menyatakan bahwa pihaknya akan mempersulit pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kepada para pelajar yang terbukti melanggar hukum dalam demonstrasi anti-UU Cipta Kerja. Namun hal ini kontan menuai kritik sejumlah pihak. Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPAI) menilai hal itu sebagai sebuah mekanisme yang bisa mengancam masa depan para pelajar. Karena seperti yang kita ketahui bahwa SKCK adalah surat dari pihak kepolisian yang menjadi prasyarat untuk melamar pekerjaan.

Iklan ARS

Kasat Reskrim Polresta Tanggerang, AKP Ivan Adhitira menyatakan bahwa opsi SKCK ini dipilih untuk memberi efek jera kepada para pelajar yang mengikuti aksi unjuk rasa tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan BBC news 15 Oktober yang lalu, ivan menyatakan “Makanya opsi yang kita ambil adalah mendatabasekan identitas mereka, untuk apabila nanti mereka ingin melamar kerja atau membuat SKCK, sehingga datanya sudah ada” ujar Ivan.

Peristiwa ini merupakan buntut panjang dari disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang oleh pemerintah dan DPR. Sekalipun menuai banyak penolakan khususnya dari kalangan buruh yang kemudian menggelar aksi mogok nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020. Pengesahan RUU dilakukan setelah berbagai fraksi memberikan pandangan, dari 9 fraksi nyatanya hanya 2 fraksi yang menolak pengesahan RUU yaitu partai Demokrat dan Partai Keadilan Sosial.

Menanggapi ikut sertanya mahasiswa juga pelajar dalam unjuk rasa menolak omnibus law tersebut, kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan surat edaran. Dalam surat tersebut Kemendikbud mengimbau agar mahasiswa tidak berpartisipasi dalam kegiatan penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan kesehatan mahasiswa seperti demonstrasi atau unjuk rasa sebab pandemi di Tanah Air belum mereda. (Detiknews.com 10/10/2029)

Disahkannya UU omnibus law oleh pemerintah mengusik rasa peduli mahasiswa akan nasib bangsa ini, karena mereka menyadari maksud dari disahkannya UU ini tidak lain adalah agar para pemilik modal swasta dan asing bisa leluasa menguasai kekayaan alam negeri yang merupakan milik rakyat, mulai dari minyak bumi, gas, emas, perak, hutan, lahan perkebunan, dan lain sebagainya.

Aksi mahasiswa turun ke jalan tentu bukan kali pertama kita dengar. Bahkan sejak tahun 1998, pergerakan mahasiswa mampu menumbangkan kekuasaan tirani yang telah bertahan 32 tahun lamanya. Disusul dengan beberapa aksi serupa ketika mendapati ketidakadilan penguasa di negeri ini. Namun sayang, hingga kini apa yang diperjuangkan masih belum menemukan hasil, dari beberapa unjuk rasa yang dilakukan nyatanya tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Alih-alih diperhatikan pemerintah, yang terjadi justru munculnya tindakan represif aparat kepolisian yang cenderung bersikap kasar, melakukan penangkapan hingga memakan korban.

Namun aksi kritis mahasiswa ini sempat menghilang bahkan bisa dikatakan mati suri ketika mahasiswa disibukkan dengan aktivitas perkuliahan dan diancam dikeluarkan jika terlibat aksi turun ke jalan menyampaikan aspirasi. Penegasan untuk tidak turun ke jalan biasanya disampaikan pihak universitas setelah mendapat peringatan dari pihak Kemendikbud agar mahasiswa tidak melibatkan diri dalam aksi.

Seruan Kemendikbud ini cukup bisa dipahami jika merujuk kembali pada konsep “merdeka belajar” yang menjadi program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Konsep ini diharapkan menjadi filosofi perubahan dari metode pembelajaran. Menurut kemendikbud, mahasiswa mampu menjadi penentu pendidikan, karena yang terpenting bukan di dalam kampus melainkan kerja nyata di lapangan seperti di dalam industri, mengerjakan proyek usaha, mengajar di desa ataupun membangun proyek di desa dalam penelitian. Intinya mahasiswa adalah aset yang bisa digunakan potensinya untuk memuluskan kepentingan kapitalisme.

Itulah sebabnya, mahasiswa seolah dibungkam untuk tidak bersuara dan menyampaikan sikap kritis mereka karena hal tersebut akan merugikan kepentingan para pemilik modal di negeri ini. Cukup menggelikan memang, sebagai sebuah sistem yang menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan, nyatanya penyampaian aspirasi pun justru menuai kecaman.

Demokrasi yang mengembar-gemborkan ide kebebasan, salah satunya adalah kebebasan berpendapat. Namun ternyata pelaksanaannya dalam kehidupan hanyalah nol besar. Ketika kritik yang disampaikan berpotensi merugikan para pemilik modal, serta merta mereka dibungkam untuk tidak bersuara.

Pemuda yang digadang akan menjadi penerus bangsa, nyatanya tidak bisa leluasa melakukan gerak perubahan bahkan setiap sikap kritis cenderung diberangus dan dimandulkan. Ancaman jerat hukum ataupun drop out dari dunia pendidikan menjadi jurus ampuh untuk menghentikan setiap langkah perubahan yang tengah disuarakan.

Pemuda adalah harapan masa depan umat. Baik ataukah buruk kualitas yang dimilikinya menjadi penentu masa depan umat ini. Itulah sebabnya Rasulullah senantiasa mengingatkan kaum muslim untuk menjaga masa mudanya, sebagaimana sabda beliau:

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara. Masa mudamu sebelum masa mudamu…” (HR al Baihaqy).

Fakta membuktikan bahwa sistem kapitalisme dan demokrasi saat ini telah gagal dalam menyejahterakan masyarakat. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan para pemuda khususnya mahasiswa di negeri ini untuk mengkaji sistem alternatif yang akan memberi solusi atas seluruh permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Ketika kapitalisme dan sosialisme telah nyata gagal maka satu-satunya harapan adalah kembali pada sistem Islam.

Karena sistem ini nyatanya mampu membawa umat pada kegemilangan dan kemuliaan. 1300 tahun lamanya sistem ini menaungi umat Islam, memberi solusi atas seluruh permasalahan umat dan menempatkan Islam sebagai agama yang tinggi lagi mulia. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus melakukan reorientasi gerakan perubahan. Memahami bahwa kunci perubahan adalah ideologi Islam yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam.

Jika sistem ini diterapkan, Allah Swt. Menjanjikan keberkahan, sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an yang artinya:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (TQS An Nuur: 55).

Oleh karena itu mahasiswa sebagai generasi pemuda Islam harus menyatukan visi gerakan dalam sebuah upaya penegakan syariat Islam dalam sebuah kepemimpinan Islam yang berdasarkan metode kenabian.
Wallahu a’lam Bishawwab

Penulis: Irma Faryanti (Member Akademi Menulis Kreatif)
Editor: H5P