Masa Keemasan Islam dalam Mengatasi Banjir

Elis Sondari Zukhrufah (Ibu Rumah Tangga)
Elis Sondari Zukhrufah (Ibu Rumah Tangga)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Di Jawa Barat terjadi lagi banjir salah satunya Bandung, seperti dilansir dari media Merdeka.com yaitu setidaknya 7.364 rumah di Kabupaten Bandung terendam banjir. Banjir diakibatkan hujan deras yang terus mengguyur pada Kamis (24/12/2020) sore. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, Jumat (25/12/2020), pukul 09.00 Wib juga mencatat 11 sekolah, 42 tempat ibadah terendam banjir.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Petugas Pusdalops BPBD Kabupaten Bandung, jumlah bangunan yang terdampak tersebar di dua kecamatan, yakni Kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot. Genangan air yang merendam permukiman mereka berada di kisaran 10-120 centimeter. Sementara, di Kecamatan Baleendah banjir menggenang kelurahan Andir dan Kelurahan Baleendah. Terdapat 5.242 rumah, 8 sekolah dan 35 tempat ibadah yang terendam. Adapun, sebanyak 9 KK atau 37 jiwa terpaksa harus mengungsi.

Iklan Pemkot Baubau

Hingga hari ini, masalah banjir masih menjadi PR besar, tak hanya bagi pemerintah daerah tapi juga pemerintah pusat. Nyaris tiap memasuki musim penghujan, banjir dan longsor siap mengancam berbagai daerah di Indonesia. Penyebabnya pun sangat klise: curah hujan yang tinggi disertai rusaknya daya dukung ekologis di daerah-daerah dataran tinggi. Misal akibat wilayah hutan yang teralih fungsi.

Ironisnya, kejadian seperti ini terus berulang sepanjang tahun tanpa upaya serius untuk memperbaiki kesalahan mendasar menyangkut paradigma pembangunan yang dikaitkan dengan keseimbangan ekologi. Wajar jika intensitas bencana makin sering terjadi dan luasannya pun terus bertambah.

Semestinya, pemerintah di semua level lebih serius mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan tata ruang wilayahnya. Bahkan jika perlu merevisi perencanaan pembangunan yang terbukti telah mendegradasi lingkungan sebagai salah satu penyebab bencana banjir. Selama ini, rakyat yang cenderung disalahkan. Misal terkait budaya buruk membuang sampah atau ketika ada di antara mereka yang bandel mendirikan bangunan di bantaran sungai.

Namun jika mau jujur, penyebab utama bencana banjir adalah paradigma pembangunan yang tak akomodatif terhadap daya dukung lingkungan. Bahkan tampak kebijakan pembangunan berparadigma sekuler kapitalistik selama ini hanya mengindahkan kepentingan para pemilik modal yang hanya berorientasi keuntungan materi.

Itulah kenapa, meningkatnya kasus bencana banjir selalu sejalan dengan meningkatnya intensitas pembangunan multisektor di kawasan-kawasan dataran tinggi atau wilayah penyangga air. Seperti pembukaan lahan-lahan perkebunan, kawasan-kawasan wisata, kawasan perindustrian, wilayah-wilayah pemukiman, dan lain-lain. Untuk di perkotaan, banjir juga sejalan dengan alih fungsi lahan sawah yang banyak terjadi. Baik untuk proyek perumahan, maupun pengembangan kawasan bisnis milik para kapitalis. Maka tak heran, jika hari ini nyaris semua lahan di kota-kota tertutup semen dan aspal.

Berbeda halnya di dalam sistem Islam yakni untuk mengatasi banjir dan genangan, Khilafah Islamiyah tentu saja memiliki kebijakan canggih dan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pascabanjir. Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, maka Khilafah akan menempuh upaya-upaya yaitu membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi.

Di masa kekhilafahan Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak. Bendungan-bendungan itu terletak di sungai Tigris. Pada abad ke-13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa disaksikan.

Bendungan pengatur air (diversion dam) juga berhasil dibangun oleh sarjana-sarjana muslim. Bendungan ini difungsikan untuk mengatur atau mengalihkan aliran air. Bendungan pengatur air pertama kali dibangun di sungai Uzaym, di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan model ini dibangun di daerah-daerah lain di negeri Islam.

Pada 970 Masehi, orang-orang Yaman berhasil membangun bendungan Parada dekat Madrid, Spanyol. Hingga kini, bendungan-bendungan yang dibangun pada masa keemasan kekhilafahan Islam, masih bisa dijumpai di Kota Kordoba.

Di antara bendungan masyhur di Kordoba adalah bendungan Guadalquivir yang diarsiteki oleh al-Idrisi. Bendungan ini didesain sedemikian rupa hingga bisa difungsikan untuk alat penggilingan hingga sekarang.

Di daerah Spanyol, kaum Muslim juga berhasil membangun bendungan di sungai Turia, yang mana kehebatan konstruksinya mampu membuat bendungan ini bertahan hingga sekarang. Bendungan ini mampu memenuhi kebutuhan irigasi di Valencia, Spanyol tanpa memerlukan penambahan sistem.

Adapun daerah-daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan, namun karena sebab-sebab tertentu terjadi penurunan tanah sehingga terkena genangan atau banjir, maka Khilafah akan berusaha semaksimal mungkin menangani genangan itu. Jika tidak memungkinkan, Khilafah akan mengevakuasi penduduk di daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada mereka. Secara berkala, Khilafah mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan.

Tidak hanya itu saja, Khilafah juga akan melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau. Khilafah juga membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air. Itulah masa keemasan Islam dalam mengatasi banjir.
Wallahualam Bi Shawwab

Penulis: Elis Sondari Zukhrufah (Ibu Rumah Tangga)
Editor: H5P

Komentar