TEGAS.CO., NUSANTARA – Di tengah kondisi wabah virus corona yang tak jelas kapan berakhirnya, berita duka kembali menerjang negeri ini. Seperti banjir bandang dan longsor yang menerjang sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam beberapa hari terakhir menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas.
Akibat banjir ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bima mencatat 2 korban meninggal dunia. Lalu lebih dari 9.425 KK atau 27.808 jiwa terdampak dan ini akan terus bertambah jumlahnya, sepanjang evakuasi korban terus dilakukan mengingat adanya kendala teknis dan cuaca buruk semakin mempersulit penanganan bencana.
Presiden Joko Widodo juga meminta agar penanganan bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di NTT dan NTB dilaksanakan secara cepat. Dimana, pelayanan kesehatan, ketersediaan logistik, serta kebutuhan dasar masyarakat harus diprioritaskan.
Semua bencana yang mendera bumi khatulistiwa tentu harus disikapi dengan tepat oleh setiap muslim. Bencana alam merupakan bagian dari sunatullah atau merupakan bagian Qadha (ketentuan) dari Allah Swt. Tak mungkin ditolak atau dicegah. Di antara adab dalam menyikapi Qadha ini adalah sikap rida dan sabar. Qadha merupakan ujian dari Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 155, “Sungguh kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut dan kelaparan. Juga dengan berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orag yang sabar.”
Di sisi lain, seorang muslim juga wajib meyakini bahwa bencana alam yang melanda suatu negeri hingga terus menerus bukanlah sekedar soal musibah atau takdir, namun ada andil manusia di dalamnya. Ada campur tangan manusia yang mengakibatkan datangnya bencana silih berganti.
Dalam kasus banjir bandang NTB khususnya, sebetulnya ada faktor di luar Qadha’ yang memperparah bencana. Bisa disebabkan karena abainya pejabat berwenang terhadap penanganan masalah secara cepat dan tanggap atau diakibatkan dari kesalahan, dosa dan kemaksiatan para penguasa dan rakyat. Hal tersebut, merupakan hal yang niscaya terjadi.
Kita tentunya tak lupa juga di mana negeri ini melegalkan sesuatu yang telah jelas menyalahi syariat-Nya. Seperti terkait minuman keras yang seolah tak dianggap haram, sebab dipandang memiliki nilai ekonomi. Tentu saja, kebijakan tersebut mengundang murka ilahi. Maka wajar, bencana didatangkan sebagai bentuk peringatan.
Selain itu, tak sedikit kebijakan penguasa yang cenderung menambah penderitaan rakyat, di antaranya menjual sumber daya alam, impor produk asing, menaikan harga BBM, tarif listrk, iuran BPJS, tarif tol, dan lain-lain. Ini semua merupakan sumber dari segala bencana alam maupun bencana sosial yang mendera rakyat. Kebijakan ini terkategori tindak kezaliman penguasa terhadap rakyat.
Ingatkah kita dengan kalimat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa bencana hanyalah akibat dosa dan kemaksiatan manusia. Akibat mereka tidak mengamalkan dan menerapkan syariah-Nya. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan (kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali (ke jalan-Nya)”.
Kemudian, ada satu kalimat bijak yang perlu kita renungi, seperti “Bumi akan selalu mencukupi kebutuhan semua manusia, namun tidak untuk memenuhi keserakahan satu manusia.”
Melihat bencana yang terus melanda bumi ini, tanpa mengenal hari, kita semestinya mengintropeksi keadaan negeri ini. Bukan hanya wajib muhasabah diri dan keluarga, namun mengintropeksi berjalannya kebijakan dan pemerintahan adalah satu perkara yang tidak boleh luput dari aktivitas manusia. Karena kebijakan dari penguasa inilah yang mempengaruhi bagaimana kehidupan suatu negeri dijalankan.
Kita semua pun tahu bahwa negeri ini adalah negeri penganut muslim terbesar, ribuan masjid didirikan, majelis zikir senantiasa ada, para penceramah tak pernah absen. Namun, mengapa bencana demi bencana terus mewarnai kehidupan politik, ekonomi, sosial dan karut-marut negeri ini seakan tak pernah berujung?
Sejatinya, inilah yang dihasilkan dari cara kerja sistem sekularisme. Sistem yang memiliki asas memisahkan agama dari kehidupan. Sistem yang hanya membolehkan agama berperan dalam urusan ibadah dan ritual semata. Namun, untuk urusan kebijakan pemerintah dan ekonomi, agama dilarang ikut campur untuk mengatur.
Sesungguhnya, sistem ini memiliki sifat bawaan merusak. Kerusakan bagi alam, manusia dan kehidupan. Sistem ini juga telah melahirkan orang-orang serakah yang mengabaikan kepentingan manusia dan alam. Kebijakan yang dilahirkan pun cenderung menguntungkan korporasi dan merugikan pribumi. Pelaksanaanya tak sedikit menyusahkan rakyat.
Karena itu, satu-satunya cara untuk mengakhiri ragam bencana ini tidak lain dengan bersegera bertobat kepada Allah Swt., apalagi mereka yang bertindak sebagai pemegang kebijakan harus segera bertobat dari dosa dan maksiat terhadap aturan Allah Swt. Pun, termasuk penduduk negeri ini, hendaknya segera untuk kembali pada jalan Islam dan menyadari kesalahan yang menempa negeri ini, baik dari segi sistem maupun kepemimpinan.
Dengan demikian, siapa saja yang mengaku dirinya muslim, hendaklah tidak berhukum dengan selain hukum Allah. Mengapa? karena sesungguhnya menerapkan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud hakiki dari ketaatan dan ketakwaan. Pun ketika aturan-Nya diterapkan, maka pasti akan mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Penulis: Rima Septiani, S. Pd. (Pemerhati Masalah Umat)
Editor: H5P
Komentar