Sejumlah Organisasi Berupaya Akhiri Mutilasi Kelamin Perempuan Tanzania

Praktik sunat pada perempuan, yang dikenal sebagai mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), terus berlangsung sebagai ritual masa peralihan kewanitaan di antara beberapa kelompok etnis di Tanzania. (Foto: AFP)
Praktik sunat pada perempuan, yang dikenal sebagai mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), terus berlangsung sebagai ritual masa peralihan kewanitaan di antara beberapa kelompok etnis di Tanzania. (Foto: AFP)

TEGAS.CO., INTERNASIONAL – Praktik sunat pada perempuan, yang dikenal sebagai mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), terus berlangsung sebagai ritual masa peralihan kewanitaan di antara beberapa kelompok etnis di Tanzania. Banyak gadis dipaksa pihak keluarga untuk disunat. Jika menghindar, ia akan dikucilkan kemudian menjadi luka yang berbekas seumur hidup.

Untuk menjembatani kesenjangan antara tradisi dan aspek kesehatan, organisasi nirlaba Amref, yang bergerak dalam bidang layanan kesehatan, mempromosikan alternatif.

Magreth Sendeu, usia 14 tahun, mengungkapkan salah satu kenangan terburuk hidupnya ketika ia berusia 11 tahun. Ia hampir mati kehabisan darah ketika menjadi korban mutilasi alat kelamin perempuan (FGM).

“Sembilan dari mereka dibawa ke tempat upacara di mana seorang perempuan tiba kemudian mulai melakukan mutilasi.”

Perempuan Maasai bernyanyi dan menari saat matahari terbenam di Mbirikani Manyatta di kaki Gn. Kilimanjaro, dekat perbatasan Kenya-Tanzania di Kimana, Kajiado, Kenya 14 Desember 2018. (Foto: REUTERS/Thomas Mukoya)
Perempuan Maasai bernyanyi dan menari saat matahari terbenam di Mbirikani Manyatta di kaki Gn. Kilimanjaro, dekat perbatasan Kenya-Tanzania di Kimana, Kajiado, Kenya 14 Desember 2018. (Foto: REUTERS/Thomas Mukoya)

Remaja itu berkata bahwa mereka banyak mengeluarkan darah. Beberapa gadis tersebut dibawa ke rumah sakit dan yang lainnya meninggal. Magreth lebih lanjut mengungkapkan.

“Saya tidak ingin menjalani prosedur itu. Saya tidak ingin menyaksikan gadis-gadis lain menjalani penyunatan tersebut,” katanya.

Lebih dari 25 persen anak perempuan dan gadis dewasa telah menjalani FGM di Tanzania.

Dalam masyarakat penggembala di pedesaan, banyak anak perempuan dipaksa menjalani FGM oleh orang tua mereka dengan harapan mendapatkan mas kawin yang lebih tinggi – anak perempuan yang belum menjalaninya diyakini sebagai wanita tidak berasusila.

Sementara perempuan lainnya terpaksa menjalani mutilasi alat kelamin tersebut demi tradisi, atau menanggung risiko dikucilkan.

“Jika seorang gadis menikah tanpa disunat, menurut tradisi Maasai, itu adalah dosa. Jika sang suami mengetahui gadis Maasai tersebut tidak disunat, ia akan menolaknya dengan alasan masih anak-anak dan belum menjadi seorang wanita dewasa,” kata Maria Kunde, ibu Magreth.

Untuk mengakhiri praktik kejam tersebut, lembaga nirlaba layanan kesehatan Amref memperkenalkan alternatif, dengan ritual tradisional yang aman untuk upacara yang menandai sekaligus mengawali remaja menjadi seorang perempuan dewasa.

Kelompok itu menyatakan lebih dari 15 ribu anak perempuan telah menghindari praktik mutilasi alat kelamin tersebut.

“Dalam usia peralihan, kita mengikuti semua tradisi mereka. Tetapi kami menambahkan satu segmen yaitu mengajarkan anak-anak perempuan itu tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak gender. Kita merayakan bersama ritual upacara tersebut namun tanpa sunat. Kami berencana menghapus itu sepenuhnya,” kata Manajer proyek Amref untuk Afrika, Aisha Byanaku.

Tradisi ritual itu juga merupakan usaha mencari nafkah bagi mereka yang melakukan penyunatan, yang mendapat upah dalam bentuk uang dan hadiah. Amref kini memberi mereka bantuan dalam bentuk pinjaman. Di antara mereka adalah Martha Tumbo.

“Ketika menyunat seorang gadis, saya mendapat seekor kambing yang setara dengan 50 ribu shilling ($21). Tapi sekarang, saya tidak harus melakukan itu,” katanya.

Meskipun ilegal di Tanzania, praktik itu dilakukan secara diam-diam dalam beberapa kelompok masyarakat.

“Masalahnya mulai berkurang tapi statistik saat ini menunjukkan beberapa kelompok masyarakat, terutama komunitas peternak sapi, menyadari bahwa pemerintah sangat gencar melakukan upaya memerangi praktik mutilasi alat kelamin tersebut,” kata Faraja Kampambe, seorang petugas kesejahteraan sosial.

Kampambe menambahkan di beberapa wilayah, ketika seorang anak perempuan lahir, bayi itu langsung disunat.

Sementara itu, Magreth merayakan dalam upacara yang sama, ritual yang membawanya pada mutilasi alat kelamin tiga tahun lalu. Namun, ia kini tersenyum karena lebih dari 450 gadis seusianya menandai diri mereka sebagai perempuan dewasa tanpa menjalani praktik tradisional yang kejam tersebut.

 

Sumber: www.voaindonesia.com

Publisher: B_Kan

Komentar