Kasus Rizky Afif: Apa Pelajarannya untuk Kita?

Ilustrasi
Ilustrasi

TEGAS.CO., BAUBAU – PEMUDA bertubuh kecil itu tiba-tiba kaget. Wajahnya berubah muram. Dia sedang berada di sekretariat Komite Nasional Pemuda Indonesia Kota Baubau.

Ditangannya terdapat dua lembar surat. Berkop Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Surat itu, ditandatangani oleh Komisaris Besar Heri Tri Maryadi, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus).

Iklan Pemkot Baubau

Surat bertulis: “Pro Justisia” dibagian kop itu, menyebutkan bahwa dia telah ditetapkan sebagai tersangka. Terhitung sejak tanggal 26 Oktober 2020. Dengan sangkaan melanggar UU ITE .

Undang-undang yang disangkakan adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang sejak dikeluarkan tahun 2008, lalu direvisi pada tahun 2016, telah memakan banyak korban dari berbagai kalangan. UU ini juga telah banyak diprotes oleh kalangan aktivis, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat.

Tak tanggung-tanggung kasus ini pelapornya: Walikota Baubau, AS Tamrin. Seorang doktor pemerintahan alumnus IPDN Jatinangor, dan Lemhanas. Juga memegang gelar Master dibidang hukum.

Pemuda berstatus tersangka itu namanya: Risky Afif Ishak. Karib disapa Risky Afif. Usianya 27 tahun. Dia sarjana hukum. Alumnus fakultas hukum Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari (perguruan tinggi negeri terbesar) di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Di KNPI Kota Baubau Risky menjabat Wakil Ketua Bidang Pemberantasan Korupsi.

Risky dilaporkan Walikota Baubau karena membagikan tautan potretsultra.com di laman Facebook-nya pada tanggal 21 Agustus 2019.

Berita tersebut memuat desakan KNPI Baubau kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Baubau untuk memeriksa Walikota Baubau AS Tamrin guna mengklarifikasi soal tidak adanya ASN yang melakukan kontrol pengelolaan retribusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Wameo, sebagaimana diatur dalam Perda 10/2011 dan Perwali 95/2017.

Terkait informasi desakan KNPI Baubau ini juga dimuat oleh beberapa media lokal lainnya di Sultra. Sebagai informasi, kasus dugaan korupsi TPI Wameo ini, sedang berlangsung sidangnya di pengadilan Tipikor Kendari. Tersangkanya satu orang kepala UPTD TPI Wameo atas nama Muslimin Buhim.

Risky tidak asal bicara. Selain sudah melaporkan ke pimpinan KPK, sumber data Risky berdasarkan hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI).

Dalam LHP BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Baubau Buku III Nomor 22.C/LHP/XIX.KDR/05/2018, yang pada halaman 11 menyebutkan bahwa permasalahan dalam retribusi TPI Wameo ini disebabkan karena beberapa hal yakni:

1. Walikota belum mengangkat dan menetapkan pejabat dan tenaga fungsional sesuai dengan ketentuan; 2. Kepala Dinas Perikanan belum optimal melakukan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan pengelolaan TPI.

Selain itu, 3. Kepala Bidang Perizinan dan Pengelolaan TPI tidak melaksanakan tugas sesuai tupoksi; dan 4.Penanggungjawab TPI Sdr. MB tidak melaksanakan kewajiban menyetorkan seluruh penerimaan jasa sewa cold storage TPI ke kas daerah melalui bendahara penerimaan.

Sehingga dengan data di atas, Risky meminta Jaksa harus memanggil Wali Kota Baubau untuk mengklarifikasi kenapa tidak ada ASN dalam pengelolaan retribusi tersebut. Demikian seperti dikutip melalui media online Potretsultra.com, Rabu (21/8/2019).

Setelah resmi menyandang status tersangka, tahap selanjutnya, Polda Sultra menetapkan Risky dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Surat penetapannya juga disebar.

Alasan Polda, karena Risky sudah dua kali dipanggil (salah satunya via Whatsapp) untuk penyerahan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum (JPU), namun dia tidak hadir.

Penyidik Polda menganggap Risky tidak kooperatif. Padahal, selama pemeriksaan sebelum ditetapkan tersangka, Risky tercatat dua kali menghadiri pemeriksaan penyidik.

Sontak penetapan status tersangka dan DPO ini mendapat perlawanan. Juga protes. Tagar ‘saverisky’ sempat mencuat ramai di jejaring sosial media sejak 30 Oktober hingga awal November 2020.

Risky dan pengurus KNPI lalu menunjuk sejumlah pengacara di Kota Baubau untuk mengajukan gugatan pra peradilan (baik atas status tersangka maupun DPO).

Gugatan atas Polda Sultra diajukan oleh tim kuasa hukum ke pengadilan negeri Baubau. Mereka adalah enam pengacara muda: Muhammad Taufan Achmad, Adnan, La Ode Abdul Faris, La Muin, La Ode Samsu Umar, dan Mohammad Al Ihsan.

Sementara itu, bertindak sebagai kuasa hukum Polda Sultra, masing-masing: Kombes Pol La Ode Proyek, Ipda Askar, Ipda Muhammad Rizal, Aiptu Rahmad Hidayat, dan Bripka Zulkifli.

Setelah melalui beberapa kali persidangan, kemarin (28/12/2020) hakim tunggal PN Baubau, Achmad Wahyu Utomo, memutuskan: Mengabulkan gugatan Risky. Dan menyatakan penetapan status tersangka dan DPO tidak sah secara hukum. Dengan demikian Polda Sultra kalah!

Adnan, salah satu kuasa hukum Risky dalam keterangan pers seusai sidang menegaskan: “Setelah adanya putusan ini, maka perkara ini tidak dapat lagi dilakukan penyidikan ulang. Jadi perkara ini tidak bisa lagi dilanjutkan, karena alasan telah daluwarsa.”

Lalu apa pelajaran yang dapat kita petik dari kasus Risky Afif ini? Pertama, para pemimpin -kepala daerah- jangan “tipis telinga”.

Sedikit tersinggung dengan berita atau kiriman media sosial, kepala daerah atau pejabat lalu lapor polisi. Minta pelaku dipenjara, dan dihukum seberat-beratnya. Mesti lebih bijaksana, arif, dan tidak terpengaruh para “pembisik”.

Kedua, masyarakat sipil masih sangat rentan dijerat pasal UU ITE ini. Dalam catatan saya, pada tahun ini saja, sudah ada 4 orang di Sultra yang diputus dengan jerat UU ITE ini.

Ada Sadli Saleh (32), pimpinan redaksi liputanpersada dotcom yang divonis 2 tahun pidana penjara pada 27 Maret 2020, atas laporan Bupati Buton Tengah (Buteng) Samahuddin.

Lalu, ada La Ane, La Munawir, dan Laode Saharudin. Tiga warga Buteng yang divonis 3,6 tahun dan 3 tahun penjara pada 13 Desember 2020. Juga atas laporan Bupati Samahuddin yang marah karena dilaporkan atas dugaan ijazah sarjananya palsu. Kedua kasus itu diputus oleh hakim pada pengadilan negeri Pasarwajo di Buton.

Perlu ada gerakan masyarakat sipil lebih luas dan sistematik, untuk mendorong UU ITE ini agar tidak dipakai sebagai “alat penggemuk” bagi kepentingan kekuasaan. Bertameng “kehormatan”, dan “harga diri” yang tercemar (lucu rasanya).

Ketiga, pimpinan Polri mesti lebih jeli melihat dinamika penggunaan atas delik UU ITE ini. Penting ada arahan pimpinan Polri, agar penyidik tidak mudah menerima dan menetapkan tersangka dalam suatu kasus dengan sangkaan UU ITE.

Bila sedikit dikritik pemimpin keluar ego penguasanya, lalu main lapor polisi, tanpa memeriksa hakikat kritik tersebut secara jernih, maka bisa jadi akan penuh sel penjara dengan tersangka UU ITE!

Kemarin, saat sedang ngopi, seorang teman di samping saya berujar begini: “Ah, pemimpin, kalau sedikit dikritik lapor polisi, harap pengkritiknya dipenjara, dihukum berat, maka tak usah jadi pemimpin. Itu cemen namanya. Apalagi dana untuk bayar kuasa hukumnya pakai dana rakyat, uang APBD…malu boss!”

Saya tak merespon kalimat teman itu. Saya membalas dengan senyum saja. Sambil menyeruput sisa kopi Aceh Gayo di gelas saya.

Jakarta, 29 Desember 2020.

Penulis: Erwin Usman
Editor: H5P

Komentar