TEGAS.CO., NUSANTARA – Akhirnya tanah Borneo kedatangan lagi investor asing yang menanamkan investasinya di Kalimantan Timur, tepatnya di kawasan Karst, Kabupaten Kutai Timur. Perusahaan ini adalah PT. Kobexindo Cement (PT KC) yang mengandeng perusahaan asal China yaitu Hongshi Holding.
Dalam rencana investasi yang dipresentasikan di depan Gubernur, PT Kobexindo dan Hongshi Group disebut menyiapkan modal Rp 14 triliun. Perusahaan mengklaim bisa menyerap 1.000 tenaga kerja dengan produksi semen 8 juta ton per tahun.
Izin PT KC berada di perbatasan dua desa dan dua kecamatan di Kutim. Di sebelah selatan rencana lokasi pabrik adalah Desa Sekerat, Kecamatan Bengalon. Sementara di utara adalah Desa Selangkau, Kecamatan Kaliorang. Tambang batu gamping dan pabrik semen PT Kobexindo, mengambil lahan seluas 822 hektare di kawasan Karst. (https://kaltimkece.id/pariwara/pariwara-kutai-timur/sinyalemen-pabrik-semen-segera-dibangun).
Persiapan pembangunan pabrik semen di Desa Sekerat dan Desa Selangkau, Kabupaten Kutai Timur, oleh PT KC, mulai dilakukan. Selain tengah dilakukan pematangan lahan, PT KC dikabarkan telah memperkerjakan 24 orang tenaga kerja asing (TKA) asal China. Hal tersebut terungkap pada rapat dengar pendapat (RDP) antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) dengan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kamis (21/1/2021). (https://selasar.co/read/2021/01/21/4097/bangun-pabrik-semen-kutim-mulai-kedatangan-tka-asal-china)
Kontroversi Eksploitasi Kawasan Karst
Mengacu pada Permen ESDM No 17/2012, yang disebut karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan/atau dolomit. Sedang KBAK (kawasan bentang alam karst) adalah karst yang menunjukkan bentuk eksokarst dan endokarst tertentu. Ia merupakan kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung nasional.
Total luas bentang Karst mencapai 1,8 juta hektar. Terbentang dari timur di semenanjung Mangkalihat, Kabupaten Berau sejauh 200 km hingga ke Sangkulirang, Kutai Timur di barat. Kawasan ekosistem karst menyebar di enam kecamatan di Berau seluas 776.000 ha dan di tujuh kecamatan di Kutai Timur seluas 1,1 juta ha.
Tim ahli dari Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM merekomendasikan hanya 1.435 ha di kawasan eksositem karst Sangkulirang Mangkalihat yang boleh dimanfaatkan untuk industri semen. Menurut Eko Haryono, sebagai ketua tim ahli, tidak semua batuan gamping di ekosistem karst Sangkulirang Mangkalihat itu berupa karst.
Dari kajian berhasil diidentifikasi luas kawasan karst mencapai 403.151 ha. Angka ini jauh lebih besar dari yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung menurut Pergub No 67/2012 sebesar 307.377 ha. (https://kaltim.tribunnews.com/2019/05/04/6-fakta-rencana-pabrik-semen-di-kaltim-potensi-karts-cukup-untuk-100-tahun-hingga-alasan-penolakan)
Pembangunan pabrik semen yang dilakukan PT KC itu terletak di kawasan Karst telah memicu kontroversi antara pihak yang setuju dan pihak yang menolak. Berbagai eksploitasi di kawasan Karst ini sudah pernah ditolak oleh berbagai elemen masyarakat sejak tahun 2016 dengan alasan merusak ekosistem Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang membentang dari Kabupaten Kutai Timur hingga Kabupaten Berau.
Kemudian penolakan itu juga dilakukan kembali oleh aktivis dan mahasiswa pada tahun 2018-2019. Tetapi tetap saja dilakukan berbagai eksploitasi SDA mulai dari kayu, Batubara, batu gamping dan lainnya hingga hari ini.
Menanggapi penolakan tersebut, pemerintah tetap tak bergeming. Bahkan tentang pembangunan pabrik semen oleh PT KC, Pemerintah beralasan bahwa pembangunan pabrik semen tersebut di luar kawasan Karst yang dilindungi, sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur Kaltim, Isran Nur. (https://kaltim.tribunnews.com/2019/03/25/mahasiswa-tolak-pabrik-semen-di-kutim-dan-berau-ini-tanggapan-gubernur-kaltim?page=all)
Bahaya Keserakahan Kapitalisme Mengeksploitasi SDA
Sudah tentu kontroversi eksploitasi sumber daya alam (SDA), termasuk di kawasan Karst menjadi persoalan ke sekian kalinya di Kalimantan Timur. Dikarenakan provinsi ini terkenal kaya-raya dengan berbagai SDA, mulai dari hutan, migas, Batubara, keindahan alam, dan lain sebagainya. Tentunya, inilah nilai jual strategis provinsi Kaltim dalam menyumbang pendapatan dan pertumbuhan ekonomi bagi negara.
Namun, dari berbagai eksploitasi SDA besar-besaran tentu memiliki dampak yang besar bagi lingkungan dan rakyat khususnya di Kaltim. Pertama, masalah besar akibat eksploitasi SDA adalah efek kerusakan lingkungan yang akan masyarakat rasakan, semisal banjir, kekeringan sumber air, hilangnya ikan di laut, rusaknya ekosistem, dan lainnya.
“Untuk itu pengelolaan kawasan Karst perlu kehati-hatian, karena karst suatu ekosistem, penghasil air. Kawasan Karst menangkap karbon dua kali lipat dari hutan, baik karbon di tanah maupun di udara. Perusakan karst, akan terjadi pelepasan CO dan CO2. kawasan Karst di Kaltim, sangat unik di dunia.
Bila kawasan ini hancur, akan terjadi perubahan iklim di Kaltim. Akan terjadi musim kering panjang, hingga mempengaruhi kehidupan. Karst merupakan kawasan yang mampu menampung air,” kata Pindi Setiawan, Peneliti Kars dari Institut Teknologi Bandung (ITB). (https://mongabay.co.id/2013/04/26/karst-kaltim-terancam-pembangunan-pabrik-semen/amp)
Kedua, pelaku eksploitasi SDA hanya ingin untung besar tak peduli kerusakan lingkungan yang merugikan rakyat. Adapun pihak yang selama ini melakukan eksploitasi besar-besaran dari SDA adalah didominasi para pemilik modal besar alias investor baik swasta termasuk asing.
Sehingga yang meraup untung besar adalah swasta dan asing. Mereka tak peduli dengan dampak kerusakan lingkungan yang ada. Sedangkan rakyat hanya merasakan ‘tetesan’ atau ‘remah’ dari SDA tersebut, yang kembali pada mereka dalam bentuk lapangan kerja dan pembangunan berbagai fasilitas umum dan infrastruktur. Hal ini tentu tidak adil dan hanya merugikan bagi rakyat.
Ketiga, asinglah yang saat ini menguasai SDA srategis. Dan ketika pabrik semen berdiri dengan investasi asing, tentu makin memuluskan jalan asing menguasai wilayah Kalimantan Timur. Ketersediaan karst (batuan kapur/gamping) yang besar di Kalimantan Timur (Kaltim) sangat menggiurkan bagi para investor. Sedikitnya, ada sekitar 13 perusahaan semen saat ini siap antre mendirikan pabrik di daerah ini. Keberadaan batu gamping ini pun terancam.
Keempat, negara kehilangan kemandirian dan berdaulat dalam pengelolaan SDA. Inilah yang disebut dengan penjajahan melalui investasi asing. Bahaya investasi asing ini juga akan menimbulkan dampak yang berkepanjangan. Negara dalam hal ini akan kehilangan kesempatan untuk mengelola secara mandiri sumber daya alam dan energi yang hasilnya sangat besar manfaatnya untuk kepentingan rakyat.
Patut disadari, penjajahan dalam bentuk penguasaan SDA sudah dilakukan sejak lama di negeri ini, seperti yang dilakukan AS dengan PT Freeport-nya di Papua. Mereka menambang emas sejak tahun 1967 hingga hari ini dengan hasil jutaan ton emas yang diangkut ke negaranya, sedangkan negara ini hanya gigit jari.
Investor asing seharusnya tidak diperbolehkan melakukan investasi dalam bidang yang strategis atau sangat vital. Mengapa demikian? Sebab jika pihak asing melakukan investasi terhadap bidang-bidang yang strategis dan vital, maka bisa dipastikan bahwa investor asing tersebut akan dengan seenaknya melakukan praktik bisnis yang merugikan rakyat dan negara.
Jelaslah, bahwa eksploitasi SDA yang selama ini didominasi oleh asing menjadi penyebab berbagai masalah bagi negeri ini. Menguasai SDA negeri orang lain adalah bentuk keserakahan sistem kapitalisme. Dan tidak mungkin asing menguasai SDA tanpa dilegislasi oleh aturan yang diproduksi oleh sistem demokrasi. Inilah bentuk sekularisme yang nyata yang diterapkan di negeri ini yang mengakibatkan berbagai penderitaan bagi rakyat.
Solusi Pengelolaan SDA yang Berpihak pada Rakyat
Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan SDA.
Menurut aturan Islam, kekayaan alam (SDA) adalah bagian dari kepemilikan umum, milik rakyat. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Diantara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah SAW: “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang.
Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.
Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau.
Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”
Menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas. Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah.
Dengan demikian, untuk mengakhiri penjajahan SDA sebagaimana yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan SDA didasarkan pada aturan-aturan sekuler kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya.
Terbukti, di tengah berlimpahnya sumber daya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.
Alhasil, bersegeralah menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara.
Pasalnya, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumberdaya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini. WalLâhu a’lam.
Penulis: Siti Nur Ainun Ajijah (Pemerhati Masalah Umat
Editor: H5P
Komentar