Korupsi Merajalela, Demokrasi Bikin Derita

Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Kolaka)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Diawal tahun 2020, Indonesia tersandung kasus mega korupsi Jiwasraya dan Asabri yang nilainya sangat fantastis hingga mencapai puluhan triliun rupiah. Kini, menjelang akhir tahun 2020 pun terjadi Korupsi lagi di tengah covid 19 yang masih mendera negeri ini. Ironis!

Dilansir dari Jakarta – KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar.

Iklan Pemkot Baubau

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari.

“Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar,” kata Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Minggu (6/12/2020) dini hari.

Tak hanya itu, Firli menyebut pada periode kedua, yakni Oktober-Desember 2020, sudah terkumpul uang senilai Rp 8,8 miliar yang dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara. Uang Rp 8,8 miliar itu diduga akan dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara.

“Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Saudara JPB,” ujar Firli.

Mencabut Akar Korupsi

Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa korupsi masih saja terus terjadi? Padahal upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan? Meski, Pemerintah saat ini sudah berusaha keras menekan angka korupsi dengan membentuk badan independen KPK. Pemerintah juga melakukan langkah-langkah pencegahan korupsi dengan cara mengelola dan mencegah benturan kepentingan dalam politik, mengontrol pendanaan politik, memperkuat integritas Pemilu, mengatur keterbukaan aktivitas lobi politik, perlakuan yang sama terhadap warga negara, memperkuat peran masyarakat sipil, penguatan fungsi muhasabah ‘alal hukkam (koreksi terhadap penguasa).

Jika kita telusuri lebih dalam ada beberapa faktor mengapa pemberantasan korupsi sangat sulit dilakukan. Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari Negara dan kehidupan menyebabkan nilai-nilai ketaqwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Akibatnya tidak ada control internal yang menyatu dalam diri politisi, pejabat, aparatur dan pegawai. Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk membiayai kontestasi menjadi kepala daerah bahkan Presiden, tidak mungkin tertutup dengan gaji dan tunjangan selama menjabat. Ketiga, korupsi telah begitu berurat berakar, sementara sistem pengendalian masih lemah. Berbagai laporan BPK dari tahun ke tahun membuktikan hal itu. Banyak dari temuan BPK yang terindikasi kasus korupsi atau merugikan Negara tidak ditindak lanjuti oleh penegak hukum. Keempat, dalam sistem politik yang ada, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong bahkan kepentingan koruptor.

Hal mendasar adalah sistem hukum. Sayangnya dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi, dan cukong pemberi modal politik amat berpengaruh. Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Di sisi lain, tersandera oleh kepentingan politik politisi dan parpol bahkan lembaga lain.

Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga ringan, jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera.

Dengan demikian, sistem demokrasi dekukar merupakan sistem yang merusak. Indonesia saat ini dengan sistem demokrasi kapitalis sekuler, segala aturan dan kebijakan dibuat dari pemikiran manusia dan kesepakatan untuk meraih kemaslahatan (manfaat).

Menunjukkan betapa sulitnya menjadi pemimpin yang lurus di sistem demokrasi. Hal ini bukan karena masalah kepribadian dari manusia itu sendiri, namun sistem yang menjadikan mereka memberi peluang melakukan korupsi dan kecurangan.

Biaya kampanye untuk menjadi penguasa atau pejabat di negara demokrasi sangat mahal, namun gaji para pejabat negara dinilai kurang, efek dari gaya hidup mewah para pejabat dan penguasa. Hal ini sering kali menjadikan mereka gelap mata melakukan tindakan korupsi untuk mengembalikan modal saat kampanye dan memperoleh keuntungan pribadi.

Maka wajar, korupsi di negeri ini masih saja menggejala disebabkan korupsi ini adalah korupsi yang sistematis. Namun, sering kali solusi yang ditawarkan cuma sekedar dengan kelembagaan. Seharusnya penyelesainya harus secara sistematis.

Jadi, sistem demokrasi yang rusak ini, sudah saatnya kita tinggalkan, dan kembali kepada Islam. Karena, Islam memiliki sistem yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia termasuk dalam memberantas korupsi.

Islam Solusi Tuntas

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan” (HR. Abu Dawud).

Korupsi adalah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Praktik korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintah. Dalam istilah politik Bahasa arab, korupsi sering disebut “al-fasad atau riswah”. Tetapi yang lebih spesifik adalah “ikhtilas atau “nahb al-amwal al-ammah”.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) Islam. Karena mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram.

Perilaku korupsi masuk pada dimensi haram karena korupsi menghalalkan sesuatu yang haram, dan korupsi merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memperoleh rezeki Allah SWT. Dan Islam membagi istilah korupsi ke dalam beberapa dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan).

Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumannya berupa hukuman ta’zir yang disesuikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan.

Kedua, korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah), yang berarti mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi. Artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya, jadi saraqah adalah mengambil barang orang lain dengan cara melawan hukum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Tidaklah Allah SWT melarang sesuatu termasuk di dalamnya korupsi, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya.

Pemberantasan korupsi akan sangat sulit dilakukan jika sistem yang digunakan masih sistem demokrasi sekular, buktinya sampai saat ini masalah korupsi tidak pernah tuntas bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya, Hal ini terjadi karena sistem sekuler yang sedang diberlakukan saat ini justru menjadi sebab maraknya korupsi. Oleh karena itu, diperlukan sistem lain yang akan mampu menyelesaikan korupsi hingga akarnya. Tidak lain sistem tersebut adalah sistem Islam.

Berikut beberapa faktor bagaimana sistem Islam mampu memberantas korupsi: pertama, dasar aqidah Islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketaqwaan. Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidak mahal. Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Keempat, struktur dalam sistem Islam, semuanya berada dalam satu kepemimpinan kepala negara yakni imam atau khalifah, sehingga ketidakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi.

Kelima, praktek korupsi, andai terjadi, bisa diberantas dengan system hukum syariah, bahkan dicegah agar tidak terjadi.

Dalam Islam, kriteria harta ghulul, yakni harta yang diperoleh secara illegal itu jelas. Harta yang diambil/ditilap di luar imbalan legal; harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan sekalipun disebut hadiah; harta pejabat, aparat dan sebagainya yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal; semua itu termasuk harta ghulul. Di akhirat akan mendatangkan azab. Sedangkan, sanksi dalam Islam bagi pelaku korupsi merupakan bagian dari ta’zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindakan korupsi diserahkan pada ijtihad khalifah atau qadhi (hakim).

Bisa disita seperti yang dilakukan khalifah Umar, atau tasyhir (diekspos), penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi masyarakat. Alhasil, dengan sistem Islam, pemberantasan korupsi bisa benar-benar dilakukan hingga tuntas. Aturan Islam ini lengkap dan efektif dalam menangani masalah tindak pidana korupsi.

Islam menyelesaikan masalah dari hal yang mendasar sampai cabangnya. Sistem Islam juga memiliki cara dalam pencegahan, hingga penyelesaian. Oleh karena itu, betapa kita rindu dengan penerapan sistem Islam ini, yang bisa membawa umat kepada keberkahan dan kesejahteraan.

Allah SWT Berfirman, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50). Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis: Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Kolaka)
Editor: H5P