TEGAS.CO., NUSANTARA – Bulan Desember telah tiba. Dari awal tahun sampai di penghujung akhir tahun 2020 banyak industri-industri tambang dibangun. Tidak terkecuali di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pembangunan perusahaan-perusahaan industri tambang ini, selain memberikan dampak positif, juga menyisakan dampak negatif. Imbasnya adalah lingkungan menjadi rusak dengan semakin banyaknya ceruk-ceruk bekas galian yang ditinggalkan di atas area tambang tersebut. Selain itu juga lingkungan menjadi tercemar akibat pembuangan limbah industri.
Salah satunya dengan kehadiran mega industri berbendera Tiongkok di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe. Keberadaan perusahaan tambang di Desa Porara, Kecamatan Morosi, telah memberikan dampak negatif yaitu menjadikan lingkungan di wilayah tersebut tercemar akibat adanya limbah industri. Pencemaran lingkungan yang dirasakan masyarakat setempat tersebut akhirnya mengakibatkan berkurangnya penghasilan para petani tambak yang tambaknya tercemar limbah (Telisik.id, 22/11/2020)
Namun sayang seribu kali sayang, sering kali persoalan Amdal ini dianggap sepele. Apalagi dengan alasan bahwa perusahaan tambang itu telah memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat sekitar terutama bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Sedangkan urusan lingkungan tercemar, itu nomor sekian. Amdal tak digubris, akhirnya lingkungan pun meringis. Upaya pemberian sanksi hukum terhadap perusahaan-perusahaan nakal yang telah mencemari lingkungan pun acapkali tidak memberikan efek jera. Lalu bisakah kita berharap pada sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini dalam mengatasi persoalan lingkungan ini? My lalu solusi apa yang bisa ditempuh untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat adanya usaha tambang ini?
Tidak Bisa Berharap pada Sistem yang Ada
Dengan diaturnya masalah lingkungan hidup di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), maka lingkungan hidup telah menjadi faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan dan pengolahan Sumber Daya Alam (SDA). Hanya saja pada praktiknya, banyak oknum perusahaan tidak menaati aturan Amdal ini. Perusahaan tambang mengeruk perbukitan, tetapi tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Penggunaan bahan kimia dalam memproses barang tambang pun tentunya akan menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan jika tidak diantisipasi sejak awal. Parahnya rusaknya alam bukan hanya akan dirasakan oleh kita saat ini, akan tetapi juga dirasakan oleh generasi yang akan datang.
Namun dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak akan berlaku. Terdapat 30 pasal UU 32 Tahun 2009 yang berubah, 17 pasal yang dihapus dan 1 pasal tambahan. Secara garis besar, UU Omnibus Law Ciptaker menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (MuslimahNews.com, 14/10/2020).
UU Ciptaker melonggarkan sanksi pidana bagi pelanggar lingkungan hidup. Hal ini disampaikan oleh Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial WALHI, Wahyu Perdana. Ia menilai UU Cipta Kerja telah menggeser sebagian besar sanksi menjadi hanya sekadar administratif alih-alih pidana/perdata. Ketentuan baru Pasal 21 UU Cipta Kerja tentang Perubahan UU Nomor 32/2009 yang dimaksud Wahyu tercantum jelas dalam Pasal 82A, 82B, dan 82C (Tirto.id, 07/10/2020).
Kalau sudah seperti ini, bagaimana kita bisa berharap kerusakan lingkungan akan berkurang, sedangkan aturan pun tidak lagi berpihak kepada kelestarian lingkungan.
Undang-Undang yang diharapkan akan memiliki kekuatan hukum untuk menjerat pelaku kerusakan lingkungan pun kini ompong tak bergigi. Sistem kapitalisme membuat undang-undang yang dibuat senantiasa akan lebih membela kaum kapitalis pemilik modal daripada rakyat, serta lebih mementingkan ekonomi daripada kepentingan lingkungan hidup.
Butuh Solusi Alternatif
Islam sebagai pedoman hidup beragama, bermasyarakat dan bernegara tentu saja mengajarkan bagaimana manusia hidup bersama alam. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia diberikan keleluasaan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam termasuk dalam mengolah barang tambang.
Hanya saja ada rambu-rambu yang harus dipatuhi agar ketika manusia memanfaatkan alam untuk kehidupannya, tidak memberikan mudarat ataupun mafsadat kepada manusia lain dan tentunya kepada lingkungan hidup. Firman Allah Swt. Dalam Surat Al-A’raaf, Ayat 56: ”Dan janganlah kamu merusak di muka bumi setelah Tuhan memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan),
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik”.
Islam pun mengatur terkait sanksi yang akan diberlakukan pada pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan. Berdasarkan Surat Al-A’raaf, Ayat 56 maka bagi pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan dalam Islam dimasukkan pada pelaku jarimah (tindak pidana). Al-Mawardi memberi pengertian jarimah adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir dimana pelaksanaannya diserahkan pada Ulul Amri (pemerintah) yang ketentuannya sesuai ringan dan beratnya membuat kerusakan lingkungan (Wahana Akademika, Volume12 Maret 2011).
Penerapan Islam secara menyeluruh dalam sendi kehidupan akan menjadi solusi alternatif untuk mengatasi persoalan lingkungan. Tentu penerapan Islam secara kaafah ini bukan hanya sekadar karena adanya manfaat. Namun hal ini karena bagian konsekuensi keimanan kepada Allah Sang Maha Pencipta dan Pengatur. Semoga dengan akan berakhirnya 2020 ini, negeri ini akan menjadi negeri yang diberkahi Allah dengan bersegera menerapkan syariat-Nya.
Wallahu a’lam bisshowwab
Penulis: Ratni Kartini, S.Si (Member WCWH dan Mahasiswi Sekolah Ahli Ekonomi Islam)
Editor: H5P
Komentar