Example floating
Example floating
Berita UtamaJakarta

‘Kami Diperlakukan Bak Binatang, Dibaiki Hanya Jika Ada Kunjungan Konsulat’

441
×

‘Kami Diperlakukan Bak Binatang, Dibaiki Hanya Jika Ada Kunjungan Konsulat’

Sebarkan artikel ini
Seorang buruh migran Indonesia yang bekerja di sebuah perkebunan sawit di Malaysia, foto diambil pada awal 2020 FOTO: BENARNEWS

Laporan mendapati buruh migran Indonesia diperlakukan tidak manusiawi di Malaysia.

TEGAS.CO., JAKARTA – Ratusan buruh dari Indonesia mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh otoritas imigrasi Malaysia selama mereka ditahan dengan tuduhan melanggar keimigrasian di negara itu, demikian laporan yang dikeluarkan Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) baru-baru ini.

Koordinator KBMB, Musdalifah, mengatakan investigasi yang dilakukan sejak Desember 2019 menunjukkan para migran Indonesia di Sabah tidak mendapat perlakuan hukum yang adil dalam proses deportasi sebagai bagian upaya pemerintah Malaysia untuk mencegah penyebaran COVID-19.

“Selain mendapat penyiksaan oleh petugas, mereka juga ditempat di lokasi penampungan yang tidak layak,” katanya saat dihubungi BenarNews, Jumat (9/10).

Laporan setebal 44 halaman yang dirilis hari Rabu berisi hasil investigasi KBMB terhadap kondisi buruh migran Indonesia yang ditahan otoritas Imigrasi Malaysia, di Sabah, yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Utara.

Laporan itu disusun berdasarkan keterangan 43 orang deportan yang telah bebas dari tempat penahanan itu.

Misalnya kesaksian seorang deportan perempuan, yang dipaksa untuk mengaku bersalah karena melanggar dokumen keimigrasian.

“Ketika kami sampai di mahkamah, kami diajarkan petugas untuk tidak banyak cerita dan mengakui kesalahan. Persidangan berjalan cepat. Kami perempuan dihukum satu bulan, sementara yang laki-laki ada yang dihukum tiga bulan,” ujar perempuan tersebut.

Ada juga pengakuan tahanan yang kehilangan barang-barang berharga miliknya karena dirampas petugas imigrasi Malaysia. “Kami kehilangan gelang, uang, jam tangan, telepon genggam. Semua lenyap. Yang tersisa hanya pakaian yang menempel di badan,” kata seorang tahanan.

Selain proses hukum yang tidak menghormati prinsip-prinsip peradilan, para pekerja migran yang menjalani tahanan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) di Sabah, juga diperlakukan tidak manusiawi.

“Kami diperlakukan seperti binatang. Kami diperlakukan dengan baik hanya jika ada kunjungan dari konsulat, itu pun terjadi hanya di kantor depan sehingga kondisi buruk yang kami alami di dalam tidak terlihat oleh perwakilan konsulat,” ujar seorang tahanan, yang diwancarai tim pencari fakta dari KBMB.

Kondisi Pusat Tahanan Sementara bagi para deportan di Sabah yang terdiri dari 10 blok berukuran 10×15 meter itu disebut layaknya neraka, kata laporan KBMB. Satu bloknya berisi lebih dari 200 orang dan di masing-masing blok hanya ada tiga toilet.

Para deportan mengaku tidak mendapatkan makanan yang layak dan sering diberikan makanan yang basi dan kadang mentah, sehingga tidak bisa dimakan. Selain itu banyak deportan yang ditahan mengidap penyakit namun tidak mendapatkan pengobatan yang memadai.

“Di PTS hampir semua kena gatal-gatal dan penyakit kulit. Airnya kotor dan bau. Itu pun tidak lancar, sering kali kami tidak mandi tiga hari,” ujar seorang tahanan.

“Di Rumah Merah (PTS) itu seperti neraka. Kalau di penjara, sakit sedikit dikasih obat, tapi di Rumah Merah yang sakit dibiarkan.”

Untuk alasan pencegahan penyebaran COVID-19, bukannya malah menyediakan ruang tahanan yang lebih lapang, petugas PTS Sabah justru menyemprotkan cairan disinfektan ke tubuh setiap tahanan, kata KBMB, merujuk pada kesaksian para migran.

Laporan KBMB juga menyebut pengelola penjara juga memaksa anak-anak para imigran untuk menjadi petugas kebersihan, dengan iming-iming imbalan sebesar 30 sen ringgit Malaysia, atau sekitar Rp1000. Anak-anak yang tidak mau bekerja juga kerap mendapatkan penyiksaan.

Musdalifah mengaku pihaknya telah menyampaikan laporan itu kepada pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

“Kami berharap akan ini diusut oleh pemerintah kedua negara, karena ini bukanlah kasus yang pertama dialami dan pada tahun 2017 lalu kita juga sudah pernah mengeluarkan laporan serupa juga dengan kasus-kasus yang sama,” ujarnya.

Jerald Joseph, Komisaris Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia, mengatakan pihaknya telah pernah mengunjungi Pusat Penahanan Imigrasi di Sabah itu, dan mengetahui beberapa masalah seperti kepadatan dan kurangnya dukungan medis.

Misalnya, pengobatan untuk kudis dan masalah dengan menunggu lamanya deportasi.

“Laporan yang berdasarkan wawancara langsung ini akan mendorong kami menyelidiki lebih dalam,” ujarnya kepada BenarNews di Kuala Lumpur.

Pihaknya berjanji akan berkoordinasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia.

“Kami bekerja sama dengan komisi hak asasi manusia Indonesia. Kami mengadakan pertemuan dengan mereka kemarin. Kami akan memulai penyelidikan kami dalam beberapa minggu ke depan,” katanya.

Pejabat di Malaysia tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar.

Seorang pekerja migran Indonesia meletakkan lilin di atas makam suaminya yang bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sabah, Malaysia, 9 Desember 2018. Jenazah buruh migran yang meninggal terkadang tidak dikirim kembali ke Indonesia. (AP)

Minta segera melapor

Buruh migran yang mendapatkan perlakuan yang tidak baik oleh otoritas Malaysia selama dalam penahanan, untuk  segera melapor, kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha.

“Kita apresiasi apa yang dilakukan koalisi buruh migran, untuk itu kami mendorong kiranya untuk warga negara kita yang mengalami perlakuan tidak tepat dalam laporan koalisi buruh migran tersebut, silahkan melapor kepada Kemlu. Laporan itu juga bisa disampaikan secara online melalui website peduliwni.kemlu.go.id,”  kata Judha, saat dihubungi BenarNews.

Berdasarkan data yang dikeluarkan otoritas Malaysia yang diterima Kemlu, saat ini terdapat sekitar 4.474 warga Indonesia yang ditahan otoritas imigrasi Malaysia. Menurut Judha, proses pemulangan mereka ke tanah air akan dipercepat.

“Kita sudah menjalin kerjasama dengan pihak imigrasi Malaysia untuk memfasilitasi percepatan kepulangan mereka,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia, kata Judha, sudah memulangkan WNI yang ditahan karena masalah imigrasi di Malaysia dalam dua tahap selama beberapa bulan terakhir. Rencananya, besok 10 Oktober 2020, juga akan ada pemulangan dalam gelombang ketiga warga Indonesia yang sempat ditahan otoritas Keimigrasian Malaysia.

“Pemulangan mereka tentu dengan protokol kesehatan yang ketat bahkan sebelum mereka diberangkatkan sudah lebih dulu di tes PCR, untuk memastikan mereka benar-benar sehat,” kata Judha.

Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, mengatakan pihaknya menjadikan laporan itu sebagai bahan awal untuk menyelediki lebih lanjut.

“Yang pasti prinsipnya tindakan seperti itu tidak bisa dibiarkan. Harus ada niat baik dari kedua negara untuk mengusut dan menyelidiki lebih jauh laporan itu,” kata Choirul kepada BenarNews.

Lebih dari satu juta

Diperkirakan ada lebih dari satu juta pekerja migran yang bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sabah, yang sebagian besar dikelola oleh perusahaan perkebuman millik pemerintah Malaysia, Federal Land Development Authority (Felda), kata KBMB.

Sekitar 90 persen di antara mereka adalah warga negara Indonesia yang umumnya berasal dari Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.

Mereka yang ditahan oleh otoritas Malaysia itu bahkan banyak telah melebihi masa hukuman. Menurut laporan KBMB, pemulangan mereka terkendala koordinasi yang buruk antara pemerintah kedua negara.

Menurut laporan KBMB, sejak Juni hingga September 2020, lebih dari 1082 migran yang dideportasi.

“Selain karena jalur yang buruk, juga karena banyak deportan yang memilih kabur meloloskan diri agar tetap di Nunukan dan berharap bisa kembali masuk ke Sabah,” tulis laporan itu.

Tidak adanya tanggung jawab dari beberapa pemerintah daerah, juga mengakibatkan banyak buruh migran yang dideportasi akhirnya harus menunggu di penampungan dengan waktu yang lebih lama.

SUMBER: Media kerjasama tegas.co bersama www.benarnews.org/indonesian…..

Nisha David, di Kuala Lumpur, Malaysia, ikut berkontribusi pada laporan ini.