Ketika Anak Tak Lagi Berakhlak

Fitri Suryani, S. Pd. (Guru dan Penulis Asal Konawe, Sultra)
Fitri Suryani, S. Pd.
(Guru dan Penulis Asal Konawe, Sultra)

TEGAS.CO., NUSANNTARA – Saat ini kasus anak yang melaporkan orang tuanya ke polisi atau bahkan menjebloskannya ke dalam penjara seolah bukan hal yang asing didengar di tengah-tengah masyarakat. Perlakuan anak seperti itu pun seakan tak ada lagi rasa belas kasihnya kepada orang tuanya yang selama ini telah membesarkannya dengan penuh perjuangan.

Sebagaimana kasus yang belum lama terjadi seorang anak melaporkan ibu kandungnya ke polisi di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kini sang ibu yang berinisial S (36) mendekam dalam sel tahanan Polsek Demak Kota. Haryanto selaku kuasa hukum terlapor (S) mengungkapkan bahwa anaknya yang berinisial A (19) masuk ke rumah, terus nyari bajunya. Ibunya jengkel, bilang ke anaknya, suruh minta belikan ayahnya. Kemudian A tetap mencari bajunya. Hingga akhirnya sang ibu berkata bahwa baju-baju A telah dibuangnya.

Iklan Pemkot Baubau

Haryanto mengungkap, A sempat mendorong ibunya hingga jatuh. Menurutnya, saat sang ibu akan kembali berdiri reflek menyentuh anaknya. Haryanto pun mengungkapkan bahwa itu kena kukunya, tapi ibunya juga tidak merasakan kalau kena kukunya, sampai divisum itu muncul dua cm di pelipis anak. Berbekal hasil visum luka tersebut, lanjut Haryanto, S dilaporkan sang anak kepada polisi dengan dugaan penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga. S dijerat dengan Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT subsider Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan (Detik.com, 09/01/2021).

Tak jauh berbeda dengan kasus di atas M (40), warga asal Lombok Tengah, Nusa Tengara Barat (NTB) datang ke Mapolres Lombok Tengah hendak melaporkan ibu kandungnya K (60), ke polisi. Kepada polisi, M hendak melaporkan ibu kandungnya karena masalah motor. Namun, laporan M malah ditolak langsung oleh Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah AKP Priyo Suhartono. Priyo meminta permasalahan ini untuk diselesaikan secara kekeluargaan.

Diceritakan Priyo, perseteruan itu berawal dari harta warisan peninggalan ayah M yang dijual seharga Rp 200 juta. Setelah terjual, sang ibu mendapatkan bagian Rp 15 juta. Oleh ibunya, uang itu kemudian dipakai untuk membeli motor. Sambung Priyo, motor tersebut kemudian ditaruh di rumah keluarga, M yang tahu tidak terima dan dianggap menggelapkan (Tribunnews.com, 29/06/2020).

Fakta di atas baru secuil kasus yang terungkap media bagaimana seorang anak yang dengan tega melaporkan orang tuanya ke polisi bahkan hingga menjebloskan ke dalam tahanan hanya karena bermula dari masalah sepele. Seolah pengorbanan orang tua yang begitu banyak dalam hal ini ibu dengan mudahnya terlupakan seketika hanya karena sebuah persoalan yang remeh. Miris!

Tak bisa dipungkiri saat ini tidak sedikit kasus yang bahkan lebih parah dari persoalan menjebloskan orang tua ke penjara. Seperti kasus anak yang membunuh ayah atau ibunya pun ada. Sungguh tak lagi ada akhlak atau kasih sayangnya pada orang tuanya, apalagi ibu yang selama ini telah bersusah payah mengandung, menyusui, membesarkan dan mendidiknya hingga menjadi dewasa.

Tentu hal tersebut tak lepas dari sistem yang ada, di mana peran agama seolah tak lagi jadi pedoman manusia dalam berbuat. Tak sedikit juga interaksi dalam keluarga seakan hanya bernilai materi, sehingga hubungan ibu dan anak diukur dengan untung rugi. Kalau sudah seperti itu, apa yang akan diandalkan dari generasi yang akan datang, jika pola interaksi yang ada seperti demikian? Miris!

Selain itu, nilai kebebasan yang ada gagal menghadirkan penghormatan terhadap orang tua (ibu). Pun gagal menghasilkan ketenangan dan menghasilkan generasi durhaka. Bagaimana tidak, orang tua yang hendak mendidik anaknya dan memberi pelajaran seperti memberi hukuman ketika anak berbuat salah pun dapat dipidanakan. Karena hal itu bisa terkategori kekerasan terhadap anak. Sehingga orang tua sekalipun dapat dipidanakan. Sebab hal itu dianggap melanggar hak asasi.

Sementara itu dalam Islam, interaksi antara orang tua dan anak sejatinya dibangun atas landasan ketakwaan kepada Sang Pencipta. Karena orang tua dalam membersamai anaknya pada hakikatnya tanggungjawabnya bukan sekedar memberi pangan, sandang yang layak. Tapi lebih dari itu memberi pendidikan terbaik. Sehingga nantinya anak tidak hanya cerdas dari segi sains dan teknologi, namun juga memiliki akhlak yang mulia.

Hal itu tentu saja perlu dukungan banyak pihak. Selain dari lingkungan keluarga, tentu lingkungan masyarakat juga berperan dalam menciptakan kondisi anak agar senantiasa akruf liki kepribadian yang luhur. Hal itu tak lepas dari adanya budaya nahi mungkar yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tak kalah penting, yakni adanya peran negara yang turut menciptakan kondisi agar masyarakatnya senantiasa bertakwa. Ini penting, sebab negara memiliki kekuasaan dan kekuatan dalam membuat kebijakan ataupun peraturan yang dapat mengikat warga negaranya.

Oleh karena itu, tantangan terbesar orang tua saat ini ketika hendak memberi pelajaran bagi anak berupa hukuman sulit dilakukan, karena justru hal itu dapat mengantarkannya ke dalam tahanan. Karena itu, perlu adanya sinergi antara peran orang tua, masyarakat terlebih negara agar dapat menciptakan generasi yang memiliki budi pekerti yang luhur. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Penulis: Fitri Suryani, S. Pd.
(Guru dan Penulis Asal Konawe, Sultra)

Komentar