Menyoal Ketentuan Berjilbab Bagi Siswa

M Zainal Arifin Ryha

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Beberapa hari lalu, saya mendapat pesan kawan-kawan di dua grup whatsap berbeda. Isinya meminta saya memberi sedikit catatan terhadàp konten video Harsubeno Arief (HA) dengan titel: “MAKIN ANEH! MENDADAK SYARIAH TAPI JILBAB DILARANG DI SEKOLAH,” yang cukup ramai di posting di medsos beberapa hari terakhir sebagai respon terhadap terbitnya SKB 3 Menteri terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah negeri jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Sebelum terbitnya SKB 3 Menteri di atas, jagad lini maya sudah lebih dahulu diramaikan oleh polemik pro-kontra soal aturan yang mewajibkan pemakaian jilbab bagi siswa di Padang.

Dalam perspektif saya yang dangkal, konten video HA tersebut, tidak hanya salah paham sebagaimana tanggapan beberapa kawan, tapi juga tendensius dan provokatif karena terkesan ingin membenturkan Islam dengan negara.

Tidak ada poin dalam SKB 3 Menteri itu yang melarang siswa berjilbab. Inti dari SKB itu adalah melarang pihak sekolah untuk membuat ketentuan yang mewajibkan siswa untuk berjilbab atau sebaliknya, melarang penggunaan jilbab bagi siswa.

Jadi aneh saja kalau tiba-tiba muncul tuduhan bahwa negara sepertinya alergi dengan simbol-simbol keislaman karena membatasi warganya untuk berjilbab. Di kalangan ASN, TNI-Polri, bahkan di kalangan atlet kita yang berlaga di Asian Games lalu, banyak dari mereka yang berjilbab, termasuk atlet bola voli yang selama ini identik dengan pakaian minim. Sama sekali tidak ada ketentuan yang melarang mereka untuk berjilbab, apalagi bagi para siswa.

Terhadap kewajiban bagi setiap muslim untuk menjalankan syariat Islam yang jadi argumen sebagian orang untuk mendukung aturan atau perda-perda syariat seperti yang berlaku di Padang dengan dalih sebagai bentuk pengamalan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 45, saya ingin memberi catatan:

Pertama, apa yang disebut syariat Islam?  Mana yang termasuk syariat dan bukan syariat, tidak semua ulama satu pandangan. Jadi pengertiannya bersifat multi tafsir dan sangat personal. Sekarang saja, setelah adanya gerakan-gerakan islamisme seperti Wahabi, HTI, dll, tiba-tiba saja pengertian dan lingkup syariat itu diseragamkan (mono tafsir) yang diikuti keharusan untuk dituangkan sebagai hukum publik.

Lalu, perbedaan penafsiran dengan mereka tidak diletakkan dalam kerangka keragaman pandangan di kalangan umat Islam yang niscaya, tapi sebagai  pembangkangan terhadap kewajiban menjalankan “syariat” (istilah populernya tidak syar’i), yang artinya belum “hijrah”, maka konsekuensinya akan dicap “kafir harbi” yang harus dilawan, bahkan kalau perlu diperangi sebagai bentuk pengamalan dari perintah “jihad” sebagaimana yang dipahami berdasarkan tafsir tunggal mereka.

Kalau kita bicara tentang kewajiban memberi makan fakir miskin dan anak yatim, semua aliran dan mazhab keislaman sepakat bahwa itu syariat Islam. Tidak ada perdebatan soal itu. Tapi menyangkut apakah berjilbab bagian dari syariat Islam atau bukan, para ulama besar dunia, baik klasik mau pun kontemporer berbeda pandangan soal itu.

Buya Hamka sendiri yang berasal dari Minangkabau dan dalam video HA di atas dipersonifikasikan sebagai simbol-simbol ketaatan masyarakat Sumatera Barat dalam berislam, justru isteri dan anak perempuannya tidak berjilbab, tapi sehari-hari mengenakan baju kurung yang jadi busana khas Minang. Begitu pun Cak Nur yang jadi simbol keislaman di HMI, Gus Dur di NU, dan Quraish Shihab yang jadi ikon bagi para mufassir dan akademisi UIN, juga tidak mewajibkan pemakaian jilbab kepada keluarganya. Dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya yang berpandangan serupa.

Atau Republik Islam Iran sebagai negara yang selama ini dikenal sangat ketat dalam pelaksanaan syariat Islam bagi warganya yang muslim, ternyata atlet-atletnya di Asian Games Jakarta tempo hari, meski menggunakan baju tertutup dan kerudung, tapi sedikit rambut bagian depannya dibiarkan terbuka.

Lantas, paham mana yang harus dirujuk sebagai acuan? Bukankah kalau pemahaman dari satu mazhab tertentu yang harus diterapkan sebagai hukum publik yang berarti mengikat kepada semua orang, akan berakibat diskriminatif bagi mazhab keislaman yang berbeda ?.

Praktek-praktek seperti ini dalam sejarah Islam justru berakibat konflik sektarian yang tajam di kalangan umat yang jadi penyebab kemunduran dan kehancuran umat Islam itu sendiri. Sila Ketuhanan YME itu semestinya dipahami bahwa negara tidak boleh memaksa warganya untuk melaksanakan aturan yang tidak diyakini berdasarkan agama dan/atau mazhab yang dianutnya. Bukan sebaliknya, seperti yang jadi argumen sebagian tokoh-tokoh MUI Pusat dengan alasan sebagai pembelajaran dan pembiasaan bagi anak didik.

Kedua, dalam sejarah Islam, tidak semua syariat Islam itu diundangkan in toto sebagai hukum positif oleh negara. Justru lebih banyak yang diletakkan sebagai etika-etika individu. Shalat atau puasa misalnya, apakah harus diundangkan sebagai hukum publik? Lantas, bagaimana penerapan atau implementasinya? Apakah setiap saat aparat negara harus datang mengetuk satu-satu pintu rumah warganya untuk mengecek sudah shalat atau puasa, dan jika tidak maka harus di proses dan diberi sanksi hukum?

Dalih bahwa tidak tegasnya negara mengatur ketentuan berjilbab bagi anak didik adalah indikasi negara mengarah ke sekularisme seperti yang disampaikan dengan tidak jemu-jemunya oleh Buya KH. Anwar Abbas (Wakil Ketua Umum MUI Pusat) di berbagai stasiun tv nasional, hemat saya, justru logika yang dibangun dan mendasari argumennya terbalik-balik. Sekularisasi terjadi justru ketika kewajiban shalat atau puasa misalnya dijadikan hukum publik oleh negara karena akan menggeser kataatan (iman) kepada Allah SWT sebagai basis pelaksanaan syariat yang bersifat sakral, kepada kepatuhan terhadap kewenangan negara yang bersifat profan.

Ketiga, dari sisi ketatanegaraan kita, menyangkut kebijakan soal agama, pendidikan, moneter, pertahanan-keamanan dan luar negeri merupakan kewenangan Pemerintah pusat, bukan kewenangan Pemerintah Daerah sebagai bagian dari otonomi daerah.

Secara sosiologis, maraknya penggunaan jilbab yang jadi kecenderungan belakangan ini merupakan indikasi meningkatnya kesadaran beragama di kalangan warga bangsa. Tapi memaksakan pemakaian jilbab di wilayah publik terhadap mereka yang berbeda paham soal kewajiban berjilbab itu, bukan saja bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang meniscayakan perbedaan dan keragaman pandangan di kalangan warga bangsa tapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip beragama dalam Islam itu sendiri.

Wallahu a’lam [ ]

Penulis : M Zainal Arifin Ryha

Komentar