TEGAS.CO., NUSANTARA – Setelah 8 tahun mengalami penundaan pengesahan sejak diusulkannya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual pada tahun 2012, kini kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. Setelah sebelumnya, juga pernah masuk dalam Prolegnas 2014-2019, namun tak disetujui oleh DPR .
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini menjelaskan RUU-PKS ini merupakan UU yang disusun berbasis dari pengalaman dan pendampingan korban kekerasan seksual. Ia berharap DPR menetapkan RUU-PKS sebagai RUU inisiatif seperti halnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (news.detik.com,16/1/2021).
Banyaknya aduan yang masuk dan tidak adanya payung hukum yang tepat untuk mengatasi kekerasan seksual menjadikan RUU P-KS sebagai senjata ampuh untuk mencegah berulangnya kembali tindak kekerasan seksual. Untuk itu, kalangan pegiat perempuan kembali mendesak pengesahan RUU P-KS. Menganggap bahwa kekerasan seksual hanya bisa terselesaikan dengan undang-undang tersebut.
Mencari Akar Masalah
Jika ditelisik, munculnya berbagai tindak kekerasan seksual pada perempuan dipengaruhi oleh sistem yang diterapkan saat ini. Dengan materi sebagai tujuan utamanya, menjadikan perempuan sering dieksploitasi dalam dunia kerja. Dengan gaji yang murah dan jabatan yang rendah, tenaga mereka dikuras. Kekerasan seksual pun kerap terjadi pada mereka, sebagaimana yang terjadi pada TKW dimana posisi mereka sebagai perempuan dan juga pekerja migran.
Selain itu, liberalisme yang lahir dari kapitalisme sekular memberikan ruang kebebasan pada industri pornografi. Konten pornografi dan pornoaksi semakin mudah diakses oleh bebagai kalangan. Hal ini membuat syahwat semakin liar. Tak jarang konten porno ikut mewarnai tontonan anak-anak. Jika tak ada pendampingan dan pengawasan dari orangtua, maka anak-anak pun akan terpapar pornografi.
Diumbarnya syahwat ini menjadi sumber masalah kekerasan seksual. Adanya rangsangan dari luar ini menuntut adanya pemenuhan. Dan jika tak bisa dipenuhi dengan cara yang halal (menikah), maka kerusakan moral akan terjadi. Zina dan pemerkosaan marak, yang akan mengakibatkan terjadinya tindak aborsi karena kehamilan yang tak diinginkan.
Terlebih dengan asas sekularismenya, yang menjauhkan agama dari kehidupan, sukses menjadikan manusia-manusia jauh dari nilai-nilai agama dan moral. Agama hanya hadir dalam ranah privat, dalam hal ini ibadah. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, agama dijauhkan. Agama tak boleh ikut campur dalam mengatur kehidupan.
Akibatnya, dalam berbuat tak lagi memandang halal dan haram. Baik buruk berdasarkan penilaian akal manusia yang bisa saja berbeda satu sama lain. Kemerosotan akidah pun terjadi. Tak ada lagi ketakwaan individu. Rasa takut kepada Allah Swt. tak ada dalam dirinya. Sehingga dengan mudahnya melakukan maksiat, salah satunya tindak kekerasan seksual ini.
Adapun RUU P-KS ini hanya berfokus bagaimana memberikan sanksi bagi para pelaku kekerasan seksual dan perlindungan bagi para korban. Namun, tak ada upaya tegas bagaimana untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kekerasan seksual pada perempuan. Sementara akar masalah munculnya kekerasan seksual ini tak diatasi.
Ibarat banjir melanda akibat bendungan jebol, yang dilakukan hanyalah membersihkan dan mengeluarkan air dari rumah, sementara sumber utama banjir yaitu bendungan yang jebol tak segera ditutup atau diganti dengan bangunan baru. Dengan demikian, RUU P-KS bukanlah solusi tepat mencegah tindak kekerasan seksual.
Islam Melindungi Perempuan
Jika dalam sistem kapitalisme, kekerasan seksual terhadap perempuan adalah hal yang lumrah. Kerap terjadi dan tak mendapatkan perhatian yang serius. Itu dikarenakan perempuan tak ditempatkan sebagai kehormatan yang harus dijaga dalam kehidupan kapitalistik. Namun, berbeda dalam Islam. Dimana Islam menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga. Perempuan harus dilindungi dan dijaga kehormatannya, termasuk didalamnya kekerasan seksual.
Untuk itu Islam mewajibkan laki-laki untuk mengorbankan hidup mereka demi membela kemuliaan perempuan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Perempuan adalah saudara kandung para lelaki. Tidaklah memuliakan perempuan kecuali orang mulia dan tidak menghinakan mereka kecuali orang hina”. (HR.Abu Dawud)
Untuk mewujudkan perlindungan dan kemuliaan terhadap perempuan dari kekerasan dan kejahatan seksual diperlukan sinergi tiga pilar, diantaranya:
Pertama, ketakwaan individu. Individu yang bertakwa yang dalam dirinya telah tertanam kuat keimanan dan ketaatan kepada Sang Pencipta, tidak akan melakukan hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Sehingga ia akan memiliki benteng pertahanan yang kuat.
Kedua, kontrol masyarakat. Masyarakat yang peduli, tidak akan diam ketika melihat kemaksiatan ditengah-tengah mereka. Individu masyarakat akan saling menyayangi, peduli satu sama lain dan saling menasihati dalam kebaikan untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Ketiga, negara. Dalam hal ini, sebagai pemilik wewenang penuh dalam penetapan aturan. Dengan penerapan aturan-aturan disertai dengan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu akan menutup pintu segala macam kemaksiatan. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).
Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir)kepada si pelaku, sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumul hisab nanti. Dengan adanya ketiga pilar ini, negara akan menempatkan perempuan dalam perlindungan dan kemuliaan. Dan ini hanya akan terwujud manakala kembali menjadikan hukum-hukum Allah sebagai pengatur dalam segala aspek kehidupan.
Wallahu a’lam
Penulis: Hamsina Halik, A. Md. (Pegiat Revowriter)
Editor: H5P
Komentar