Menjelang Hari Perempuan Internasional 8 Maret, Komnas Perempuan kembali mengeluarkan catatan tahunan, yang masih menyoroti tingginya kekerasan terhadap perempuan, terutama di ranah domestik.
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan kekerasan di ranah domestik atau personal mencapai 6.480 kasus atau 79 persen, sementara di ranah publik atau komunitas mencapai 1.731 kasus atau 21 persen kasus.
Catatan tahunan ini juga memaparkan data korban kekerasan yang dialami komunitas minoritas seksual, perempuan dengan disabilitas, perempuan rentan diskriminasi (HIV/AIDS), perempuan pembela HAM dan kasus-kasus kekerasan berbasis gender siber (KBGS).
Tahun 2020 lalu terjadi 77 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas dan perempuan dengan disabilitas intelektual, serta 13 kasus kekerasan terhadap komunitas minoritas seksual. Yang menarik dari 13 kasus itu, ada satu kasus kekerasan terhadap kelompok ini yang dilanjutkan ke ranah hukum hingga tahap penyidikan di Jawa Tengah.
Dibandingkan tahun 2019, kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV/AIDS tahun 2020 ini melesat menjadi 203 kasus. Kenaikan ini terutama berasal dari data LBH APIK Bali yang melakukan pendampingan pada ODHA (Orang Dewasa Hidup dengan AIDS) perempuan dan anak. Demikian pula kasus kekerasan yang dialami perempuan pembela HAM, yang pada tahun 2019 hanya lima kasus, tahun 2020 melonjak menjadi 36 kasus.
Peningkatan juga terjadi dalam kekerasan berbasis gender siber (KBGS), dari 126 kasus pada tahun 2019, menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Bentuk kekerasan yang mendominasi KBGS ini adalah kekerasan fisik 49 persen, kekerasan seksual 48 persen dan kekerasan ekonomi dua persen.
Maraknya dispensasi usia kawin anak pada masa pandemi ini juga menjadi sorotan. Komnas Perempuan mencatat ada 64.211 kasus dispensasi atau naik tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei mengaitkan tingginya angka kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap perempuan. “Buntut kebijakan itu terus melahirkan diskriminasi pada kelompok minoritas. Perempuan dalam pusaran intoleransi dan kekerasan masih terus terjadi seperti di tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
Secara khusus Komnas Perempuan juga menyoroti kasus keharusan mengenakan jilbab bagi seluruh siswi perempuan, tanpa memandang agama mereka, di salah satu sekolah negeri di Padang. Kontroversi kasus ini membuat banyak pihak menyoroti peraturan-peraturan diskriminatif lain yang diberlakukan di banyak daerah beberapa tahun terakhir ini.
Tiga menteri, yakni Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Februari menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) soal penggunaan seragam dan atribut di lingkungan sekolah negeri; yang memberi kebebasan bagi para peserta didik, pendidik dan tenaga pendidikan di lingkungan sekolah negeri untuk memilih menggunakan seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu, atau dengan kekhasan tertentu.
Komnas Perempuan menyampaikan apresiasi badan itu pada langkah konkret SKB tiga menteri itu, yang dinilai sebagai langkah penting untuk merawat kebhinekaan bangsa. Kajian badan ini mendapati 62 kebijakan daerah yang memuat aturan busana di 15 propinsi mayoritas Muslim, dalam bentuk 19 peraturan daerah dan 43 peraturan/kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menggarisbawahi bahwa data yang disajikan dalam catatan tahunan ini masih berupa indikasi “dari puncak gunung es persoalan kekerasan terhadap perempuan.” Data yang dihimpun masih adalah terbatas pada kasus di mana korban melapor dan jumlah serta daya lembaga yang ikut mengumpulkan data kasus ini, tambahnya.
Yentry menjelaskan bahwa dibanding tahun 2019 di mana kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 431.371 kasus, pada tahun 2020 memang turun menjadi 299.911 kasus. Namun penurunan ini “lebih merefleksikan kapasitas pendokumentasian dibanding kondisi nyata kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi yang cenderung meningkat.”
Sumber: www.voaindonesia.com
Publisher: B_Kan
Komentar