TEGAS.CO., NUSANTARA – Di tengah pandemi yang belum kunjung usai, publik dikejutkan dengan terkuaknya kasus prostitusi anak di salah satu hotel milik artis CA.
Polisi mengamankan 15 anak di bawah umur saat menggerebek hotel yang dijadikan lokasi bisnis prostitusi online ini. Saat ini, belasan anak itu telah dititipkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Belasan anak itu nantinya akan mendapatkan trauma healing untuk memulihkan kondisi psikologinya. (Cnnindonesia.com, 20/3/2021)
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI, Ai Maryati Solihah mengatakan kasus prostitusi anak tengah marak di beberapa wilayah di Indonesia saat ini. Di Pontianak, kata dia, terdapat 79 anak terlibat kasus prostitusi, baik sebagai korban, saksi maupun pelaku. Data ini didapatkan dari hasil 14 kali penertiban yang dilakukan Kepolisian sejak Juli 2020. (Tempo.co, 4/2/2021)
Prostitusi terus tumbuh subur karena dijadikan sebagai ajang bisnis. Hukum penawaran dan permintaan berlaku. Begitulah wajah kapitalisme demokrasi. Perempuan dihargai dari sisi materi dan dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Kehormatan dan kesucian perempuan sudah tidak diindahkan lagi dan rela dikorbankan begitu saja demi sejumlah rupiah. Para perempuan menjadi begitu “murah”, bisa dibeli dengan uang, melayani nafsu biadab para lelaki hidung belang.
Apa pun alasannya, perbuatan melacur atau prostitusi jelas diharamkan dalam Islam. Ini termasuk zina dan dosa besar. Pelegalannya hanya akan merusak moral masyarakat, menambah-nambahi kemaksiatan dan memunculkan masalah baru.
Mencuatnya kasus prostitusi online yang melibatkan artis ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus prostitusi yang tak terungkap. Seperti fenomena gunung es, maka pelaku prostitusi yang tidak tertangkap atau terekspose sebenarnya jauh lebih banyak lagi. Inilah fakta menyedihkan yang mendera bangsa Indonesia, yang notabene penduduknya mayoritas muslim. Sebuah ironi, negeri Muslim terbesar namun kemaksiatannya juga sangat besar. Lalu, bagaimana Indonesia bisa memberantas praktik prostitusi ini?
Ada lima jalur yang seharusnya ditempuh untuk mengatasi maraknya prostitusi. Pertama, penyediaan lapangan kerja. Dalam hal ini negara menyediakan lapangan pekerjaan –terutama bagi kaum laki-laki sehingga masyarakat mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Para perempuan pun tidak dibebani untuk mencari nafkah utama bagi keluarganya.
Kedua, pendidikan/edukasi yang seiring sejalan. Pun pendidikannya adalah yang bermutu, bebas biaya, mampu menanamkan fondasi keimanan yang kuat dan membekali keterampilan yang mumpuni sehingga para PSK tidak akan tergiur untuk kembali ke dunia kelam mereka.
Ketiga, jalur sosial. Pemerintah berupaya menanamkan kesadaran para masyarakat untuk care kepada apa yang terjadi di sekitarnya sehingga terbentuk kontrol sosial terhadap segala bentuk kemaksiatan. Keempat, jalur hukum atau supremasi hukum. Harus ada sanksi tegas terhadap para PSK, para pelanggan PSK, mucikari atau pihak-pihak yang terkait. Sanksi di dunia bagi penzina sudah jelas yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika ia sudah pernah menikah, atau dicambuk seratus kali kemudian diasingkan selama satu tahun jika ia belum pernah menikah.
Yang terakhir, jalur politik. Negara harus menutup semua bentuk lokalisasi, menghapus situs prostitusi online, serta melarang produsen tayangan berbau seksualitas seperti pornografi dan porno aksi.
Solusi dari masalah prostitusi membutuhkan pemahaman utuh bahwa akar permasalahannya adalah karena sistem permisif demokrasi yang diterapkan oleh negara. Sistem sekuler negara inilah yang menyebabkan benih-benih kemaksiatan masih dapat leluasa bergerak. Maka seluruh masyarakat harus menyadari bahwa prostitusi tidak akan pernah bisa dibasmi habis jika kita masih bertahan dengan sistem kehidupan yang sekarang, tidak beralih kepada sistem Islam yang dari awalnya mencegah dan melarang tindakan kemaksiatan.
Islam bahkan punya aturan yang tangguh dan mampu membuat jera para pelanggar hukum syariatnya. Dengan keadaan sistem negara yang kondusif seperti itu, harga diri perempuan akan terjaga dan kembali pada fitrahnya yang juga mulia secara kemanusiaan.
Penulis: Oktavia Tri Sanggala Dewi, S.S., M.Pd (Aktivis Dakwah Islam, Jambi)
Editor: H5P
Komentar