TEGAS.CO., NUSANTARA – Melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Presiden Jokowi melalui pidatonya mengutarakan niat untuk merevisi UU ITE jika terbukti bahwa UU tersebut tidak memberikan rasa keadilan.
Benar saja, jika dilihat dalam kurun 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara), menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil. (BBC indonesia 17 Februari 2021)
Lebih lanjut, Presiden juga mengimbau kepolisian untuk lebih selektif dalam menerima pelaporan pelanggaran undang-undang ITE, menyusul makin banyak warga yang saling melaporkan ke kepolisian.
Namun bagaikan gayung tak bersambut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md malah membentuk dua tim terkait polemik pasal-pasal karet dalam UU ITE. Dua tim tersebut masing-masing bertugas membuat pedoman interpretasi dan mengkaji kemungkinan revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 itu. (BBC.Com 22 Februari 2021)
Dilansir dari Kompas.com (20/2/2021), Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dibandingkan dengan situasi era Orde Baru.
Busyro pun menilai situasi saat ini sudah bergerak ke arah neo otoritarianisme. Ia mengatakan ada tiga indikator pemerintahan Jokowi sudah mengarah ke neo otoritarianisme. Hal ini didasarkan pada tiga indikator yakni:
Pertama, masifnya buzzer atau pendongeng di media sosial. Sehingga muncul pelabelan pada orang yang aktif melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Kedua, adanya teror-teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Ketiga, terdapat undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilainya seolah-olah melegalkan perbuatan para buzzer. Menurut Busyro, UU ITE memiliki karakter seperti pelembagaan buzzer yang sudah memakan banyak korban.
Udang Dibalik Batu
Pemerhati HAM Haris Azhar menilai Jokowi seperti digocek oleh menteri soal wacana revisi UU ITE. Bagaimana tidak saat Jokowi yang pertama mewacanakan revisi aturan, tapi menterinya bilang interpretasi resmi atas UU ITE.
Senada dengan Haris Azhar, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menyoroti, langkah anak buah presiden yang alih-alih, mempersiapkan revisi, justru mengarahkan pada pembuatan pedoman interpretasi UU Nomor 11 Tahun 2008 itu. Hal tersebut disebabkan dua kemungkinan, pertama bawah jajaran Presiden tidak menangkap pesan Presiden dengan baik, atau memang sengaja didesain seperti ini.
Rivanlee menambahkan, pasal karet atau multitafsir dalam UU ITE harus dicabut jika pemerintah serius ingin dikritik sekaligus memberikan jaminan rasa keadilan bagi masyarakat.
Disisi lain Analis Politik Exposit Strategy, Arif Susanto, mencurigai bahwa wacana revisi UU ITE (undang-undang Informasi dan Teknologi Elektronik) yang dilontarkan Presiden Jokowi berujung pada barter politik legislasi. UU ITE ini, banyak diterapkan dalam kasus-kasus yang terjadi di ruang maya, termasuk media sosial.
Jika memang barter yang terjadi, menurut Arif, maka ada kemungkinan ketika revisi UU ITE ini masuk Prolegnas (Prolegnas Legislasi Nasional) 2021, bukan tidak mungkin RUU lain yang masuk dalam prolegnas akan di-drop. (Goriau.com 20 Februari 2021).
Dilansir dalam detik.co Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan revisi UU ITE bisa saja menggantikan revisi UU Pemilu. Dimana ditundanya revisi UU pemilu ini berimbas pada naiknya peluang Gibran Rakabuming Raka atau yang akrab dipanggil Gibran maju pilkada DKI Jakarta 2024.
Islam Memfasilitasi Kritik
Adanya UU ITE ini memang menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat yang lantang berpendapat mengenai kinerja pemerintah. Perlu dipahami bahwa kritik tidak selalu mengarah pada hal yang negatif, sebab kritik dilontarkan sebagai bentuk sikap kritis masyarakat terhadap kinerja penguasa, Dengan kritik, penguasa bisa bermuhasabah dan memperbaiki kinerja.
Di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah dikritik karena Umar menetapkan mahar bagi perempuan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah dikritik anaknya sendiri lantaran beristirahat sejenak di kala masih banyak rakyatnya yang terzalimi.
Di sini tergambar Islam tidak anti kritik. Kritik dalam Islam terwujud dalam aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar, yaitu menasihati dalam kebaikan, mengoreksi kebijakan penguasa, dan mencegah kezaliman dan kemungkaran.
Bahkan dalam sistem Islam, Kritik rakyat difasilitasi melalui Majelis Umat, yaitu bagian dari struktur pemerintahan negara yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat meminta nasihat bagi kepala negara dalam berbagai urusan.
Dari Tamim ad-Dari (diriwayatkan), bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka.” (HR Muslim).
Dalam hadis yang lain juga dikatakan, “Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR Muslim).
Dengan demikian, sistem Islam sangat terbuka dengan kritik dan aduan dari rakyatnya. Dengan kritik dan pengaduan rakyat lah, penguasa akan terselamatkan dari sikap zalim dan mungkar. Sebab, penguasa di sistem Islam menyadari besarnya pertanggungjawaban mereka kelak di akhirat.
Selain itu, setiap kebijakan yang dibuat oleh Kepala Negara bersumber pada syariat sehingga tidak ada udang dibalik batu atas kebijakan sebab tujuan utama dibuat kebijakan adalah kemaslahatan rakyat.
Penulis: Desi Dian S., S.Ikom
Editor: H5P
Komentar