Hutan Kritis Picu Krisis Air

Risnawati, S.TP (Pegiat Opini Kolaka)
Risnawati, S.TP (Pegiat Opini Kolaka)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Hampir 71%  permukaan bumi terdiri dari air, yang kelimpahan itu begitu menonjol di negeri ini. Karena sekitar 21% total sumber air di wilayah Asia-Pasifik berada di wilayah Indonesia. Namun aneh, di negeri yang memiliki potensi air berlimpah ini justru terus mengalami bencana atau krisis air yang terus berulang.

Dilansir dari laman Zonasultra.Com, Kendari – Sekitar 800 hektar kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Mangolo di Kabupaten Kolaka berdasarkan identifikasi open area oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara (Sultra) sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan. Hal tersebut membuat BKSDA Sultra akan mengambil langkah yang didahului pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kolaka.

Kepala BKSDA Sultra Sakrianto Djawie mengatakan, bahwa aktivitas perambahan hutan konservasi sudah berlangsung sejak tahun 2001 hingga saat ini. Akan tetapi kesadaran masyarakat untuk menjaga keberlangsungan hutan tersebut sangat minim. Sehingga masifnya kegiatan pembukaan lahan terus terjadi. Berdasarkan hasil penyelidikan di lokasi, diketahui terjadi aktivitas jual beli lahan di kawasan TWA Mangolo, Kelurahan Mangolo, Kecamatan Latambaga tersebut.

“Sebenarnya kasus ini sudah pernah sampai pada tahap penegak hukum. Akan tetapi tidak ada efek jera malahan terus bertambah aktivitas pembukaan lahan,” ungkap Sakrianto saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (24/3/2021).

Disisi lain, menurut pimpinan Indonesia Water Institute (IWI) Firdaus Ali, di Indonesia tercatat penyediaan air perpipaan di Indonesia hanya mampu melayani sebesar 21,8 persen dari total populasi masyarakat Indonesia sebanyak 270,2 juta jiwa. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membutuhkan anggaran senilai Rp108,9 triliun demi membangun 10 juta sambungan rumah (SR) untuk air minum periode lima tahun yakni, tahun 2020 – 2024. (sumber: kompas.com, 5/3/2021)

Jumlah anggaran sebesar Rp 108,9 triliun tersebut dibutuhkan karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk air minum hanya bisa memenuhi 26 persen dari total kebutuhan, yakni hanya sebesar Rp 34,9 triliun.

Pemerintah pun mencari pendanaan alternatif dengan skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) maupun business-to-business (B2B). Kedua skema tersebut berkontribusi untuk menyumbang kebutuhan anggaran senilai Rp 30 triliun. Selain itu, dibutuhkan pola investasi lainnya seperti obligasi, hibah berbasis kinerja, dan corporate social responsibility (CSR). Lalu, pinjaman Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pada perbankan, serta pinjaman Pemerintah Daerah (Pemda).

Mencermati hal ini, tampak jelas sekali pengelolaan sumber daya air yang melibatkan swasta dan asing, akan berwujud bisnis. Dalam kacamata kapitalisme, air sebagai sumber daya vital tiap individu, tentu dipandang sebagai komoditas ekonomi. Tak jarang, para pemodal juga tak segan menempuh berbagai cara demi menguasai areal yang mengandung sumber daya komersial.

Sehingga, jelas masalahnya sangat luas dan butuh solusi mendesak dan cepat, karena air adalah kebutuhan hidup yang vital.

Pengelolaan Air Dalam Islam

Sesungguhnya AIlah Swt. telah menciptakan sumber daya air yang berlimpah. Tidak hanya itu Allah Swt. juga menciptakan keseimbangan pada segala aspek yang dibutuhkan bagi keberlangsungan daur air. Mulai dari hamparan hutan, iklim, sinar mata hari, hingga sungai danau dan laut.

Ketersediaan air yang berlimpah di bumi ditegaskan Allah Swt., yang artinya, “…….dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (TQS Al Anbiyaa, ayat 2).

Tidak hanya berlimpah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tapi juga bagi lestarinya kehidupan di bumi. Artinya, darurat kekeringan dan krisis air bersih bukan karena kurangnya sumber daya air.

Sungguh Allah SWT telah mengingatkan kita dalam QS Ar Rum, 30:41, yang artinya,” Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Yaitu, kembali pada syariat Allah yang dalam hal ini mengatasi persoalan darurat kekeringan dan krisis air bersih. Sistem kehidupan Islam, Khilafah.

Negara Khilafah akan mengembalikan fungsi hutan secara umum, yang memiliki fungsi ekologis dan hidrologi yang dibutuhkan jutaan orang di Indonesia bahkan dunia. Demikian sumber-sumber mata air yang berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat. Karena itu pada hutan dan sumber-sumber mata air, sungai danau dan lautan secara umum melekat karakter harta milik umum sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw. yang artinya, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api”(HR Abu Dawud dan Ahmad).

Maka, status hutan dan sumber-sumber mata air, danau, sungai dan laut sebagai harta milik umum, menjadikannya tidak dibenarkan dimiliki oleh individu. Akan tetapi tiap individu publik memiliki hak yang sama dalam pemanfaatannya. Hanya saja pemanfaatan itu tidak menghalangi siapa pun dalam pemanfaatannya. Karena jika tidak akan menimpakan bencana pada diri sendiri maupun orang banyak, yang hal ini diharamkan Islam. Rasulullah Saw bersabda, artinya, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Dengan demikian, persoalan kerusakan hutan harus diselesaikan secara tuntas agar bencana atau krisis air tidak berulang. Seharusnya ada pengaturan kepemilikan lahan yang seimbang agar rakyat tidak merambah masuk ke hutan yang dilindungi. Juga tidak memberi karpet merah penguasaan lahan dan hutan kepada korporasi. Ini menunjukkan betapa penguasa lemah di hadapan korporasi, di sisi lain lemah melayani rakyat.

Sehingga, Negara wajib hadir secara benar. Negara tidak berwenang memberikan hak konsesi (pemanfaatan secara istimewa khusus) terhadap hutan, sumber-sumber mata air, sungai, danau dan laut, karena konsep ini tidak dikenal dalam Islam. Negara wajib hadir sebagai pihak yang diamanahi Allah Swt., yakni bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya terhadap pengelolaan harta milik umum. Rasulullah saw. menegaskan, artinya, ”Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalanya (rakyatnya),” (HR Muslim).

Alhasil, sungguh jika pengelolaan air sesuai dengan syariat tidak akan ada lagi krisis air karena Allah telah memberikan keseimbangan yang luar biasa. Dengan diterapkan syariah Islam dalam pengelolaan air. Maka, Khilafah mampu mewujudkannya, dalam 1300 tahun sukses dalam pengelolaan air dan kelestarian lingkungan hidup.

Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (TQS Al Anfal (8): 24). Wallahu a’lam.

 

Penulis: Risnawati, S.TP (Pegiat Opini Kolaka)

Editor: H5P

 

Komentar