TEGAS.CO., WAKATOBI – Wakatobi sebagai salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara, terbilang maju, selain potensi bandar udara juga memiliki pelabuhan, jembatan dan Aneka wisata. Tentunya ini merupakan sumber pemasukan bagi kas daerah. Wakatobi dikenal sebagai ibu kota Wangi-wangi. Pun ternyata nama Wakatobi merupakan singkatan dari nama-nama pulau di sana, yaitu Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
Beranjak dari itu, di balik menariknya Pulau Wakatobi ada hal lain yang kini masih begitu hangat beritanya diperbicangkan oleh banyak kalangan. Sebagaimana dilansir dari salah satu media Sultra (28/11/2020), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Wakatobi didemo oleh sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Barisan Orator Masyarakat (BOM) Kepulauan Buton (Kepton).
Koordinator aksi, Roziq Arifin mengungkapkan, pihaknya menolak peminjaman uang yang dilakukan Pemda Wakatobi, karena peruntukan sejumlah uang tersebut juga nantinya terkesan digunakan untuk sesuatu yang tidak terlalu urgen.
Namun, setelah melewati perdebatan panjang akhirnya DPRD bersama Pemda Wakatobi menyepakati rencana pinjaman untuk pembangunan infrastruktur dari Rp 200 miliar menjadi Rp 100 miliar.
Dana pinjaman sebesar Rp 100 miliar untuk pembangunan infrastruktur jalan di pulau Kaledupa dan Binongko disetujui oleh fraksi Golkar, fraksi Nasdem, fraksi Gebar, dan fraksi Nurani Demokrat, sementara fraksi PDIP dan anggota DPRD dari partai Golkar (sekretaris Gebar), Hj. Ernawati menolak pinjaman tersebut (Sultrakini.com, 28/11/2020).
Mengapa Harus Utang?
Terkait isu tersebut, ketua DPRD Wakatobi Muhammad Iqbal mengungkapkan Jadi yang kami sepakati itu bukan semata-mata sudah bisa dipinjam besok, melainkan harus ada bupati terpilih baru bisa dilakukan. Peminjaman itu juga dimaksudkan demi meratanya pembangunan di Wakatobi. Di antaranya adalah pembangunan jalan di Binongko, Tomia, dan Kaledupa serta untuk kesehatan.
Selintas tujuannya baik demi masyarakat umum. Namun ada yang harus dipikirkan sebelum memutuskan, yakni terkait pinjaman dana dalam sistem kapitalis seperti saat ini untuk digunakan pembangunan infrastruktur. Tidak dipungkiri nantinya akan menimbulkan masalah jangka panjang. Mulai dari bunga yang makin meningkat, denda keterlambatan, pajak yang dibebankan pada rakyat, hingga munculnya hukum tebang pilih terhadap pemilik modal.
Padahal sejatinya utang merupakan alat penjajahan yang paling ampuh untuk melumpuhkan perekonomian suatu bangsa tak terlepas daerah ini juga. Berkaca pada negeri kita hari ini yang tidak mampu bangkit melawan hegemoni penjajah Cina dan As akibat kedua negara ini menjadi sumber pembiayaan dalam berbagai proyek infrastruktur di negeri ini.
Bukti yang sangat nyata adalah Cina yang banyak memberi utang di negeri ini. Sehingga tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pembangunan dan pengembangan kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi.
Pun berbagai produk Cina, termasuk tenaga kerja ahli maupun buruh kasar, merupakan konsekuensi dari pemberian utang tersebut . Padahal sebagian besar dari barang dan jasa tersebut melimpah, begitu juga warga di negeri ini butuh pekerjaan.
Selain tingginya motif politik dan ekonomi Cina, faktor penarik datangnya investasi Cina ke negeri ini adalah mentalitas pemerintah yang hingga saat ini belum berubah, yakni bergantung pada kekuatan asing untuk membangun negara tercinta ini.
Selain itu, adanya unsur kepentingan terhadap pinjaman tersebut, pastilah ada. Karena dalam sistem kapitalis, tidak ada makan siang gratis.
Mengakhiri Ketergantungan Utang
Strategi pembangunan yang ditempuh pemerintah termasuk Pemda khususnya Wakatobi, dengan berkedok mendorong investasi, Pemerintah justru menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Ketergantungan utang menyebabkan sebagian alokasi APBN juga APBD terserap hanya untuk membayar utang dan bunganya dalam jangka waktu yang panjang.
di samping itu, kemandirian negara ini juga tergadaikan karena komitmen utang yang disepakati mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan negara pemberi utang. Namun merugikan negara ini, baik dalam bidang ekonomi, maupun dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan.
Hal yang juga sangat mendasar adalah utang-utang yang ditarik pemerintah dan BUMN di atas merupakan utang ribawi yang diharamkan secara tegas oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Berbeda dengan sistem Islam yang mana memberikan gambaran jelas, bahwa pembangunan infrastruktur tersentralisasi dari baitul mal. Utang terhadap pihak luar menjadi pilihan terakhir ketika kas baitul mal kosong dan tidak ada aghniya atau orang kaya yang memberikan pinjaman terhadap negara.
Dalam sistem Islam pun, infrastruktur difungsikan untuk memberikan kemudahan kepada rakyat dalam pendistribusian kebutuhan dan aktivitas keseharian tanpa adanya unsur penarikan pajak.
Oleh karena itu, tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh penduduk negeri ini untuk membebaskan negara ini dari utang dan cengkraman kepentingan negara dan lembaga donor kecuali dengan kembali menerapkan syariah secara menyeluruh dibawah institusi Islam. Karena sistem Islam nantinya akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri sesuai dengan Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan manusia di negeri ini. Termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam termasuk utang piutang ribawi. Wallahu’alam.
Penulis: Nurhaniu Ode hamusah, A.Md. Keb. (Pemerhati Sosial Asal Konawe)
Editor: H5P
Komentar