TEGAS.CO., INDONESIA – Tak terasa sudah hampir satu tahun para karyawan, terutama di sektor non-esensial, harus bekerja dari rumah(‘work from home) di tengah pandemi Covid-19. Pola hidup mereka pun berubah. Sejumlah diaspora Indonesia berbagi apa yang akan mereka lakukan jika pandemi berakhir dan harus kembali ke kantor.
Survei menunjukkan bahwa angkatan kerja yang selama ini diwajibkan untuk ‘work from home’ sebenarnya ingin kembali bekerja dari kantor mereka. Banyak alasannya. Mulai dari kerinduan makan siang bersama rekan sekantor, hingga keadaan di rumah yang membosankan dan justru menambah stres.
Namun, satu hal yang pasti, semua itu erat hubungannya dengan keinginan mereka untuk kembali berinteraksi sosial secara langsung dengan sesama pekerja. Hal itu tidak bisa didapatkan apabila mereka bekerja dari rumah, dengan mengandalkan teknologi berkomunikasi.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Jones Lang LaSalle terhadap lebih dari 2.000 pekerja kantoran di sepuluh negara, mendapati sebagian besar karywan ingin kembali bekerja dari kantor. Perusahaan pelayanan real estate komersil berbasis di Chicago yang lebih dikenal dengan julukan JLL ini menunjukkan bahwa tiga dari empat orang yang disurvei ingin kembali ke tempat kerja mereka setelah pandemi berakhir.
Banyak di antara mereka yang dapat beradaptasi dan mempertahankan produktivitas mereka saat bekerja dari rumah dalam beberapa bulan pertama pandemi. Namun, setelah mendekati satu tahun, perasaan terisolasi dan beban stress mental bekerja dari rumah mulai mereka rasakan.
Demikian pula dengan survei yang dilakukan terhadap 1.000 orang dalam berbagai situasi kerja oleh Wakefield Research yang bermitra dengan Envoy, sebuah perusahaan ‘technology support’ untuk mendukung platform keamanan tempat kerja guna menjamin kesehatan dan produktifitas pegawai. Menurut survei tersebut, sebanyak 94 persen dari responden menunjukkan bahwa mereka ingin berada di lingkungan kerja kantoran setidaknya satu hari seminggu, setelah berbagai pembatasan sosial diangkat.
Namun dari sejumlah diaspora Indonesia pekerja kantoran yang ditemui VOA justru mengatakan sebailknya,
Indra Susatijo adalah seorang karyawan perusahaan teknologi keamanan siber yang berbasis di Washington D.C. Sebelum pandemi virus corona melanda, ia bekerja dari rumah dua kali seminggu karena kantornya yang berprinsip “remote friendly” telah lama menjalankan sistim ‘work from home’ bagi para pegawainya.
Banyak rekan kerja Indra yang berada di luar kota bahkan di luar negeri. Ia sendiri harus menempuh perjalanan yang cukup lama menggunakan kendaraan umum dari rumah ke kantor.
Jadi saat nanti harus kembali masuk kantor, bagaimana sanitasi selama menggunakan kendaraan umum itu lah yang paling ia khawatirkan.
“Saya naik bus biasanya kan dua jam ke kantor, dua jam pulang. Di bus juga bagimana situasinya, apa ada social distancing di situ, apa setiap kursi terisi. Itu kan bahaya, gitu kan,” ujarnya.
Kini Indra sudah hampir satu tahun bekerja dari rumah secara penuh selama pandemi. Menurutnya, produktivitas kerjanya justru meningkat karenawaktu yang biasanya habis dalam perjalanan, kini bisa digunakan untuk menambah jam kerja di rumah dan sisa waktunya dapat ia habiskan bersama keluarga. Baginya hal itu menciptakan kondisi ‘work-life balance’ yang baik. Oleh karena itu, Indra merasa tidak perlu untuk kembali bekerja dari kantor dalam waktu dekat.
“Saya rasa, saya akan tetap bersikeras untuk bekerja dari rumah. Kan ujung-ujungnya untuk produktivitas dan benefit kantor, benefit saya sendiri, tapi kalau diharuskan, ya kita lihat saja. Kemungkinan sudah mulai harus lihat-lihat kiri kanan tuh kalau begitu,” imbuhnya.
Lain halnya dengan Adhiyanti Firmawan di Jakarta, kantor event-organizer tempat ia bekerja hanya menjalankan ‘work from home’ pada awal masa pandemi saat Jakarta pertama kali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berlangsung hingga Idulfitri tahun lalu. Bekerja di rumah tidak lazim dilakukan di kantornya.
Menurutnya, meski tidak ada perubahan produktivitas secara signifikan, sebelum terjadi pandemi kantor Adhiyanti hanya menawarkan tiga pilihan: bekerja di kantor, bekerja di lokasi acara atau cuti sekalian.
Sejak pertengahan tahun lalu Adhiyanti harus masuk kantor dan hal ini membuatnya tidak nyaman. Menurutnya, walau pihak kantor berusaha menjalankan protokol kesehatan seperti mewajibkan masker, jaga jarak dan menyediakan penyanitasi tangan di setiap ruangan, ia tetap khawatir berada di dalam ruangan tertutup dan berpendingin udara selama 9 jam tiap harinya.
Perjalanan ke kantorpun membuat Adhiyanti merasa bagaikan berangkat menuju medan perang. Ia sangat khawatir terpapar virus corona saat menggunakan kendaraan umum bersama banyak orang, terutama karena dalam rumah tangga keluarganya terdapat lansia dan anak kecil.
Sementara bagi Sonny Rafiq, pegawai salah satu perusahaan telekomunikasi seluler terbesar di Amerika, bekerja dari rumah lebih menguntungkan baginya daripada bekerja dari kantor. Sejak awal pandemi tahun lalu, kantornya sudah menjalankan ‘work from home’ selama 10 bulan.
Menurut Sonny, selama ia bekerja dari rumah ia dapat banyak berhemat, mulai dari pengeluaran untuk bensin, makan siang, sampai dengan waktu yang ditempuh dalam perjalanan ke kantor. Ia juga merasa bisa lebih fokus terhadap pekerjaan tanpa gangguan perhatian di kantor, dan lebih banyak waktu bersama keluarga.
Sonny menyatakan kepada VOA bahwa ia belum siap untuk kembali ke kantor.
“Untuk saat ini mungkin kalau harus balik lagi ke kantor, masih ada rasa khawatir. Terus terang saja, karena mengingat situasinya yang masih belum memungkinkan untuk balik ke kantor. Kalau kita lihat statistiknya mungkin masih tinggi dan penyebaran masih bertambah,” ujarnya.
Kekhawatiran yang sama dirasakan oleh Ade Hutapea, pegawai kantor non-profit bidang kesehatan masyarakat di Washington, D.C. yang sudah menjalankan ‘work from home’ selama hampir satu tahun. Dengan angka kasus Covid-19 yang terus merangkak naik, ibu dua anak usia sekolah dasar ini sangat merasa tidak nyaman berada di tengah keramaian seperti perkantoran, transportasi umum, bahkan sekolah dan tempat penitipan anak sekalipun.
“Kayaknya sih cemas ya, ada itu pasti. Terus mungkin bukan nggak siap, cuma nggak rela kali ya. Terus jadi banyak pemikiran kayak nanti di kantor aman gak ya? Terus di jalan ke kantor gimana ya, apa aku akan nyetir atau naik metro.Lalu di metro aman gak ya. Untuk anak-anak juga di sekolah atau di daycare mereka, apakah akan aman?” katanya.
Meski survei menunjukkan bahwa para pegawai ingin kembali ke kantor, tampaknya mereka masih belum siap melakukannya dalam waktu dekat ini, dengan berbagai pertimbangan pribadi yang berorientasi kepada keluarga. Bagi mereka yang kini sudah terbiasa bekerja dari rumah dengan tetap mempertahankan atau meningkatkan, kembali ke kantor secara penuh merupakan pilihan terakhir.
Sumber: www.voaindonesia.com
Publisher: B_Kan
Komentar