Dinasti Politik Mengakar, Bukti Demokrasi Gagal

Desi Dian S., S.I. Kom

TEGAS.CO., NUSANTARA – Putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka serta menantunya Bobby Nasution dinyatakan unggul atas lawan-lawannya dalam versi hitung cepat sejumlah lembaga survei. Meski hasil resmi belum diumumkan, banyak pihak yakin dua anggota keluarga Jokowi tersebut bakal menang di Pilkada tahun ini.

Puluhan daerah ternyata hanya dipimpin keluarga tertentu saja. Bahkan dari data yang diperoleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), saat ini ada sekitar 15,7% istri petahana aktif/pernah menjabat sedang bertarung di Pemilukada. Setidaknya 29 orang siap bertarung dalam pemilu 2020 ini (bbc.com, 5/12/20).

Iklan ARS

Bukan hal baru jika demokrasi sarat akan patronasi. Walaupun mitosnya, rakyat jelata memiliki kesempatan untuk berpartisipasi serta memenangkan kontestasi sebagai penguasa atau penentu kebijakan. Namun realitanya, kesempatan untuk mengecap kekuasaan hanya diberikan pada segolongan kelompok tertentu utamanya keluarga penguasa dan politisi, baik karena ikatan darah ataupun perkawinan yang memiliki privilege utama. Hal inilah yang nantinya memunculkan dinasti politik.

Baiknya jika kerabat pejabat atau mantan pejabat ingin mencalonkan diri di pemilu setidaknya berjeda satu periode masa jabatan dari pendahulunya. Hal ini diungkapkan Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha “Karena di situ anggota keluarganya bisa menggunakan kewenangan atau pengaruhnya, supaya bisa meloloskan anggota keluarga (lain) sebagai pejabat publik,” ujar Egi, Kamis (10/12).

Dalam buku The Iron Law of Oligarchy. Michels berpendapat bahwa saat seseorang berkuasa akan cenderung membentuk kubu, termasuk apabila itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Sebuah data yang mencengangkan dalam pemilihan kepala daerah (Pemilukada) tahun ini. Seorang kandidat Doktor Ilmu Politik dari Northwestern University di Amerika Serikat, Yoes Kenawas mengemukakan hasil temuannya. Politik dinasti berkembang begitu pesat di Indonesia. Tahun 2015 hanya ada sekitar 52 kandidat yang masih ada hubungan darah. Namun, di tahun 2020 ini jumlahnya menjadi 146 kandidat (gatra.com, 9/12/20).

Kedaulatan di Tangan Rakyat Sebuah Ilusi

data diatas telah membuktikan, bagaimanapun ungkapan kedaulatan ditangan rakyat nyatanya hanya ilusi dan slogan semata. Lebih lanjut memang secara realitas tidak adanya aturan yang jelas dalam perundang-undangan telah dinasti politik ini membuat praktik dinasti politik sah dilakukan. Namun hal ini secara tidak langsung dianggap akan mencederai demokrasi sebab banyak kasus keluarga yang terlibat dalam dinasti politik.

Selama ini, rakyat hanya dianggap sebagai batu loncatan menuju tabuk kekuasaan sebab rakyat hanya dimanfaatkan suaranya. Selebihnya, arah kebijakan pemerintah selalu dipertanyakan seperti kasus Omnibus Law yang beberapa bulan lalu ditolak mati-matian oleh semua anggota masyarakat nyatanya pemerintah tetap mengesahkan Omnibus Law.

Inilah gambaran landasan demokrasi yang lemah. Di mana hanya menyandarkan segala kebijakan pada keputusan manusia saja. Keputusan yang diambil juga sesuai kepentingan pemangku jabatan. Asal ada uang, kebijakan dapat dipesan dan dibuat. Wajar jika praktik KKN merajai kalangan birokrasi. Tentu hal ini akan menjadi katalis matinya demokrasi. Sehingga diperlukan sistem alternatif sebagai pengganti demokrasi.

Gambaran Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Sistem pemilihan kepala pemerintahan, baik pusat maupun daerah dalam daulah Islam mensyaratkan seorang pemimpin minimal harus memiliki tujuh syarat yang wajib dipenuhi. Yakni laki-laki, muslim, baligh, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan. Sehingga dengan ini jelas, tidak akan mungkin terpilih figur non muslim, khianat, dan berbagai tipe pemimpin rusak lainnya.

Selain itu, pemilihan kepala daerah juga ditunjuk langsung oleh Kepala Negara secara langsung. Di samping itu, Kepala Negara juga memiliki mekanisme untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan agar tetap lurus. Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban sekaligus hak rakyat dan partai politik yang ada, yang harus dijamin pelaksanaannya. Sebagai wujud tanggung jawab mereka untuk menjaga kehidupan Islam.

Hal ini akan menghilangkan praktik dinasti politik sebab kepala negaralah yang bertugas secara langsung memilih wakilnya di daerah. Namun pemilihan dilakukan bukan semata asal tunjuk saja sebab wakil penguasa di daerah adalah orang yang telah dikenal rakyat kapabilitas maupun kredibilitasnya sehingga bukan orang yang asing ataupun sekedar dekat dengan penguasa.

Demikian juga ada Majelis Wilayah di tingkat daerah dan Majelis Umat di tingkat pusat yang terdiri dari perwakilan seluruh elemen masyarakat, baik muslim maupun non muslim, laki-laki/perempuan, yang juga senantiasa mengontrol jalannya kekuasaan. Di samping Mahkamah Mazhalim yang siap setiap saat memberikan sanksi bagi siapapun penguasa yang tidak amanah dan melanggar syariat.

Penulis: Desi Dian S., S.I. Kom
Editor: H5P