Meneropong Politik Indonesia di Masa Depan

Ahmad Fathul Bari
Ahmad Fathul Bari selaku Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera.

TEGAS.CO., NUSANTARA – Pergolakan politik beberapa waktu terakhir sangat menarik untuk disimak. Mulai dari pengesahan UU Cipta Kerja, masuknya figur seperti Sandiaga Uno dan Tri Rismaharini ke kabinet hingga polemik kudeta Partai Demokrat. Terlebih, isu-isu ini muncul di saat Indonesia sedang menghadapi pandemi. Lalu, berdasarkan perkembangan tersebut, bagaimana politik Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Dalam rangka menyambut hari lahir yang pertama, Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan mengadakan webinar yang berjudul “Meneropong Politik Indonesia di Masa Depan”.

Webinar ini menghadirkan pembicara ahli seperti Djayadi Hanan, Ph.D, Direktur Eksekutif LSI. Lalu, ada Efriza, M.Si, Direktur Eksekutif PSKP. Hadir pula Ahmad Fathul Bari, Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera. Ada Muhammad Prakoso Aji, S.Sos., M.I.P, Ketua Program studi Ilmu Politik UPNVJ, dan terakhir ada tokoh muda, Wildanshah.

Iklan KPU Sultra

Ahmad Fathul Bari memberikan pandangannya soal politik. Menurutnya, ada dua game changer di politik Indonesia masa ini. “Kondisi politik masa pandemi akan dipengaruhi oleh pandemi dan demokrasi,” jelasnya.

Sementara, Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan mengatakan bahwa situasi demokrasi Indonesia masih relatif stabil jika dibandingkan Myanmar.

“Jika dikaitkan di Myanmar demokrasi kita dapat bertahan lebih lama dibandingkan di Myanmar. Misal, membuat Pilkada menjadi tidak langsung kembali, tidak berakhir karena ada penolakan dari masyarakat.” Jelasnya

Akan tetapi, ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian karena akan memengaruhi stabilitas politik. “Ada situasi keterpurukan ekonomi yang menurut saya masuk akal. Kalau situasi ini terus berlanjut, akan mengalami masalah di bidang politik,” tuturnya.

Efriza, M Si,  Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP).
Efriza, M Si, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP).

Meski begitu, approval rating pemerintahan Presiden Jokowi masih relatif baik. “Pemerintah dalam hal ini Presiden, mengalami approval rating yang lumayan baik meskipun tidak begitu tinggi, rata-rata antara 60-70 persen, tidak pernah bisa sampai 80 persen” jelasnya.

Angka ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kinerjanya relatif terus positif tetapi ada persoalan seperti dilihat dari angka real penanganan COVID-19. Direktur Eksekutif LSI ini menuturkan penyebabnya. “Masih ada polarisasi yang masih sangat tajam akibat Pemilu di Jakarta tahun 2017 dan Pemilu Serentak 2019 lalu.” Dia juga menjelaskan bahwa ada beberapa permasalahan di politik Indonesia. Masalah tersebut seperti stabilitas politik di tingkat elit dan lemahnya oposisi dan tetapi ada satu masalah lagi yang dihadapi, yakni masalah polarisasi.

Selain masalah di atas, ada beberapa masalah dalam demokrasi kita sehingga tidak hanya prosedural, namun juga substantif. “Memperbaiki demokrasi tidak sekadar hadir secara prosedural tapi juga dirasakan hasilnya secara substantif,” jelasnya.

Selain demokrasi, ada masalah juga yang terkait dengan tantangan saat ini, yaitu data. Hal ini diungkapkan oleh Kaprodi Ilmu Politik UPNVJ, Muhammad Prakoso Aji. “Penggunaan data harus ditingkatkan karena ini adalah salah satu solusi kalau bicara 10 tahun ke depan. Data menjadi acuan utama dalam sistem politik dan penyelenggaraan pemerintahan,” tuturnya. Di sisi lain, menurut Komisaris organisasi Warga Muda, Wildanshah, pemuda juga lebih sering ada di pinggiran politik. “Anak muda selalu ada di pinggiran politik formal,” tutur Wildan.

Redaksi

Komentar