Buka Tutup Portal Wisata: Dilema Ekonomi dan Kesehatan

Wulan Amalia Putri, S.ST (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Banyak hal yang berubah ketika Virus Corona mewabah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Adaptasi kehidupan baru terus menerus dilakukan, termasuk adaptasi dalam berbagai produk kebijakan publik. Tentunya agar roda kehidupan masyarakat terus berputar namun juga dapat terhindar dari paparan Corona.

Objek wisata sebagai salah satu instrumen yang dapat berkontribusi dalam peningkatan taraf hidup masyarakat ikut pula bergejolak. Bukan hanya secara ekonomi, nilai rekreatif dari objek wisata mengundang minat khalayak untuk terus berdatangan. Bukan pula hanya warga lokal, wisatawan mancanegara pun berlomba-lomba mengunjungi berbagai tempat yang menarik. Namun hal ini menjadi dilema mengingat wabah corona yang masih terus ada.

Kebijakan Membingungkan

Pada Jumat (14/5/2021), kunjungan wisatawan ke Pantai Ancol membludak hingga mencapai kisaran 39 ribu orang. Karena hal ini, Ancol menjadi trending topic di twitter. Banyak warganet yang membandingkan kerumunan di Pantai Ancol dengan ritual mandi yang dilakukan warga India di Sungai Gangga. Kekhawatiran akan munculnya klaster baru Covid 19. Seperti halnya di India- pun bermunculan,
(sindonews.com,16/6/2021)

Kebijakan membuka tempat wisata menuai banyak kontroversi. Apalagi jika dilihat terjadi banyak pelanggaran protokol kesehatan saat kerumunan tercipta. Mencegah kerumunan terjadi pun hampir sangat sulit. Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar meminta Pemprov DKI lebih bijak dalam membuat kebijakan. Menurutnya, kebijakan membuka pantai Ancol, jelas menimbulkan kerumunan yang sulit dikendalikan.

“Bagaimana orang mandi di pantai bisa menerapkan protokol kesehatan? Pakai masker juga tidak mungkin. Mau jaga jarak juga bagaimana caranya? Lihat saja berbagai kerumunan yang terjadi di Ancol pada Jumat Kemarin,” ujar Muhaimin Iskandar, Sabtu (15/5/2021). (sindonews.com,16/5/2021)

Masalah standar ganda mengenai kebijakan pencegahan penyebaran corona juga dirasakan masyarakat. Pasalnya, sejumlah objek wisata dibuka namun mudik untuk bersilaturahmi ke keluarga dilarang, bahkan ziarah kuburpun dilarang. Walaupun akhirnya tempat wisata tersebut ditutup kembali, namun kebijakan tersebut tetap saja membingungkan.

Para ahli kesehatan terutama epidemiolog telah mengingatkan bahwa pembukaan tempat wisata pada masa libur lebaran adalah kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya pencegahan penularan virus corona. Epidemiologi Universitas Gadjah Mada Bayu Satria Wiratama mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah melarang mudik lebaran. Namun, membuka lokasi wisata penuh dengan risiko.

“Hanya saja langkah untuk tetap membuka wisata itu penuh risiko juga,” kata Bayu. (www.kompas.com,16/5/2021)

Kekhawatiran akan munculnya superspreade event yang kemudian akan melahirkan superstrain virus corona. Sebagaimana diketahui bahwa superstrain virus corona berkontribusi terhadap tingkat keparahan pandemi Covid -19, seperti terjadi India. Tentu saja hal ini diharapkan tidak terjadi di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa kasus infeksi corona di India semakin meningkat. Dilansir dalam Liputan6.com tanggal 14 Mei 2021, jumlah infeksi Covid-19 yang tercatat di India tembus di angka 24 juta pada Jumat 14 Mei. Angka kasus harian pernah melebihi 400.000 dengan rekor kematian mencapai sekitar 4.500 per hari.

Walaupun dalam kabar terbaru beberapa hari terakhir menunjukkan kasus baru Covid-19 di Indian dilaporkan mulai turun. Namun penurunan ini tidak sama di setiap negara bagian, karena pada dasarnya tingkat kematian dan infeksi aktif masih relatif tinggi.

“Masyarakat desa seringnya tidak menghiraukan demam dan nyeri tubuh. Sebelum kerabat menyadari yang terjadi, pasien sudah meninggal duluan..Hanya ada testimoni kematian dan tangisan wanita dan anak-anak di pedesaan,” komentar anggota LSM Vidya Dham Samiti, Raja Bhaiya. (detikhealth.com, 27/5/2021)

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan varian Corona B1617 disebut sudah terbukti dalam studi bersifat menular. Dalam laporan WHO, penyebaran varian B1617 dibagi menjadi tiga garis keturunan yaitu B1617.1, B1617.2, dan B1617.3. varian tipe pertama terdeteksi di 41 negara, tipe kedua terdeteksi di 54 negara dan tipe ketiga terdeteksi di enam negara yaitu Inggris, Kanada, Jerma, India, Rusia dan Amerika Serikat. Sumber tak resmi WHO juga menyebut B1617 ada tujuh negara lain membuat totalnya menjadi 60 negara.

Tentu saja Indonesia tidak ingin mengalami hal yang sama. Opsi pencegahan dan memperketat protokol kesehatan adalah satu-satunya opsi rasional untuk menghindari penyebaran virus corona yang lebih masif.

Islam Memandang

Islam memiliki pandangan yang unik mengenai Pariwisata dan Pandemi. Islam memandang bahwa pariwisata adalah kebutuhan tersier yang menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sekaligus mempererat hubungan dalam keluarga. Tentunya pariwisata tersebut tetap diatur dinamikanya dengan hukum syara’.

Islam telah mengaitkan wisata dengan tujuan-tujuan yang mulia. Di antaranya adalah untuk beribadah. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin, no. 2641). Nabi saw. mengaitkan wisata dengan tujuan yang agung dan mulia, yaitu untuk berjihad sebagai bagian dari beribadah kepada Allah Swt.

Tujuan mulia berikutnya adalah untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib al-Baghdady menulis kitab yang terkenal Ar-Rihlah Fi Thalabil Hadits, di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadis saja. Maka, kita pun bisa berwisata dengan tujuan untuk menuntut ilmu.

Sementara itu, pandemi dilihat sebagai suatu kondisi yang perlu ditangani segera sehingga pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder lebih diutamakan untuk dipenuhi dibandingkan kebutuhan tersier. Sehingga pada masa pandemi, pilihan untuk membuka pariwisata tidak dapat dilakukan.

Yang terpenting adalah bahwa dalam Islam sektor pariwisata bukanlah sumber pendapatan bagi APBN. Sumber APBN di antaranya ada pada jizyah, kharaj dan yang lainnya serta pemanfaat SDA secara optimal.

Karena itu, penting kiranya untuk memandang kebijakan dengan pandangan yang bijaksana dan berdasar pada hukum syara’. Keterbukaan pemimpin untuk diberikan masukan mengenai kebijakannya juga sangat diharapkan. Bahkan Umar meminta masyarakat tidak ragu menegurnya dalam beberapa hal kalau ia salah. Umar mengatakan, “Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf nahi mungkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat Saudara-Saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya, demi kepentingan Saudara-Saudara sekalian.” (Pidato Umar bin Khaththab saat diangkat menjadi Khalifah, Biografi Umar bin Khaththab karya Muhammad Husain Haekal).

Hubungan yang ideal antara penguasa dan rakyat adalah hubungan saling mencintai untuk saling memperkuat ketaatan pada Allah SWT. Demikian pula kebijakan yang dibuat tentunya harus membawa kebaikan. Karena itu jika menilik pada kebijakan buka tutup tempat wisata di masa pandemi yang membuat rakyat bingung, seharusnya tidak dilakukan. Wallahu’alam Bishawwab.

Penulis : Wulan Amalia Putri, S.ST
(Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

Komentar