TEGAS.CO., NUSANTARA – Ketahanan pangan merupakan topik yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh banyak pihak, sebagai konsekuensi dari dampak penyebaran COVID-19 semakin meluas. Setelah bergulat dengan masalah kesehatan dan daya beli masyarakat, pasokan pangan menjadi isu sentral lainnya yang perlu penanganan sesegera mungkin.
Pangan harus menjadi perhatian karena urusan ini merupakan kebutuhan yang paling dasar selain sandang dan papan. Sebagaimana yang dilansir oleh organisasi dunia seperti Food and Agriculture Institute (IFPRI) dan United Nation (UN), Pandemi COVID-19 dapat memunculkan krisis pangan baru yang mempengaruhi ketahanan pangan suatu negara, terutama negara miskin dan berkembang.
Dalam kondisi pandemi COVID-19 saat ini, banyak daerah yang merasa khawatir atas ketersediaan pangan yang diakibatkan pembatasan jarak, namun hal ini justru berbanding terbalik dengan kondisi pangan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Daerah yang dipimpin oleh Kery Saiful Konggoasa dan Guslin Topan Sabara mampu mempertahankan produksi pangan, bahkan berdasarkan data yang ada, produksi pangan Konawe khususnya komoditas beras dan sayuran mengalami peningkatan.
Kepala Divre Bulog Konawe Yusran Yunun mengatakan, pada tahun 2020 serapan beras secara keseluruhan berasal dari petani Konawe, mencapai 10.715 ton angka ini merupakan tertinggi dalam 7 tahun terakhir. (zonasultra.com)
Kita karus akui bahwa kondisi ketahanan pangan sejak zaman sebelum pandemi sudah carut marut, meskipun negeri kita dikenal sebagai negara dengan 4 musim yang memiliki tanah yang subur, luas wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam, pada kenyataannya kita harus mengekspor dan impor bahan pangan dari luar negeri.
Adanya penghambat dalam terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan yakni, keberpihakan pemerintah dan anggaran.
Bagaimana mungkin ketahanan dan kedaulatan pangan tercipta apabila anggaran sektor pangan dari tahun ketahun terus dipangkas oleh penguasa kapitalis dan mengalami penurunan, sehingga membuat mahalnya sarana untuk produksi pangan seperti alsintan, benih, pupuk peptisida dan lainnya berakibat pada tingginya biaya produksi dan harga jual tidak bersaing.
Berlepas tangannya pemerintah pada aspek pendistribusian pangan. Hal ini akibat merajalelanya para mafia pangan mulai dari penimbunan, korporasi hingga kartel pangan.
Bahkan korporasi tak jarang ikut menentukan impor pangan. Semua ini akibat sistem kapitalislah yang membuat berbagai perosalan muncul mulai dari distribusi hulu ke hilir hingga permainan tengkulak. Sudah saatnya pemerintah mengakui kesalahan dan melakukan perubahan yang mendasar dalam membangun ketahanan dan kedaulatan pangan.
Belajar dari kegagalan sistem kapitalisme dalam mensejahterakan masyarakat, maka butuh sistem alternatif yang akan membawa perubahan mendasar yaitu sistem yang akan menyelamatkan manusia dan dunia dari berbagai malapetaka, serta membawa solusi yang akan menyejahterakan.
Satu-satunya harapan umat hanyalah kepada sistem Islam dan Khilafah. Inilah sistem yang dibangun di atas landasan wahyu Allah SWT dan dituntun oleh Rasulullah SAW serta dilanjutkan para Khalifah setelahnya.
Terkait tata kelola pangan, Khilafah dengan seluruh paradigma dan konsepnya adalah sistem yang memiliki ketahanan dan kedaulatan pangan yang kuat baik di masa normal maupun ketika menghadapi krisis. Apalagi dalam negeri kita telah dianugerahi Allah SWT berbagai potensi sumber daya pertanian baik lahan subur, sumber pangan, iklim yang mendukung, hingga SDM petani dan para ahli.
Semua potensi ini jika dikelola dalam Islam akan mampu membangun ketahanan dan kedaulatan pangan sehingga membawa kesejahteraan bagi rakyat serta akan mengeluarkan rakyat dari krisis dengan segera. Sebab, negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raain (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung).
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Jika penguasaan negara secara penuh terhadap produksi dan stok pangan, maka negara akan leluasa melakukan intervensi dalam keadaan apa pun. Seperti ketika dilakukan lockdown, pemenuhan pangan rakyat sangat mudah dilakukan karena ketersediaan pangan dijamin penuh oleh negara, Begitu pula penguasaan stok berdampak pada stabilitas harga di pasar.
Oleh karena itu Khilafah tidak dibolehkan memiliki ketergantungan pangan pada impor. Di samping itu ketahanan pangannya diarahkan pada 3 target yaitu 1) ketahanan pangan untuk konsumsi harian, 2) ketahanan pangan untuk kondisi krisis (termasuk bencana, wabah dan sebagainya), serta 3) ketahanan pangan untuk kebutuhan jihad.
Dengan inilah Khilafah akan serius memaksimalkan semua potensi pertanian yang dimiliki di dalam negeri untuk membangun ketahanan pangan tanpa tergantung pada negara asing.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb
Penulis: Febriani Safitri, S.T.P (Pemerhati Sosial)
Editor: H5P
Komentar