Sekolah Tatap Muka Dibuka, Optimis atau Pesimis ?

Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Media Kolaka)
Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Media Kolaka)

Sekolah Tatap Muka Dibuka, Optimis atau Pesimis ?

TEGAS.CO., NUSANTARA – Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Dengan pendidikan yang layak, akan memperbaiki kondisi masyarakat. Kini, salah satu kebijakan Kemendikbud yang kembali disoroti adalah pembukaan sekolah tatap muka di bulan januari 2021.

Iklan ARS

Dilansir dalam Kompas.com – Pada semester genap tahun ajaran 2020/2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan bahwa sekolah boleh melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan memenuhi syarat tertentu. Oleh karena itu, Nadiem mengharapkan sekolah mulai mempersiapkan diri dari sekarang hingga akhir tahun untuk pergantian model pembelajaran. “Jadinya bulan Januari 2021. Jadi daerah dan sekolah diharapkan dari sekarang kalau siap melakukan tatap muka, kalau ingin melakukan tatap muka, harus segera meningkatkan kesiapannya untuk melaksanakan ini dari sekarang sampai akhir tahun,” jelas Nadiem pada Jumat (20/11/2020) lewat akun YouTube Kemendikbud RI.

Kebijakan untuk pembukaan sekolah secara tatap muka ini merupakan hasil dari Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun ajaran 2020/2021 di masa pandemi Covid-19. Nadiem menekankan, pembelajaran tatap muka ini diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan. Pasalnya, keputusan ini dibuat untuk disesuaikan kembali dengan kebutuhan serta kondisi daerah masing-masing.

“Banyak sekali teman-teman kita, daerah-daerah kita, desa-desa kita yang sangat sulit melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jadi mohon itu menjadi konsiderasi juga,” ucap Nadiem.

Mengurai Akar Masalah

Pendidikan merupakan sarana mencetak generasi unggul penerus bangsa. Maka, pendidikan layak dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya. Covid-19 masih terus mendera negeri ini sudah hampir delapan bulan berjalan, belum ada tanda-tanda kemusnahan virus ini.

Berbagai macam kebijakan telah dilakukan untuk mengatasi penyebaran Covid 19 ini, namun setiap hari virus corona terus memakan korban hingga ribuan. Kasus virus corona di Indonesia saat ini tercatat mengalami peningkatan, baik dari jumlah kasus, sembuh, maupun yang meninggal dunia. Dikutip dari Kompas.com Pada hari Selasa (24/11/2020) pukul 12.00 WIB, kasus positif Covid-19 bertambah sebanyak 4.192. Sehingga jumlahnya saat ini menjadi 506.302 orang.

Tentunya kebijakan tatap muka ini menuai kontra. Dengan minimnya persiapan protokol kesehatan ini, tentu sangat berisiko jika harus menyelenggarakan pembelajaran tatap muka. Namun, sayang kebijakan yang seharusnya memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya kini justru menambah klaster penularan. Dengan banyaknya kasus yang terjadi, kebijakan ini memerlukan evaluasi. Mengingat keselamatan dan nyawa masyarakat (apalagi anak-anak) sangat penting.

Tidak bisa dipungkiri, pembelajaran tatap muka merupakan metode pembelajaran utama. Dengan metode ini kita tak sekadar transfer ilmu, tapi juga mampu mendidik dan membentuk karakter siswa. Lebih parahnya, kebijakan mengenai pendidikan di era pandemi ini juga berubah-ubah. Mulai Belajar Dari Rumah (BDR), Pembelajaran Tatap Muka, maupun wacana kurikulum darurat selama BDR. Ketika satu kebijakan menimbulkan masalah, bukan menyelesaikannya tapi malah mengganti dengan kebijakan lain yang belum matang.

Seluruh fakta kebijakan yang telah terprogram menunjukkan lemahnya pemerintah sekuler mengatasi masalah pendidikan. Hal ini akibat dari tersanderanya kebijakan kepentingan ekonomi. Pendidikan tidak dijamin sebagai kebutuhan publik yang wajib diselenggarakan oleh negara.

Sulit rasanya untuk menyambut optimis atas kebijakan pemerintah membuka sekolah lagi pada bulan Januari tahun 2021. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan ketidakjelasan pemerintah menangani wabah corona hingga saat ini. Meski diberlakukan PSBB, jumlah rakyat yang terpapar virus masih terus bertambah. Bahkan hal ini juga mengundang kebingungan kepala negara menghadapinya. Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Mulai dari membebaskan para napi yang mengakibatkan kriminalitas meningkat, pengesahan UU Omnibus Law di tengah PHK massal dampak dari PSBB, tetap ngotot memindahkan ibu kota negara di tengah pandemi, politisasi Bansos di tengah kelaparan rakyatnya, hingga pelaksanaan Pilkada di bulan Desember mendatang.

Semua kebijakan tersebut tentu muncul dari rezim ruwaibidhah. Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, V/465)

Islam Solusi Sistemis

Kebijakan yang diambil dalam sistem Islam yakni Khilafah Islam tidak mengandalkan kecerdasan dan kemampuan manusiawinya saja melainkan disandarkan pada apa yang sudah diperintahkan oleh Nabi saw. Adanya sinergi atara negara sebagai pelaksana hukum syara yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang berkarakter mulia dengan rakyat yang mudah menerima amar makruf nahi mungkar.

Negara tampil terdepan dalam setiap keadaan. Tidak menyerahkan urusan rakyatnya pada pihak lain. Bahkan tidak akan tega mengorbankan nasib rakyatnya atas dasar pertimbangan ekonomi. Rakyat telanjur pesimis dengan setiap kebijakan penguasanya. Cenderung tak percaya dan menimbulkan ragu yang mendalam di hati mereka. Memastikan ekonomi rakyat agar tetap baik-baik saja selama pandemi saja tak mampu, konon lagi memberikan rasa aman baik kesehatan dan ketenangan hidup mustahil terwujud.

Maka, umat berharap besar pada sistem Islam yang mampu melahirkan pemimpin yang memiliki sikap tegas dan percaya diri, tidak gagap dan ragu menghadapi wabah. Kebijakan pemerintah pusat dengan daerah pun berjalan dengan baik, tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Hingga mampu memastikan situasi terkendali dan dapat segera memulihkan keadaan. Meski kebijakan sekolah dibuka Januari 2021 sifatnya tidak wajib, tetap saja pemerintah pusat tidak boleh berlepas diri dari kebijakan tersebut.

Negara mestinya berpikir mendalam tentang strategi dan kebijakan yang diambil agar semua pihak, baik kepala daerah, pemangku kebijakan pendidikan, guru, siswa, dan orang tua merasakan kenyamanan dan keamanan. Sayangnya, paradigma sistem kapitalisme yang egois menjadikan pejabat mau enaknya, tapi tidak mau bersusah-susah mengurusi rakyatnya.

Alhasil, pandemi tidak akan berlarut-larut akibat kebijakan yang karut marut. Negara bersistem Islam tidak akan membiarkan tiap daerah mengalami kesulitan selama belajar daring. Fasilitas pendidikan akan diberikan secara merata ke semua daerah. Demikianlah negara Khilafah menjalankan fungsinya sebagai raain (pengurus rakyat). Pendidikan di masa pandemi membutuhkan keseriusan dan perhatian besar dari negara. Sebab, setiap warga negara berhak mendapat jaminan pendidikan dan kesehatan yang memadai dan tercukupi. Semua prinsip tersebut terlaksana jika negara menerapkan syariat Islam secara kafah. Wallahu a’lam.

Penulis: Risnawati, S.Tp. (Pegiat Opini Media Kolaka)
Editor: H5P

Komentar