Muna Kembali Menggodok Perda Miras, Efektifkah ?

Desi Ratnasari, S.AP (Pemerhati Kebijakan Publik)
Desi Ratnasari, S.AP (Pemerhati Kebijakan Publik)

TEGAS.CO., MUNA – Tahun berganti tahun, hari berganti hari. Upaya penyempurnaan Raperda (Rancangan Pemerintah Daerah) Miras (Minuman Keras) tak kunjung surut.

Hingga tahun 2020 geliat untuk mengesahkannya menjadi Perda (Peraturan Daerah) nampaknya akan menemui titik terang. Pasalnya, setelah sebelumnya menuai perdebatan diantara stakeholder dan tokoh masyarakat lain kini dokumen Raperda Miras telah diserahkan ke Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk dikoreksi agar di akhir tahun 2020 bisa diparipurnakan menjadi perda Miras.

Iklan Pemkot Baubau

Hal ini semakin diperjelas oleh pernyataan dari anggota DPRD Kab. Muna La Ode Dyrun (15/12) “Kita sudah sampaikan ke asisten II Setda Muna agar mengawal Raperda Miras di Biro Hukum Pemprov Sultra. Sebelum akhir tahun 2020 sudah kita paripurnakan jadi Perda Miras,” katanya.

Penggodokan Perda Miras ini untuk mengatur tentang lokasi penjualan miras yang tidak membolehkan diperjualbelikan disekitar pasar, lokasi pendidikan, dan tempat-tempat ibadah. Serta adanya larangan penjualan miras pada anak usia dibawah 18 tahun.

Harapannya agar dapat melindungi anak-anak dan remaja dari dampak negatif mengonsumsi miras. Betapa tidak, miras memang menjadi salah satu pemicu terbesar timbulnya berbagai tindakan kriminal, misalnya pembunuhan dan penganiayaan. Sebagaimana berita yang dikabarkan pada November tahun lalu, seorang remaja 17 tahun menikam temannya hingga tewas setelah perayaan pesta miras.

Menakar Keefektivitasan Perda Miras

Penyusunan raperda agar menjadi perda bukanlah hal yang mudah, butuh banyak amunisi. Mulai dari waktu hingga budget yang digunakan tidak main-main. 1 perda saja bisa menghabiskan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Kabupaten Trenggalek menghabiskan 50 – 100 juta rupiah, Kota Batam sampai pada angka 300 juta rupiah per Perda. Kesiapan pembentukannya mulai dari perencanaan, kajian akademis, studi komparasi, uji publik hingga pada tahap penetapan memang memakan waktu yang tidak sebentar. Sehingga patut jika hasil yang diberikan memang selayaknya menjawab problematika yang ada.

Besar harapan agar Perda Miras mampu menjadi produk hukum yang nantinya mampu membangun kekondusifan kehidupan masyarakat. Kehidupan warga Kab. Muna yang memang sebagian besar sudah familier dengan produk Miras lokal nampaknya akan membuat perda ini jalan ditempat atau sulit untuk diimplementasikan.

Bagaimana tidak, secara substansi perda ini hanya memberikan bentuk pengawasan dalam pendistribusian Miras tanpa mengulik apa sebenarnya yang menjadi hulu permasalahannya. Masih terdapat pengecualian pada penetapan tempat peredaran, dan konsumen yang diizinkan untuk memiliki barang haram ini. Sehingga inilah yang kemudian akan menjadi celah untuk menimbulkan konflik yang tetap sama atau bisa jadi menimbulkan konflik baru.

Contohnya saja angka kriminalitas yang berhubungan dengan miras semakin subur bak jamur di musim hujan. Karo Penmas Div. Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono mengungkap beberapa kasus yang dilatar belakangi oleh miras sejak tahun 2018 sampai tahun 2020 adalah sejumlah 223 kasus. Di Kab. Muna, Salah satu tindakan kriminal yang sempat menyita perhatian adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hal ini dibenarkan oleh Eks Kapolres Muna, AKBP Agung Ramos P Sinaga yang mengatakan KDRT di Muna dipicu oleh minuman keras, mabuk dan pukul istri.

Berdasarkan fakta, para pelaku KDRT adalah mereka yang bukan lagi berada dimasa remaja atau dibawah 18 tahun. Seharusnya ini menjadi bahan pertimbangan dalam penggodokan Perda Miras, saat ini pelaku tindak kriminal tidak lagi memandang usia, apakah berusia remaja atau dewasa, belia ataupun lansia. Sehingga adanya pembatasan usia dinilai kurang efektif dalam upaya sterilisasi masyarakat dari bahaya miras. Ditambah lagi adanya keringanan perizinan untuk mengakses minuman ini ditempat-tempat tertentu. Semakin membangun rasa pesimis terhadap keberhasilan perda Miras.

Perda Miras buah Sistem pro Kapital

Adanya pengecualian yang diberikan oleh pemerintah terkait pengadaan miras menunjukkan bahwa pemerintah masih memfasilitasi keberadaannya. Tidak ada pelarangan secara tegas, padahal miras adalah sumber utama yang memicu terjadinya kriminalitas ditengah masyarakat. Nampak nyata bahwa penguasa dalam sistem kapitalisme demokrasi akan selalu mengutamakan keuntungan materi dalam setiap regulasi yang dibuat tanpa memikirkan halal atau haram. Selama ada permintaan pasar dan keuntungan Negara, miras akan tetap difasilitasi walaupun mendatangkan kerusakan ditengah-tengah masyarakat.

Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa minuman beralkohol menyumbangkan sekitar Rp7,3 Triliun pada penerimaan cukai Negara tahun 2019. Artinya, sistem Kapitalisme akan terus memberi karpet merah bagi berbagai bisnis haram termasuk miras. Hal ini juga semakin menunjukkan rusaknya sistem Demokrasi yang tak pernah menyisakan ruang agar keadilan dan kesejahteraan merata ke seluruh masyarakat.

Berbagai regulasi yang katanya pro rakyat, nyatanya disetir oleh korporat yang memiliki andil besar dalam kemenangan setiap penguasa menduduki kursi jabatannya. Sehingga merupakan suatu ilusi ketika rakyat berharap banyak pada sistem Demokrasi-Kapitalisme untuk memusnahkan segala bentuk keharaman dan kejahatan yang senantiasa mengintai hidup mereka.

Tak Cukup Hanya Perda, Butuh Solusi Tuntas

Patut diakui bahwa beragam kebijakan telah disolusikan untuk membuat kondisi negeri ini semakin kondusif. Mulai dari penggodokan Perpres hingga Perda. Tak ayal, biaya pun tak menjadi persoalan dominan asal berbagai produk hukum ini segera disahkan, meskipun hutang Indonesia semakin membengkak terlebih di musim pandemi saat ini. Namun, jika dilakukan kajian secara mendalam maka akan ditemukan bahwasanya hasil penerapan berbagai aturan tanpa adanya dukungan subsistem terkait maka bisa dipastikan aturan tersebut hanya sebagai hiasan semata. Menjadi pemanis bagi masyarakat yang merindukan kesejahteraan, dan menjadi celah peluang untuk mereka yang hanya berharap adanya pundi-pundi anggaran Perda.

Lain halnya dengan sistem Islam, pemimpinnya (Khalifah) akan berperan sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi rakyat dari segala mara bahaya. Rasulullah Muhammad saw. Bersabda: “Sesungguhnya al-imam (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang dibelakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll). Dalam membuat aturan, Khalifah berstandar pada halal haram sehingga meskipun aturan itu mendatangkan keuntungan bagi negara, namun diharamkan dalam timbangan syariat maka tidak akan dilegalkan.

Minuman keras atau minuman beralkohol dengan tegas diharamkan oleh Allah dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(TQS. Al-Maidah: ayat 90). Raulullah saw. Menjelaskan bahwa semua cairan atau minuman yang memabukkan adalah khamr, dan hukumnya adalah haram baik sedikit maupun banyak. Rasulullah saw. Bersabda: “Apa saja (cairan/minuman) yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya adalah haram.” (HR. Ahmad dan Ashhab as-Sunan). Khalifah akan memusnahkan segala jenis khamr tanpa harus menunggu persetujuan siapapun karena Rasulullah Saw. Melaknat 10 pihak terkait khamr yaitu pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penaungnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya, dan yang minta dibelikan.

Siapa saja yang terkategori dalam 10 pihak ini, maka akan dijatuhi sanksi sesuai ketentuan Syariat Islam. Hukum cambuk sebanyak 40-80 kali bagi mereka yang meminum khamar sedikit ataupun banyak. Senada dengan penuturan Ali bin Abu Thalib “Rasulullah saw. Pernah mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR. Muslim). Selain peminum khamr maka akan dijatuhi sanksi ta’zir yaitu hukuman yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada Khalifah atau Qadhi dan tentu saja sesuai timbangan syariat. Wallahu a’lam bishshowaab

Penulis: Desi Ratnasari, S.AP (Pemerhati Kebijakan Publik)
Editor: H5P

Komentar