Money Politik di Konsel, Bukti Demokrasi Penghasil Korupsi

 

Khusnawaroh ( Pemerhati Umat Konda)
Khusnawaroh ( Pemerhati Umat Konda)

TEGAS.CO., KONAWE SELATAN – Jaringan Pemuda Pemerhati Pemilu dan Pilkada (JP3) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar demonstrasi di Bawaslu dan Gakkumdu Konawe Selatan (Konsel), Selasa (8/12/2020).

JP3 Sultra menuntut agar Bawaslu dan Gakkumdu Konsel berani menuntaskan kasus temuan money politic yang terjadi di Konsel.

“Kami ingin Bawaslu tegas dalam menuntaskan kasus money politic di Konsel,” tutur Korlap aksi, Irhas Saputra.

Irhas menegaskan, Bawaslu Konsel harus bertindak tegas kepada Paslon Bupati dan Wakil Bupati Konsel yang kedapatan melakukan money politic. Sebab, hingga saat ini Paslon tersebut masih bebas.

“Harus ada sanksi tertentu, apalagi kasusnya kemarin viral,” tegasnya.
Money politi tampaknya semakin lama semakin mendarah daging di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini sangat memprihatinkan, seyogianya seorang pemimpin lebih memberi gambaran tentang keteladanan seorang pemimpin, yakni jujur, amanah, adil, tidak menunjukkan kecurangan, seperti politik money.

Namun, inilah sulitnya memilih pemimpin di negeri demokrasi yang benar- benar amanah dan bertanggung jawab. Mungkin sebagian rakyat akan merasa senang dengan dibeli suaranya untuk memilih tetapi adapula rakyat yang merasa kecewa melihat sikap para calon yang begitu rendah, rela melakukan suap, berawal dari seorang pemimpin yang seharusnya mencontohkan, dan mampu mengubah masyarakat ke jalan atau ke pemikiran yang lebih baik, bukan mencontohkan budaya suap yang sangat dilarang dalam Islam.

Masalah seperti ini memang harus dituntaskan agar tidak terjadi terus menerus. Sebab, bukankah ini juga akan merusak demokrasi ? dan akan merugikan rakyat dan negeri kita sendiri? Anehnya tetap saja hal ini selalu berulang, meskipun telah ada Undang- Undang yang melarang. Hal ini seakan-seakan tidak ada pengaruhnya dan sudah dapat ditebak bagaimana sikap seorang pemimpin yang seperti ini, jika pada saat mencalonkan saja sudah mengambil sikap yang tidak benar.

Dalam sistem kapitalis demokrasi politik mahar atau politik money menjadi hal yang lumrah dalam setiap aktivitas meraih jabatan kekuasaan. Biaya politik yang tinggi kemudian pejabat politik itu ketika menjabat akan berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan begitu besar pada proses kontestasi, sehingga tidak heran jika kasus korupsi pun semakin merajalela.

Harus disadari, politik uang adalah pintu menuju kecurangan yang berkelanjutan. Memang tak ayal, jika para pemangku kekuasaan yang dihasilkan merupakan para penguasa yang bermental materialistik, kekuasaan hanya menjadi jalan untuk memuluskan mereka meraup keuntungan semata bukan untuk menunaikan kewajiban menjalankan amanah demi kemaslahatan rakyat. Sistem yang diemban oleh negeri ini yakni demokrasi kapitalis memang mempermudah jalannya segala keburukan.

Kursi kekuasaan seperti makanan lezat yang sangat menggiurkan. Segala cara pun dilakukan untuk mendapatkannya, meskipun diperoleh dengan cara kotor, seperti politik money pun beraksi berupa pemberian uang, sembako, suvenir dan lainnya dan disertai janji kampanye dengan tujuan untuk menggait suara pemilih. Hal ini seakan sudah menjadi tradisi dalam pemilihan pemimpin tingkat daerah maupun pusat. Uang dan kekuasaan, asas manfaat adalah landasan berpikir mereka dan inilah yang menjadi ciri khas kapitalisme yang akan melahirkan pemimpin- pemimpin yang tak mampu mensejahterakan rakyat.

Kontra terhadap kebutuhan rakyat, dan mustahil akan melahirkan pemimpin- pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Ini adalah salah satu bukti yang harusnya kita semua sadari jika sistem demokrasi kapitalis tak layak tuk dipertahankan yang telah gagal membangun kesejahteraan untuk rakyat. Sebab sistem ini lahir dari pemisahan agama dari kehidupan, aturan Islam tak pernah diberi ruang sehingga wajar segala cara dihalalkan untuk meraih kekuasaan.

Sangat jauh berbeda dengan Islam yakni pemilihan pejabat dalam sistem khilafah. Pemilihannya didasarkan pandangan politik Islam manusiawi dan adil bagi seluruh rakyat, berdasarkan ketentuan syara’.

Khilafah meniscayakan pemilu berbiaya rendah efektif dan efisien, mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Memilih kepala negara (khalifah) dan wakilnya di majelis umat yang bertugas menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol jalannya pemerintahan, kepala daerah baik wali (setingkat gubernur) dan amil (setingkat bupati) diangkat langsung oleh khalifah, tidak membutuhkan pilkada, masa tugas khalifah pun seumur hidup tidak perlu melakukan pemilihan khalifah berulang- ulang selama ia tidak melakukan pelanggaran mengharuskan jabatannya dicopot. Khalifah yang dibaiat berkomitmen mengamalkan kitabullah dan sunnah Rosul Saw, di tengah umat. Tak ada politik uang kepala daerah terpilih karena keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt.

Inilah sebaik – baik acuan sistem pemerintahan, selain praktis, mekanismenya syar’i dan biaya murah. Tidak seperti pada sistem demokrasi kapitalis, boros biaya dipenuhi dengan cara- cara kotor dan tidak syar’i pada pemilihan kepala daerah dalam khilafah jauh lebih efisien dan efektif menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berorientasi kepada kemaslahatan umat amanah, serta tidak menimbulkan mudhorot bagi masyarakat.

Dalam Islam, pemimpin haruslah amanah. Pemimpin amanah adalah pemimpin yang bukan hanya tidak mengkhianati rakyat yang telah memilih dirinya, tetapi yang lebih penting adalah tidak mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Di dalam al-Quran Allah swt. berfirman

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta jangan mengkhianati amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu” (TQS al-Anfal [8]: 27).

Rasul saw juga bersabda “Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk mengurusi rakyat, lalu tidak menjalankan urusannya itu dengan penuh loyalitas, kecuali dia tidak akan mencium bau surge” (HR al-Bukhari). Wallahua’lam bissawab.

Penulis: Khusnawaroh ( Pemerhati Umat Konda)
Editor: H5P

 

Komentar