Perludem: Masyarakat Pro-Demokrasi Harus Protes Kudeta Militer di Myanmar

Sejumlah pengunjuk rasa melepaskan burung-burung merpati dalam demo memprotes kudeta militer di Myanmar, di luar Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, Jumat, 5 Februari 2021. (Foto: Dasril Roszandi/AFP)
Sejumlah pengunjuk rasa melepaskan burung-burung merpati dalam demo memprotes kudeta militer di Myanmar, di luar Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, Jumat, 5 Februari 2021. (Foto: Dasril Roszandi/AFP)

TEGAS.CO., INTERNASIONAL -Perkumpulan Untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) mendorong masyarakat sipil pro-demokrasi di Indonesia agar bersuara memprotes kudeta militer di Myanmar.

Pembina Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta semua orang yang mendukung demokrasi untuk tidak sekadar mengutuk tindakan junta militer Myanmar yang mengambil alih kekuasaan sipil hasil pemilihan umum November tahun lalu.

Iklan KPU Sultra

“Tantangan besar dari solidaritas kita salah satunya soal komitmen untuk konsisten. Karena apa yang terjadi di sana tidak akan selesai dengan pernyataan-pernyataan dan kecenderungannya pernyataan itu mudah menguap. Tetapi bagaimana membangun koherensi dan konektivitas dengan gerakan yang lebih besar yang lebih punya kemampuan untuk menekan,” kata Titi dalam diskusi pada Sabtu (6/2).

Titi menambahkan Indonesia memiliki komitmen moral untuk menjaga dan membela demokrasi di Myanmar. Sebab masyarakat sipil dan penyelenggara pemilihan umum di Myanmar berkiblat pada Indonesia dalam soal demokratisasi.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. (Foto: Titi A)
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. (Foto: Titi A)

Titi menjelaskan meski Myanmar sedang menapaki demokrasi, namun terjadi kemandekan dan bahkan penurunan kualitas demokrasi. Tidak terjadinya reformasi di tubuh militer membuat demokrasi jalan di tempat. Kondisi makin tidak kondusif ketika rekonsiliasi, dialog, komunikasi, antarkelompok tidak berjalan baik.

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan dalam sebuah negara demokrasi tidak boleh ada lembaga super seperti militer di Myanmar.

Ketika Myanmar menggelar pemilihan umum pada 2015, di mana partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi menang telak, penyelenggara pemilihan umum dan pihak keamanan mengakui Myanmar sedang mengikuti jejak Indonesia, yakni melakukan demokratisasi.

Menurut Kaka, demokratisasi merupakan kompromi antara junta militer dengan masyarakat sipil dengan harapan situasi di Myanmar akan lebih baik. Sebab setelah krisis ekonomi global pada 2008, keadaan ekonomi Myanmar tidak begitu baik, selain pihak junta juga mendapat tekanan internasional.

“Apa yang terjadi kemudian ada dua hal. Pertama, di masyarakat nasional kecewa sal ekonomi yang tidak juga beranjak naik setelah demokratisasi juga masalah,” kata Kaka

Selain itu, lanjut Kaka, masyarakat internasional juga kecewa dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi terhadap etnis minoritas muslim Rohingya. Masih banyaknya milisi-milisi berdasarkan etnis di Myanmar juga menimbulkan masalah.

Tahan Diri

Kementerian Luar Negeri mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan pendekatan dialog untuk mencari mencari jalan keluar dari berbagai tantangan serta permasalahan yang ada sehingga situasi tidak semakin memburuk.

Seorang pengendara motor melintas di depan Kedutaan Besara Myanmar di Jakarta, 1 Februari 2021. (Foto: Adek Berry/AFP)
Seorang pengendara motor melintas di depan Kedutaan Besara Myanmar di Jakarta, 1 Februari 2021. (Foto: Adek Berry/AFP)

Indonesia juga mengimbau penggunaan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN, di antaranya komitmen pada hukum, kepemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional.

Indonesia juga menggarisbawahi bahwa perselisihan-perselisihan terkait hasil pemilihan umum kiranya dapat diselesaikan dengan mekanisme hukum yang tersedia.

Junta militer resmi berkuasa di Myanmar setelah angkatan bersenjata Myanmar (Tatmadaw) menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dalam kudeta yang berlangsung Senin lalu (1/2).

Tatmadaw juga menahan sejumlah pejabat pemerintahan sipil lain seperti Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah tokoh senior partai berkuasa, Liga Nasional untuk Demokras (NLD). Masyarakat internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB, telah menyampaikan kecaman terhadap kudeta militer itu.

Sumber: www.voaindonesia.com

Publisher: B_Kan

Komentar