TEGAS.CO.,BANDA – Kepulauan Banda merupakan gugusan kepulauan di sebelah tenggara Kota Ambon, butuh waktu 6 (enam) jam untuk sampai di Banda Naira jika menggunakan kapal dari pelabuhan Tulehu.
Ada 3 pulau besar di Banda yakni Pulau Naira, Pulau Banda Besar, dan Pulau Gunung Api , jarak antar ketiga pulau ini pun sangat berdekatan. Selain 3 (tiga) pulau tersebut, ada pula pulau lain yang jaraknya lumayan jauh, yakni pulau Ay, Pulau Hatta, Pulau Skaru, Pulau Rhun, Pulau Nailaka, Pulau Syahrir (dulu Pulau Pisang), dan Pulau Manukan.
Diantara gugusan pulau tersebut, ada satu negeri (desa) paling tua di Kepulauan Banda yang terletak di Pulau Banda Besar yakni Desa Lonthor Pulau Banda Besar Kecamatan Banda Naira Kabupaten Maluku Tengah. Desa pertama yang ditaklukkan bangsa Belanda itu memiliki dua sumur atau sering disebut masyarakat setempat sebagai Parigi Pusaka.
Ironinya, dua Parigi Pusaka yang berdekatan itu memiliki perbedaan, salah satu sumur memiliki air bersih yang langsung dapat diminum oleh masyarakat dan satunya lagi bermata air payau.
Setiap 10 tahun sekali, masyarakat Banda akan melakukan pesta rakyat dengan mencuci dua Parigi Pusaka ini. Biasanya pesta rakyat akan digelar pada tanggal 10-14 November. Periodik 10 tahunan ini, jatuh pada tahun 2018 lalu dan tentu akan dilakukan kembali pada November 2028 mendatang.
Cuci Parigi dikenal masyarakat setempat dengan istilah Rofaerwar. Ritual utama cuci Parigi adalah membersihkan dua buah sumur kembar yang berusia ratusan tahun di Desa Lonthor, yang berada pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut, dengan kedalaman sekitar empat meter.
Karena penuh dengan hal mistis, cuci Parigi Pusaka ini dianggap sebagai adat paling berat dan besar dibandingkan dengan adat-adat lain di Banda. Adat ini juga sebagai pemanggil para perantau untuk pulang ke tanah Banda.
Unsur-unsur mitologi mistis yang tersirat dalam tradisi 10 tahunan itu, menambah kesan sakral dalam tiap tahapan pelaksaannya, serta menorehkan nilai-nilai seni yang tinggi.
Dalam ritualnya, masyarakat setempat akan menggiring kain putih sepanjang 100 meter (M). kain tanpa sambungan itu diperuntukkan untuk mengeringkan sumur desa yang unik itu. Masyarakat Desa Lonthor menyebut kain pusaka itu dengan nama Kain Gajah.
Mengawali seluruh rangkaian acara proses cuci Parigi Pusaka, terdapat 99 lelaki yang mengarak belang (perahu) di darat. Dengan iring-iringan tarian cakalele, mereka menggotong perahu tersebut dari rumah adat Lonthor menuju Parigi Pusaka.
Dari 99 lelaki penggotong perahu inilah kemudian dipilih 81 orang pasukan utama yang akan membersihkan Parigi Pusaka. Bukan tanpa alasan, 81 lelaki ini dipilih karena sesuai dengan jumlah anak tangga. Terdapat 9 anak tangga di dalam Parigi Pusaka, dengan perhitungan 9 orang di setiap anak tangganya.
Para lelaki berbaju putih dengan ikat kepala kuning itu kemudian secara berurut masuk ke dalam Parigi Pusaka, lalu dengan iringan nyanyian adat Tambang Kabata (nyanyian dengan bahasa tanah atau adat) dan irama tifa yang menambah semangat, mereka mulai menguras air sumur.
Lelaki di anak tangga paling bawah akan menimba air sumur lalu mengover (estafet) ember hitam berisi air hingga ke tangan para lelaki paling atas, dan begitu seterusnya hingga air mengering. Sedangkan sumur satunya yang berusia lebih tua tidak akan dikeringkan melainkan ditutup dengan kain putih di atasnya.
Proses menguras air sumur ini, memakan waktu sekitar 2 (dua) jam lamanya, saat proses pembersihannya, para lelaki dan perempuan atau masyarakat yang memiliki hubungan kekerabatan (saudara Gandong) Negeri Lonthor masuk ke areal cuci Parigi dengan menari cakalele, mereka juga turut membantu pembersihan Parigi Pusaka.
Sesekali, air yang diangkat dari dalam sumur itu, dihempaskan ke arah kerumunan warga. Bahkan sejumlah orang sengaja menyiram dan menggosok wajah dan bagian tubuh warga dengan air bercampur lumpur serta tanah dari dalam perigi itu.
Meski disiram dengan air kotor dan tanah lumpur namun warga tidak merasa gatal. Sejumlah warga malah berebutan air kotor dari dalam Parigi itu untuk sekadar dibawa pulang dan menyiram tubuh mereka, sebab diyakini dapat membawa berkah.
Setelah air di dalam Parigi pusaka benar-benar kering, pasukan cakalele lantas menuju rumah adat untuk menjemput Kain Gajah. Kain dengan panjang 99 depa (meter) itu diantar warga dengan diiringi tetabuhan tifa serta nyanyian kabata, menuju lokasi Parigi Pusaka.
Kain gajah berwarna putih itu kemudian dimasukkan ke dalam Parigi pusaka dan digunakan untuk menyerap air di dalam Parigi hingga kering.
Selama proses membersihkan air lumpur dan becek dengan Kain Gajah hingga kering, sejumlah orang membawakan tarian Syamali Negeri Lonthor.
Mereka melantunkan kabata, bahasa tanah. Setelah bersih, kain gajah kemudian ditarik dan dibawa ribuan kaum perempuan menuju pantai Negeri Lonthor dengan cara dipikul.
Para perempuan pembawa Kain Gajah tidak mengenakan alas kaki. Selama perjalanan menuju pantai, untuk membersihkan Kain Gajah, mereka terus melantunkan kabata, hingga kembali ke Masjid Negeri Lonthor untuk membilas kainnya sebelum dikembalikan ke rumah adat.
Agar air kembali memenuhi Parigi Pusaka, prosesi ini dilangsungkan saat air laut surut, dengan begitu ketika air laut pasang, Parigi Pusaka kembali terisi oleh air.
Prosesi Cuci Parigi Pusaka Lonthor, konon mengingatkan warga setempat akan penyebaran agama Islam di Negeri Lonthor.
Kala itu, sejumlah ulama penyebar agama Islam dari Timur Tengah sedang berada di daerah tersebut dan mencari air wudu ketika akan menunaikan Shalat.
Tiba-tiba seekor kucing muncul dari semak-semak. Dari lokasi kucing itu muncul, ternyata ada sumber mata air yang kemudian kini dikenal dengan Parigi Pusaka.
Bagi kebanyakan orang, letak sumur pada posisi ketinggian seperti itu, sebenarnya mustahil terdapat sumber air yang melimpah, apalagi hanya dengan kedalaman empat meter. Akan tetapi, itulah keajaiban dan magis yang ada. Sumur kembar ini juga tidak kering saat musim kemarau tiba.
Jika sobat semua kebetulan berkunjung ke Banda, jangan lupa untuk berkunjung di Parigi Pusaka ini, dan masih banyak lagi tempat wisata dan cagar yang ada di Kepulauan Banda, misal wisata bawah lautnya dengan suguhan panorama karang yang indah dan ragam jenis ikannya.
Peninggalan sejarah juga sangat banyak di Kepulauan Banda, di Naira misalnya, kawan semua akan berjumpa dengan rumah pengasingan tokoh proklamator yakni Bung Hatta dan Bung Syahrir yang masih terawat dengan baik hingga kini, beberapa bangunan ala Eropa juga tampak di kota kecil itu.
Peninggalan sejarah berupa benteng yang masih berdiri kokoh hingga kini juga akan kita jumpai saat berkunjung. Menurut sejarah di kota kecil Naira telah dibangun 12 benteng sekaligus pada masa penjajahan, hal itu menandakan betapa penting dan berharganya Kepulauan Banda kala itu.
Bahkan kepulauan yang terletak di palung terdalam itu memiliki satu pulau paling mahal di dunia kala itu yakni Pulau Rhun.
Berharganya biji pala dan fuli pada masa itu, hingga mengakibatkan perebutan wilayah kekuasaan. Belanda dan Inggris memperebutkan Pulau Rhun karena sebagai satu-satunya penghasil pala waktu itu. Perebutan berakhir dengan kesepakatan dimana Belanda menukarkan Pulau Rhun yang hanya seluas sekitar 3 Km2 dengan Mannhatan (sekarang New York) dengan luas 59.1 Km2.
Selain tumbuhan endemi palanya, Pulau Rhun juga memiliki tempat berlabuh kapal yang diberi nama Kolangnama. Keunikan tersendiri dari Kolangnama yakni meskipun berada dekat bibir pantai namun airnya tidak pernah kering meskipun sedang surut. Area depan belakang maupun samping kiri dan kanan Kolangnama akan kering ketika air laut surut dan menyisakan Kolangnama bagai telaga di tengah padang lamun.
Masyarakat Pulau Rhun juga memiliki cara tersendiri untuk menjaga dan memelihara biota lautnya, mereka menyebutnya dengan sasi. Beberapa patok akan dipasang di areal lautan sebagai tanda masyarakat tidak boleh mengambil biota yang sedang disasi. Adapun, biota yang sering disasi biasanya seperti jenis kerang tertentu, misal siput kerucut yang disebut Lola dan Sarawaki (Bulu Babi).
Setelah sasi dibuka, warga desa dengan 3 (tiga) RT itu, akan berbondong-bondong turun menyelam lola dan mencari sarawaki ketika air surut (mameti).
Pemukiman desa ini juga tertata dengan sangat rapi, warganya sangat mementingkan akan kebersihan lingkungan sekitar, hingga urung terlihat tumpukan sampah di pemukiman.
Berbicara tentang keindahan Kepulauan Banda mulai dari darat hingga laut memang tidak akan ada habisnya, tidak akan pernah mampu hanya dideskripsikan melalui tulisan. Kita hanya akan benar-benar menikmati dan mengerti tentang indahnya surga dunia itu jika bertandang langsung.
#jalurrempahkemendikbud
Penulis: Halima Paijon
Komentar