TEGAS.CO., NUSANTARA – Tanggal 8 Maret 2021 kemarin, dunia kembali merayakan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day). Perayaan tersebut merupakan momentum tahunan bagi para pegiat feminisme untuk mengampanyekan ide kesetaraan gender juga mengevaluasi berbagai capaian yang berhasil diraih oleh kaum perempuan.
Tema yang diangkat pada tahun ini (2021) adalah “Choose to Challenge” atau “Memilih untuk Menantang”. Makna tema tersebut ialah bagaimana kaum perempuan menyuarakan untuk menantang berbagai hal yang bias gender. Sebab, selama ini kaum perempuan dianggap sebagai pihak yang selalu saja menjadi korban ketidakadilan dan peran perempuan kadang kala dianggap remeh bahkan sering menjadi korban dalam berbagai bentuk kejahatan maupun kekerasan.
Untuk itu, perayaan yang ditetapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Barack Obama pada tahun 2011 tersebut, selalu saja mendapat perhatian oleh berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, tokoh politik, selebriti, dan tak ketinggalan pula oleh para aktivis perempuan. Dan di Indonesia sendiri representasi dari kampanye hari perempuan tersebut, lagi-lagi merujuk pada desakan untuk pengesahan RUU PKS.
Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu aktivivis perempuan di Sulsel. Dikutip dari ZONAKATA.COM (8/3/2021), Senator perempuan Sulsel, Liily Ameliya menjelaskan bahwa perjuangan kaum perempuan dalam menghasilkan dan merayakan pencapaian sosial, ekonomi, budaya dan politik perempuan secara global harus dibuatkan payung hukumnya dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Hal senada dengan yang disampaikan oleh Senator asal Toraja pengurus Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), yang memandang bahwa RUU PKS merupakan payung hukum atas berbagai kasus kejahatan yang sering menimpa kaum perempuan saat ini.
Perempuan dalam Pusaran Kapitalisme
Menurut ustadzah Ratu Erma Rahmayanti, S.P (Pemerhati Kebijakan Keluarga Dan Generasi), “Sesungguhnya, Hari Perempuan Internasional adalah peringatan penderitaan dan kesedihan nasib perempuan dalam kehidupan sistem demokrasi liberal”.
Ini terbukti dari catatan tahunan (Catahu) 2021 yang dikeluarkan Komnas Perempuan yang berisi laporan angka kekerasan terhadap perempuan (KtP), pelecehan seksual, upah rendah, tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah, perkawinan anak, dan lain-lain. (MuslimahNews.com, 7/3/2021).
Pada faktanya nasib perempuan memang tak mengalami perubahan apapun dari masa ke masa. Adanya perayaan hari perempuan pun bahkan tak menunjukkan bahwa nasib kaum perempuan saat ini telah berada pada zona aman dan nyaman. Hal ini bisa dibuktikan dari berbagai kasus kejahatan, pelecehan, juga kekerasan, masih selalu menimpa pihak perempuan.
Ide kesetaraan gender yang sering dikampanyekan oleh para pegiat feminisme pun nyatanya bukanlah solusi paripurna untuk mengatasi masalah perempuan. Sebab, kesetaraan gender dengan kaum laki-laki justru dapat menjauhkan perempuan dari fitrahnya dan malah dapat menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi serta menanggung suatu tanggung jawab yang tidak semestinya.
Termasuk Rancangan Undan-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), pada dasarnya pun tak bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi masalah perempuan saat ini. Sebab, RUU tersebut hanya berperan sebagai aturan terhadap berbagai tindakan yang dianggap mengandung unsur kekerasan, tetapi tidak menghilangkan secara total segala bentuk pelecehan yang dapat menimpa perempuan.
Oleh sebab itu, harusnya masyarakat dapat menyadari bahwa segala ide maupun aturan yang lahir dari ideologi sekuler kapitalis, di tengah sistem demokrasi liberal, nyatanya tak bisa menjadi solusi paripurna untuk menyelesaikan berbagai bentuk persoalan yang dihadapi perempuan saat ini.
Islam Menuntaskan Problem Perempuan
Sebelum Islam datang di tengah-tengah bangsa Arab Jahiliyah, perempuan dipandang sekadar warga nomor sekian. Perempuan dipandang hanya sebagai objek pemuas nafsu laki-laki juga budak yang layak diperjual belikan. Bahkan, perempuan dianggap aib bagi suatu keluarga hingga seorang ayah berhak mengubur hidup-hidup bayi perempuannya jika diinginkan.
Namun, setelah Nabi Muhammad saw. diutus ditengah-tengah mereka dengan membawa dan menyebarkan agama Islam, semua lalu berubah. Perempuan tak lagi jadi warga nomor dua, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam aspek yang telah di tentukan syariat.
Kehormatan dan kemuliaan perempuan dijamin oleh negara yang menerapkan aturan Islam. Hingga jikalau seorang Muslimah saja dilecehkan, negara akan bertindak dengan tegas. Seperti halnya kisah Khalifah Mu’tasim Billah yang menyambut seruan dari seorang Muslimah yang kala itu dilecehkan oleh orang Romawi. Sang khalifah tak berpikir panjang, lalu mengirimkan puluhan ribu tentaranya untuk menyelamatkan Muslimah tersebut.
Hingga dinyatakan dalam suatu riwayat bahwa panjang barisan tentara yang diutus khalifah Mu’tasim Billah tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), yang menandakan begitu besarnya pasukan yang dikerahkan oleh khalifah.
Hal tersebut hanyalah satu contoh dari banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa saat Islam diterapkan dalam sebuah institusi kenegaraan (Khilafah), kemuliaan perempuan begitu sangat dijaga dan dimuliakan. Sehingga satu-satunya solusi atas berbagai persoalan yang menimpa kaum perempuan saat ini tidak lain yaitu hanyalah dengan menerapkan kembali sistem kepemimpinan Islam dalam institusi kekhalifahan.
Wallahu’alam bisshawab
Penulis: Nurhikmah (Tim Pena Ideologis Maros)
Editor: H5P
Komentar