Dilema Sekolah Tatap Muka

Hasni Tagili, M. Pd. (Praktisi Pendidikan Konawe)
Hasni Tagili, M. Pd. (Praktisi Pendidikan Konawe)

TEGAS.CO., NUSANTARA – “Soto babat sate rusa. Hari senja merah merona. Alangkah hebat anak Indonesia. Tetap belajar walau sedang Corona.” Pantun ini merupakan salah satu kalimat inspirasi yang lahir pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2020 lalu. Ya, sejak pandemi di awal Maret, siswa-siswi di Indonesia tetap belajar meski dari rumah dan secara daring.

Sayangnya, kondisi ini lambat laun menyisakan dilema. Di satu sisi, sehebat apapun teknologi tetap tidak bisa mengganti nikmatnya kebersamaan secara faktual. Sehingga, wajar jika siswa-siswi merindukan pertemuan langsung dengan teman dan gurunya. Pun, tenaga pendidik akhirnya kurang maksimal me-riayah anak didikannya. Namun, di sisi lain, kekhawatiran orang tua jika anaknya terjangkiti wabah di sekolah tetap tidak bisa dicegah. Maka, mencermati hal ini, bagaimana seharusnya setiap elemen bersikap?

Iklan ARS

Kado Awal Tahun

Pemerintah Pusat telah mengeluarkan surat keputusan bersama terkait Panduan Penyelenggara Pembelajaran Semester genap 2021. Berdasarkan surat yang ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri, disebutkan sekolah tatap muka boleh dilakukan per Januari 2021. Meski demikian, Pemerintah Daerah tetap akan diberi kewenangan untuk menentukan sekolah yang diizinkan belajar tatap muka.

Pemerintah Kota Kendari sendiri akan melakukan uji coba pembukaan sekolah dan pembelajaran tatap muka, direncanakan bulan Desember atau Januari 2021. Dikmudora Kota Kendari menyebutkan, delapan sekolah siap melakukan uji coba. Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir mengatakan, sekolah yang paling siaplah yang akan menjadi pilot projek pelaksanaan pembelajaran tatap muka. Meskipun siap membuka sekolah, namun wali kota memberikan syarat ketat yang harus dipenuhi sekolah.

Jika hasil uji coba berjalan baik dan tidak menyebabkan munculnya kasus baru dan penyebaran COVID-19, maka jumlah sekolah piloting akan ditambah.

Namun di sini, bukan sekadar keputusan Pemda dan pihak sekolah, orangtua juga memiliki hak untuk menentukan apakah anaknya diizinkan keluar rumah untuk sekolah tatap muka. Karena seperti dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, keputusan tetap ada di tangan orang tua murid.

Kritik Konstruktif

Menyikapi kebijakan ini, dipandang perlu untuk melakukan kritik konstruktif melalui beberapa poin. Pertama, pemerintah tidak boleh menganulir kecemasan yang dirasakan oleh orang tua. Sebaliknya, mewadahi kecemasan tadi agar menemukan solusi terbaik. Sebab, mayoritas survei menunjukkan hasil yang sama. Orang tua galau anaknya kembali ke sekolah meski berada di zona hijau.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melalui survei yang dilakukan pada 6-8 Juni ini, mayoritas responden keberatan sekolah dibuka kembali. Sebanyak 55,1% responden mengatakan sekolah belum memenuhi kebutuhan pokok dalam menghadapi kenormalan baru. Salah satu kendala terberatnya ialah pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan. Mereka tidak yakin dapat memenuhi segala kebutuhan tersebut dalam sebulan.

Survei FSGI ini mendapati bahwa para orang tua resah, khawatir, dan cemas. Sebab, data terakhir menunjukkan masih tingginya angka penambahan kasus baru pasien Covid-19, khususnya di usia anak. Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) per 18 Mei 2020, terdapat 3.324 anak yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP); sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal dunia; sementara jumlah anak yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19 berjumlah 584 anak; kemudian 14 anak diantaranya meninggal dunia dengan status positif virus corona.

Kedua, berdasarkan survei FSGI, keberlangsungan PJJ masih menemui berbagai macam kendala, seperti tidak adanya internet hingga konten pembelajaran yang tidak mendukung PJJ. Terkait hal ini, FSGI mendorong agar dibuat pendampingan atau pelatihan khusus terkait PJJ daring. Hal ini penting karena pada tahun ajaran baru sebagian besar sekolah akan menjalankan PJJ, sehingga harus dibuat sistem yang berkualitas.

Ketiga, kegiatan belajar mengajar saat ini memang sebaiknya masih dilakukan secara daring atau tidak tatap muka. Mengingat, 80 persen wilayah Indonesia masih berada di zona kuning, oranye dan merah (KOM). Mayoritas wilayah Nusantara yang berada di zona KOM juga memiliki resiko bagi zona hijau. Artinya, pembelajaran dengan metode daring masih menjadi alternatif terbaik di tengah pandemi saat ini.

Keempat, terlepas dari respon orang tua, anak, guru, dan pemda terhadap kebijakan sekolah tatap muka di tengah pandemi yang masih menggejala, negara seyogianya fokus menyelesaikan penyebaran wabah terlebih dahulu. Inilah fokus paling utama.

Islam Memandang

Berbeda dengan sistem pendidikan yang digagas oleh Islam. Dimana di masa pandemi, diutamakan pembelajaran jarak jauh, proses belajar dan mengajar tetaplah akan dilakukan dengan senang hati. Guru akan berusaha kreatif menyajikan kurikulum secara baik. Siswa pun siap menerima ilmu. Inilah yang membedakan dengan proses pembelajaran selama ini. Kurikulum yang sangat padat serta nihil dari aspek ruhiyah tentu dirasakan sebagai beban.

Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai instrumen untuk menghasilkan pemikir. Ya, pendidikan dipandang sebagai upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis. Upaya tersebut tertuang ke dalam beberapa poin. Pertama, pembentukan kepribadian Islam harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan proporsinya melalui berbagai pendekatan. Salah satu di antaranya adalah dengan menyampaikan pemikiran (tsaqofah) Islam kepada para siswa.

Kedua, kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam, sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Pun, sarana dan prasarana pendidikan diselenggarakan secara memadai.

Ketiga, ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi, kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh bukan dengan tujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan cacat-celanya dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.

Terpenting, dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah dan memperhatikan aspek kesehatan dan keamanan. Termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi.

Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sehingga, fokus pemerintah yang lebih memperhatikan aspek kesehatan dan keamanan tadi tidak akan mengakibatkan orang tua, siswa, dan guru mengalami dilema berkepanjangan. Wallahu ‘alam bisshowab.

Penulis: Hasni Tagili, M. Pd. (Praktisi Pendidikan Konawe)
Editor: H5P

Komentar