TEGAS.CO., NUSANTARA – Dengan alasan tertentu berbagai pihak (Menkeu, ADB dan IMF) menarasikan optimisme dengan meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 mulai menunjukkan angka positif, namun berbeda secara faktual menunjukkan bahwa indikasi ekonomi secara makro menurun. Mengapa bisa terjadi? Lantas bagaimana Islam bisa menyelesaikannya?
Tim internasional monetary fund (IMF) yang dipimpin oleh Thomas Helbling melakukan diskusi virtual mengenai perekonomian Indonesia untuk konsultasi arsicle IV 2020 dari 25 November sampai dengan 11 Desember 2020. Thomas Helbling merupakan mission chef IMF untuk Indonesia. Dalam diskusi itu IMF memberikan beberapa penilaian positif mengenai perkembangan ekonomi Indonesia terutama beberapa kebijakan seperti undang-undang cipta kerja dan bergabungnya Indonesia fakta perdagangan regional comprehensive economic partenership (RCEP). Selain itu IMF juga memiliki prediksi mengenai laju pertumbuhan ekonomi ke depan. “Prospeknya Positif membangun pemulihan ekonomi pada tahun 2020. Produk domestic bruto (PDB) riil diproyeksikan meningkat sebesar 4,8 pesen pada tahun 2021 dan 6 persen pada tahun 2022, dipimpin langka langka dukungan kebijakan yang kuat, termasuk rencana distribusi vaksin covid 19 secara peningkatan ekonomi global dan kondisi keuangan” (CNBCIndo.com, 8/1/2021).
ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 2,2 persen pada tahun 2021. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dari pemerintah Indonesia tidak jauh berbeda dengan lembaga internasional. Dikutip dari Tempo.co (04/01/2020) menteri Republik Indonesia (RI) Sri Mulyani menyatakan bahwa tantangan ekonomi dengan adanya akses dari pandemi menyebabkan kerangka pemulihan ekonomi cukup kompleks namun demikian Sri Mulyani meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021 suda mulai menunjukkan angka positif salah satu faktornya adalah proses vaksinasi mulai berjalan.
Menyoroti hal ini pakar ekonomi Islam, Nida Sa’ada, S.E. Ak., M.E.I., sesungguhnya ada beberapa hal indikator kritis yang harus dikaji yang menjadi alasan terkait koreksi pertumbuhan ekonomi 2021 yang menunjukkan positif yaitu undang-undang cipta kerja dinilai akan menurunkan hambatan investasi penciptaan lapangan kerja baru, RCEP dinilai akan membawa manfaat dengan parameter kenaikan PDB, sedangkan distribusi vaksin dan kebijakan fiskal dinilai membantu pemulihan ekonomi. Ia mengulas masing-masing indikator tersebut.
Pertama, jika IMF mengatakan investasi akan menciptakan lapangan baru faktanya kecenderungan tren investasi saat ini lebih ke padat modal daripada adat karya, sementara dalam UU Cipta kerja juga tidak ada syarat yang mengharuskan investor yang masuk harus menyerap tenaga kerja dari Indonesia bahkan dalam UU Cipta Kerja dibuka kemudahan masuknya tenaga kerja asing.
Kedua, jika IMF mengatakan bergabung dengan RCEP akan meningkatkan PDB juga belum teruji, “Kalau masing-masing negara memiliki peluang yang sama dalam hubungan perdagangan antar negara, apakah otomatis peluang transaksinya akan sama ?” Tanyanya retorik. Belum tentu tambahnya karena selama ini tidak terlihat dukungan pemerintah berbagai sektor dibidang pertanian, perdagangan, perindustrian dan jasa agar memiliki keunggulan kompetitif dan mampu bersaing. “Andai PBD tinggi pun, belum tentu ekonomi masyarakat luas menjadi lebih baik karena angka generasi Indonesia selama ini memang sudah besar artinya kesenjangan kaya dan miskin makin melebar,” tegasnya.
Ketiga, jika IMF menyebutkan distribusi vaksin dan kebijakan fiskal membantu pemulihan ekonomi statement ini harus diuji apakah langka tadi menyelesaikan masalah utama mandeknya ekonomi. “Distribusi vaksin tanpa disertai langka penanganan serius memisahkan orang sehat dengan yang sakit tidak akan banyak berarti. Kebijakan fiskal dengan memangkas beberapa pungutan fiskal dalam kegiatan ekonomi, juga tidak akan banyak berarti jika ekonomi disektor riil belum full capacity,” kritiknya.
Pertumbuhan ekonomi Bukan Solusi
Proyeksi positif atas pertumbuhan ekonomi 2021 oleh berbagai pihak sesungguhnya didasarkan pada angka GNP bahwa angka GNP dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia artinya adalah angka rata-rata antara yang kaya dan miskin dijumlah semuanya kemudian dibagi dengan seluruh jumlah rakyat Indonesia . untuk negara yang tingkat ekonominya yang masih sangat timpang, ada segelintir penduduk Indonesia dengan kekayaan yang sangat besar dijumlahkan dengan penduduk miskin yang jumlahnya besar namun dengan kekayaan yang sangat kecil kemudian dijumlahkan dan dirata rata hasilnya angka pertumbuhan ekonomi yang didapatkan tentu sangat jauh didapatkan.
Ini yang terjadi di lapangan fakta menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia benar-benar dalam kondisi yang buruk, aktivitas ekonomi mengalami penurunan, gelombang PHK terus terjadi dan harga-harga terus meraup naik, pendapatan rakyat Indonesia benar-benar telah meluncur tajam. Banyak pakar ekonomi menyebutkan bahwa sekarang Indonesia sudah di jurang resesi. Sesungguhnya pangkal persoalan ekonomi Indonesia hari ini adalah sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan yang bertumpu pada sektor swasta bukan pada negara.
Sektor swasta akan berjalan dengan mengikuti mekanisme pasar bebas sehat atau tidaknya kondisi pasar sangat ditentukan oleh terwujud atau tidaknya keseimbangan pasar makro. Ditambah lagi dengan munculnya wabah covid semakin memperparah kondisi ekonomi yang sebenarnya walaupun tidak ada wabah korona kondisi ekonomi sudah lemah.
Resep Ekonomi Syariah Kaffah Terbaik
Struktur ekonomi Islam akan dapat berjalan dengan kuat, karena tumpuan ekonomi Islam bukan pada sektor swasta, tetapi pada negara. Sedangkan sumber utama pendapatan negara bukanlah dari pajak, yang sangat bergantung pembayarannya dari sektor swasta. Jika sektor swasta lumpuh, maka pembayaran pajaknya akan jatuh selanjutnya negara pun akan ikut lumpuh.
Dalam ekonomi Islam, hal itu tidak boleh terjadi. Pos-pos penerimaan kas negara (baitul mal) tidaklah dari pajak, namun dari sektor kepemilikan, yang dalam ekonomi Islam itu dibagi tiga, yaitu : kepelikan individu, umum dan negara. Sumber pemasukan dari sektor kepemilikan individu itu bisa dari zakat, infak, sedakah, wakaf dan lain sebagainya. Yang kedua dari sektor kepelikan umum, seperti : berbagai tambang, gas, minyak bumi, sumber daya air, dan lain-lain.
Sumber kemelikan umum ini harus dikelola oleh negara, kemudian hasilnya didistribusikan kepada seluruh rakyatnya secara adil. Yang ketiga, dari sektor kepemilikan negara, seperti : Ghanima, Fa’I, Kharaj, Jizyah, Khumus, Rikaz, dan lain sebagainya. Sektor kepemilikan negara ini juga dikelola oleh negara untuk kepentingan penyelenggaraan negara dan juga untuk kepentingan rakyatnya.
Kunci mengatasi wabah, seperti covid ini, tentu akan banyak bertumpu pada kekuatan ekonomi negaranya. Jika sumber pemasukan negaranya besar dan kuat, tidak mengandalkan dari penerimaan pajak dari sektor swasta, maka insya Allah jika terjadi serangan wabah covid 19, akan mudah dihadapi oleh negara dan kepentingan ekonomi serta kesehatan dari seluruh rakyatnya akan dapat terjaga dan terlindungi dengan baik.
Wallahu A’lam.
Penulis: Ummu Najah (Pemerhati Sosial)
Editor: H5P
Komentar